Kamis, 20 Juni 2013

Bubble Properti?

“Beli Hari Ini, Besok Harga Naik. “Investasi Sekarang, Balik Modal dalam 3 Bulan.” “Jangan Tunggu Lagi, Pasti Untung 130% dalam 6 Bulan”. Iklan-iklan seperti ini kian menjamur kita temukan di berbagai sudut jalan sampai ke pelosok ibukota. Selain kota-kota besar di Jawa, iklan-iklan ini juga banyak kita jumpai di kota-kota luar Jawa, kendati dengan nada promosi yang lebih rasional.

Dari cara mempromosikan produk-produk properti di atas, jelas properti lebih dipersepsikan sebagai instrumen investasi dibanding barang konsumsi. Padahal, properti sebenarnya baru layak dikatakan sebagai instrumen investasi jika kita menyewakannya untuk mendapatkan uang rental.

Tak heran cara promosi seperti ini sangat berperan dalam mendorong aliran likuiditas (terutama dari kelas menengah-atas) ke produk-produk properti sehingga harganya pun cenderung melonjak belakangan ini. Apalagi produk deposito sudah tak begitu menarik, dengan suku bunga sedemikian rendahnya antara 3-6%, lebih rendah dari inflasi (negative real interest rate). Alhasil, banyak yang mengalihkan investasinya ke aset properti dengan harapan mendapatkan imbal hasil rental yang sekitar 5-10% per tahun ditambah ekspektasi capital gain (selisih harga beli dibanding harga jual).

Kenaikan harga properti yang cukup signifikan di sejumlah kota besar akhir-akhir ini terekam dari survei-survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI), World Bank dan sejumlah konsultan properti. Survei properti BI di 14 kota besar di Indonesia menunjukkan kenaikan harga rumah rata-rata sebesar 11,2% YoY pada Q1-2013, dengan kenaikan tertinggi terjadi di Surabaya. Meski harga naik, permintaan tampaknya masih kencang, terutama di segmen menengah-atas. Menurut BI, penjualan rumah kelas menengah melonjak 33,6% YoY pada Q1-2013, terutama di daerah Jabodetabek.

Konsultan properti, Cushman & Wakefield bahkan dalam risetnya menyatakan harga rumah di Jakarta sudah naik sekitar 100 persen dalam tiga tahun terakhir. Bandingkan dengan tingkat inflasi Jakarta yang pada periode yang sama hanya 16,3%. Kondisi ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta merupakan salah satu lokasi investasi properti paling menarik di Emerging Market.

Signifikan pengaruhi ekonomi

Di tengah perlambatan ekonomi global, sektor properti memang cukup berperan dalam menyangga ekonomi RI, paling tidak dalam empat tahun terakhir. Kuatnya geliat sektor konstruksi yang tumbuh antara 6,6-7,5%, diikuti oleh laju sektor konsumsi yang tumbuh 5-5,3% dalam empat tahun terakhir cukup signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sehingga ekonomi RI masih bisa melaju di atas 6%.

Studi di beberapa negara menunjukkan sektor properti memiliki kaitan erat (backward & forward linkage) dengan sekitar 240-270 industri, sub industri dan jasa (tergantung tingkatan ekonomi negara tersebut). Selain sektor konstruksi, sektor properti secara langsung dan tak langsung terkait dengan banyak sektor lain, mulai dari produk semen, kayu, kabel, pipa, keramik, furniture, jasa arsitek, jasa interior, sampai jasa keuangan canggih seperti hedge fund dan produk derivatif. Beragamnya linkage tersebut menyebabkan siklus properti akan sangat signifikan mempengaruhi pertumbuhan dan keberlangsungan ekonomi suatu negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia.

Bagi Indonesia, dampak pertumbuhan sektor properti jelas terefleksi dari kontribusi sektor konstruksi terhadap agregat ekonomi RI yang terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja juga cukup signifikan. Sekurangnya 6% dari total tenaga kerja terserap langsung oleh sektor konstruksi dan tambahan sekitar 4% dari total tenaga kerja terserap oleh sektor-sektor lain yang terkait properti

Kontribusi sektor konstruksi ini baru merepresentasikan gelombang pertama dari dampak siklus pertumbuhan properti terhadap pertumbuhan ekonomi. Setelah itu, sektor properti bisa pula memicu gelombang kedua yang lebih didorong oleh dampak tak langsung dari pertumbuhan konsumsi.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kenaikan harga rumah berkorelasi positif dengan pertumbuhan tingkat konsumsi (wealth effect). Jika harga rumah naik, pemilik akan merasa lebih kaya dan konsekuensinya mendorong kenaikan konsumsi. Kenaikan konsumsi juga bisa terjadi sebagai konsekuensi dari penarikan kredit refinancing (collateral effect) yang kemudian dibelanjakan untuk keperluan konsumsi. Dengan kata lain, aset properti dalam hal ini sudah dijadikan semacam mesin ATM untuk keperluan konsumsi rumah tangga.



Untuk Indonesia sendiri, pertumbuhan konsumsi via laju penarikan kredit refinancing (mortgage equity withdrawal) tampaknya masih relatif terbatas. Jika gelombang kedua ini mulai merebak, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tampaknya akan cukup lumayan, mengingat sektor konsumsi berkontribusi sekitar 60% dari total output ekonomi RI. Namun perlu diwaspadai jika porsi penarikan kredit refinancing ini kian membesar, karena ini juga merupakan pertanda makin tingginya unsur spekulasi dibandingkan kebutuhan properti yang riil.

Pertanyaannya sekarang, apakah kenaikan harga properti akhir-akhir ini di Indonesia sudah mencerminkan tingginya unsur spekulasi yang ujung-ujungnya bisa memicu gelembung properti (property bubble), yang siap pecah sewaktu-waktu ?

Memahami siklus bisnis



Dalam siklus ekonomi, ketika pertumbuhan jumlah uang beredar melebihi pertumbuhan PDB (produk domestik bruto), kelebihan likuiditas akan mengalir ke sektor-sektor yang dianggap menguntungkan. Kondisi ini akan memicu gelembung-gelembung. Gelembung tersebut bisa tercipta di sektor properti, saham, mata uang, komoditas, obligasi atau aset-aset lainnya. Ini menciptakan ilusi kesejahteraan (wealth illusion) di suatu sektor akibat pengalihan sumber daya ke sektor yang dianggap menarik tersebut.

Bila aliran likuiditas atau kredit berlebihan (excessive lending) ke suatu sektor terus berlangsung, sementara sektor bisnis produktif lainnya relatif stagnan, risiko terjadinya krisis ekonomi sistemik sebenarnya sedang meningkat. Kenaikan harga yang terjadi pada sektor tersebut lebih disebabkan oleh ekspektasi terhadap capital gain di masa depan dan bukan karena kenaikan kapasitas atau pendapatan berulang (recurring income) dari aset tersebut. Fenomena ini sering disebut juga sebagai greater fool theory. Pada akhirnya, pasar pun akan mengoreksi ekses ini dan gelembung harga pun meletus sehingga menimbulkan kebangkrutan ekonomi dan kredit macet karena nilai utang sudah lebih tinggi dari nilai asetnya (negative equity).

Pemicu meletusnya gelembung tersebut bisa bermacam-macam, baik dari sisi domestik maupun eksternal. Pemicu dari sisi domestik bisa berupa persoalan mikro seperti bubble properti, saham, obligasi,mismanagement suatu konglomerasi atau persoalan fundamental makro seperti ketidakseimbangan neraca berjalan, tingginya inflasi, defisit fiskal, atau tumpukan utang luar negeri. Pemicu domestik ini bisa secara simultan dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti resesi di negara-negara maju, krisis keuangan di negara tetangga atau perubahan mendadak arah kebijakan moneter bank sentral negara maju.

Agar lebih jelas, tren perkembangan moneter global terkini bisa dijadikan sebagai ilustrasi. Belakangan ini, negara-negara maju sangat agresif melakukan kebijakan moneter longgar. Kebijakan ini sebenarnya dapat memberi efek samping dan risiko tersendiri bagi negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia yang menjadi salah satu sasaran ekses likuiditas tersebut.

Limpahan likuiditas ini jika tak terkelola dengan baik dapat mendorong misalokasi sumber daya. Kelas-kelas aset tertentu seperti komoditas, saham, termasuk properti bisa mengalami gelembung harga. Hal ini tentunya dapat membahayakan fundamental ekonomi negara-negara bersangkutan dan berisiko meningkatkan risiko sistemik.

Kondisi ini sebenarnya pernah terjadi dua dekade yang lalu sebelum krisis ekonomi Asia 1998. Setelah gelembung harga properti di Jepang pecah, suku bunga kebijakan bank sentral Jepang terus diturunkan dari 6% di 1990 menjadi 1,75% pada 1992-1994. Pada periode yang sama FED juga menerapkan kebijakan suku bunga rendah di kisaran 3%.

Rendahnya suku bunga valas ini dimanfaatkan negara-negara emerging markets dengan menumpuk utang luar negeri. Kebijakan easy money policy di negara-negara maju ini juga mendorong ekspansi kredit besar-besaran di negara-negara macan Asia dan memicu booming di pasar properti. Ujung-ujungnya, pasar properti di Thailand pun mengalami crash pada pertengahan 1997 dan dampaknya pun menyebar via transmisi pasar finansial ke negara-negara Asia lainnya.



Menerawang bubble properti



Indonesia sendiri sebenarnya belum pernah mengalami krisis ekonomi yang disebabkan pecahnya gelembung properti. Berbeda dengan AS, Jepang atau Irlandia yang mengalami resesi karena pecahnya gelembung properti, krisis ekonomi tahun 1998 sebenarnya lebih dipicu oleh faktor eksternal berupa runtuhnya pasar properti Thailand yang diikuti krisis mata uang Baht dan mata uang regional lainnya seperti Ringgit dan Won. Krisis mata uang regional ini akhirnya berdampak pada anjloknya Rupiah dan kemudian memukul sektor-sektor ekonomi lain yang fundamentalnya lemah, termasuk sektor perbankan dan properti.

Setelah cenderung stagnan sekitar 7 tahun sejak krisis 1998, harga properti sempat beringsut naik pasca kenaikan harga BBM pada tahun 2005. Pemulihan harga terutama dipicu oleh bergairahnya pasar komoditas dan kuatnya pertumbuhan ekonomi global. Kemudian, hantaman krisis global dan kenaikan harga BBM tahun 2008 kembali menahan laju kenaikan harga. Namun, memasuki periode 2009 – awal 2013, harga properti kembali melonjak seiring stabilitas ekonomi domestik dan relatif rendahnya suku bunga. Dengan kata lain, harga mulai mengalami normalisasi, setelah hampir satu dekade cenderung stagnan, bahkan pernah di beberapa tahun tertentu tercatat lebih rendah dari inflasi.

Kendati melonjak cukup tinggi dalam tiga tahun terakhir, ada sejumlah argumen yang bisa menjelaskan mengapa sektor properti tampaknya belum mengalami bubble. Memang, harga di sejumlah segmen atau lokasi tertentu sudah naik cukup tinggi (pocket bubble). Terbatasnya pasokan dan di sisi lain tingginya permintaan akibat pent-up demand (permintaan yang sempat tertahan sejak krisis global 2008), serta relatif rendahnya suku bunga menjadi faktor pendorong terdongkraknya harga properti secara signifikan.

Harga properti khususnya di Jakarta secara umum masih relatif di bawah harga rata-rata properti di kawasan ASEAN seperti di Bangkok, Kuala Lumpur, Manila, apalagi Singapura. Sebagai gambaran, rasio harga apartemen di kawasan segitiga emas terhadap rental (price to rent) di Jakarta relatif masih lebih rendah (data Global Property Guide - 2012). Titik impas di investasi apartemen di Jakarta menurut data tersebut tercatat selama 11 tahun, jauh lebih cepat dibanding Manila (14 tahun), Bangkok (16 tahun), Kuala Lumpur (21 tahun) atau Singapura (34 tahun).

Tingginya permintaan properti tampaknya juga sejalan dengan pertumbuhan rumah tangga baru. Dengan laju pertumbuhan penduduk seperti saat ini, Indonesia diperkirakan membutuhkan sekitar 1,5 juta tambahan unit rumah baru tiap tahunnya. Redupnya gerakan keluarga berencana pasca krisis 1998 yang pada gilirannya mendorong terjadi baby boom dalam satu dekade terakhir tampaknya menjadi berkah tersembunyi (blessing in disguise) bagi sektor properti.

Dari segi daya beli (affordability ratio), harga rata-rata rumah kelas menengah tampaknya masih dalam rentang kemampuan beli masyarakat, karena daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah-atas dalam empat tahun terakhir secara rata-rata pun mengalami perbaikan pesat (PDB nominal naik signifikan sekitar 11-16% per tahun). Kuatnya daya beli ini tercermin dari cara pembelian yang mayoritas masih menggunakan cara tunai keras dan tunai bertahap. Cara pembayaran tunai ini sejalan dengan masih minimnya aktifitas house flipping (membeli properti untuk kemudian menjualnya kembali dalam waktu kurang dari 6 bulan) demi tujuan spekulasi.

Kendati rasio affordability (harga median rumah kelas menengah terhadap penghasilan rata-rata tahunan rumah tangga) sedikit meningkat dalam tiga tahun terakhir ini, rasionya masih berada di level 12 kali pada tahun 2012. Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (18 kali), Thailand (24 kali) atau Shanghai (42 kali) – Global Property Guide.

Selain menurunkan suku bunga, banyak bank yang sejak tahun 2008 mulai menawarkan masa cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) yang lebih lama. Dari sebelumnya hanya 10 tahun, konsumen sekarang bisa mencicil hingga 20 tahun. Perpanjangan masa cicilan ini otomatis menaikkan kemampuan membeli rumah nasabah sampai 3 kali lipat. Sebagai catatan, mayoritas perbankan di dunia seperti di Jepang dan AS sudah menawarkan KPR dengan masa cicilan hingga 30-40 tahun, bahkan di beberapa negara negara di Eropa (misal: Spanyol, Inggris dan Italia) menawarkan masa cicilan hingga 50 tahun.

Selain komponen valuasi harga di atas, probabilitas terjadinya bubble di sektor properti bisa pula diestimasi dengan menggunakan indikator pembayaran cicilan kredit nasabah dibanding pendapatan (leverage). Komponen leverage ini mengindikasikan seberapa besar porsi utang digunakan dalam pembelian properti yang juga merupakan cerminan dari porsi akumulasi kredit properti oleh perbankan.

Rasio leverage akan meningkat jika pemilik properti terus menambah jumlah propertinya dengan menggunakan properti yang dimiliki sebelumnya sebagai kolateral. Jika rasionya sudah terlampau tinggi, pemilik properti akan kian tergantung pada kenaikan harga propertinya untuk membayar cicilan utangnya.

Untuk kasus Indonesia, tingkat leverage seperti tercermin dari rasio kredit properti (termasuk kredit konstruksi, real estate, KPR dan KPA) terhadap total kredit maupun pendapatan nasional relatif masih rendah. Porsi kredit properti terhadap total kredit nasional hanya naik tipis dari 13,5% di 2010 menjadi 13,6% pada 2012. Rasio ini masih jauh lebih rendah dari porsi kredit properti terhadap total kredit sebelum krisis yang sempat mencapai 20% pada tahun 1995 dan 17% pada tahun 1997.

Tingkat leverage kredit properti terhadap PDB secara komparatif juga masih cukup aman. Memang, rasio kredit properti terhadap PDB terus meningkat dalam tiga tahun terakhir, naik dari 3,7% (2010) menjadi 4.0% (2011) dan 4,5% (2012). Namun, rasio ini masih lebih rendah dari rasio kredit properti terhadap PDB yang pernah mencapai 11% pada tahun 1997, setahun sebelum krisis ekonomi Asia terjadi. Rasio ini juga jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain seperti Malaysia (31%), Amerika Serikat (22%), Singapura (36%) atau Hong Kong (42%).

Namun perlu dicatat, ukuran-ukuran di atas hanya merupakan generalisasi secara nasional. Rasioaffordability atau tingkat leverage di beberapa kota-kota besar tertentu mungkin belum mencerminkan kondisi bubble, tapi di beberapa wilayah lain, rasionya mungkin sudah cukup mengkhawatirkan. Variasi ini terutama disebabkan oleh perbedaan harga tanah. Seperti pengalaman di AS dan Jepang, kantung-kantung bubble ini secara agregat pada satu titik bisa saja memicu bubble properti secara nasional.

Satu hal lagi, tak seperti di negara-negara maju, produk-produk finansial atau rekayasa finansial terkait sektor properti belum banyak berkembang di Indonesia. Kita tak memiliki produk-produk kredit subprime(kelayakan kredit dari calon debitur kurang dari cukup) dan persayaratan KPR pun sangat ketat. Contoh, debitur yang tak memiliki pendapatan atau pekerjan (no job no income/ninja) tak bisa beroleh KPR di Indonesia.

Kita juga tak memiliki produk-produk eksotik seperti KPR dengan cicilan 50-100 tahun, KPR tanpa uang muka atau KPR yang mengangsur bunga saja (interest only mortgage). Sekuritisasi atau produk-produk derivatif (efek beragun aset KPR) belum banyak berkembang. Selain itu, kepemilikan asing di sektor properti juga masih dibatasi oleh pemerintah.

Penyaluran KPR via industri multifinance yang persyaratannya lebih fleksibel juga masih sangat terbatas. Realisasi pembiayaan KPR oleh multifinance pada tahun 2012 tercatat hanya Rp10 milyar dari PT Sarana MultiGriya Finansial. Dengan hadirnya Otoritas Jasa Keuangan, pengawasan penyaluran KPR viamultifinance diharapkan akan lebih baik. Kita tentunya tidak ingin kasus Countrywide, perusahaan multifinance spesialis KPR di AS yang bangkrut akibat krisis subprime terjadi di Indonesia.

Kebijakan countercyclical diperlukan

Dalam jangka menengah, Indonesia sebagai salah satu emerging markets tampaknya masih akan menjadi incaran investor mancanegara di tengah masih lesunya perekonomian di negara-negara maju. Pembangunan sektor infrastruktur dan manufaktur diharapkan akan terus bergerak. Kondisi ini tentunya akan memicu kenaikan pendapatan pekerja dan turunnya angka pengangguran nasional. Perbaikan daya beli dan kondisi ketenagakerjaan ini tentu akan berdampak positif pula bagi sektor properti.

Untuk menjamin agar siklus properti berlangsung mulus dan tak memicu terjadinya bubble otoritas bisa melakukan kebijakan countercyclical yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pemerintah, contohnya bisa mengenakan kebijakan pajak untuk properti segmen tertentu yang sudah ada kecenderunganbubble.

Kebijakan countercyclical dari otoritas moneter seperti ketentuan Bank Indonesia (BI) tentang minimum uang muka (loan to value/LTV sebesar 70% untuk KPR, luas tanah di atas 70 m2) terbukti cukup efektif mengerem laju kredit properti. Setelah dikeluarkannya kebijakan tersebut, tren kredit properti cenderung melambat dalam tiga kuartal terakhir. Kredit properti pada Q1-2013 hanya tumbuh 20% menjadi Rp384 triliun, melambat signifikan dari pertumbuhan Q2-2012 yang mencapai 35%.

Belakangan, ada wacana BI juga akan menerapkan LTV berdasarkan wilayah, harga properti, kepemilikan kedua, ketiga dst maupun LTV untuk segmen tertentu. Pengetahuan akan kondisi lapangan menjadi penting di sini agar peluru kebijakan lebih terarah dan tidak salah sasaran.

Contohnya, dalam rangka mencegah bubble, kebijakan LTV untuk rumah kedua, ketiga dst sebenarnya akan lebih efektif dibandingkan kebijakan LTV untuk rumah pertama. First time buyer secara psikologis akan sekuat tenaga untuk tidak mengemplang kredit, karena rumah itu adalah satu-satunya rumah tinggal yang dimilikinya. Berbeda dengan pembelian rumah kedua, ketiga dst-nya yang lebih menjadikan rumah sebagai instrumen investasi atau spekulasi yang ujung-ujungnya dapat mendorong terjadinyabubble.

Akhir kata, kita juga berharap pemerintah dan DPR dapat segera bersepakat soal kebijakan penaikan harga BBM. Penaikan harga BBM diharapkan dapat berfungsi sebagai penahan laju pertumbuhan sektor properti (incidental hiccup). Secara otomatis, kebijakan penaikan harga BBM diharapkan akan memberikan sedikit kerikil bagi roda pertumbuhan, terutama sejumlah sektor yang sudah tumbuh sangat kencang dan mulai menunjukkan kecenderungan bubble. Selain sektor otomotif, sektor properti terbukti mengalami sedikit penurunan laju pertumbuhan pasca kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2008.
(davidsumual.blog.kontan.co.id)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...