Kamis, 23 Juli 2009

Anak Berfantasi Bunuh Diri

Secangkir Anggur merah (Edisi-5)

Tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Apa kabar dengan anak-anak kita. Dan bagaimana pula dengan kondisi anak Indonesia? Benarkah anak-anak memiliki fantasi untuk melakukan bunuh diri?

Seorang pakar psikologi, Mendele Mocher Sefarin , mengatakan : Anak-anak tanpa masa kanak-kanak adalah tragis. Banyak anak yang harus kehilangan kesejahteraan jiwanya, sehingga ia kehilangan kemampuan untuk mengatasi stress yang akan ia jumpai pada tahun-tahun berikutnya. Mempercepat proses kedewasaan anak sama halnya dengan mengacaukan jadwal biologis dan psikologi perkembangannya yang sudah built-in. Akan membuat si anak menjadi bingung dan frustasi.

Bahkan psikolog David Elkind dalam bukunya The Hurried Child mengatakan bahwa banyak anak-anak kini diciutkan masa kanak-kanaknya, sehingga menunjukkan gejala-gejala klasik depresi seperti dialami orang tua : hilang semangat, apatis, menganggap diri tidak becus, dan bahkan berfantasi bunuh diri.

Dua ahli psikologi tersebut memberi petunjuk pada kita tentang bagaimana dampak negatif yang diderita anak, apabila tidak mengalami masa kanak-kanaknya secara utuh. Apalagi bahwa anak-anak berumur 5 s.d 12 tahun, merupakan fase perkembangan intelektual, kepribadian dan fisik yang cukup menentukan bentukan dirinya. Pada kurun tahun ini ia butuh perhatian orang tua, pengakuan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan lain seperti bermain untuk bergaul dengan sesamanya.

Tapi ada apa gerangan dengan analk-anak Indonesia. Menurut data saat ini anak Indonesia berjumlah 80 juta orang. Tingkat kelahiran mencapai 5 juta s/d 6 juta anak per tahun. Dari sejumlah itu setengah juta anak diantaranya harus bekerja sebagai penajaja koran, pedagang asongan, penyemir sepatu, pengemis cilik, bekerja pada industri-industri kecil, pertanian, rumah-rumah makan, toko, bengkel, sampai pada pembantu rumah tangga. Beruntung disini tak sekejam di Brazilia, dimana terdapat puluhan ribu pelacur anak-anak, diantaranya ada yang berumur 8 tahun melayani juga untuk ekspor.

Jika pada umur ini harus dihabiskan untuk berkerja mencari nafkah-yang notabene menghapuskan masa kanan-kanak dengan cepat untuk menggantikannya dengan kedewasaan-maka hasilnya tentu akan cenderung lebih buruk, dibanding apabila ia dibiarkan berkembang dengan wajar.

Dampak negatif itu akan menjadi derita dan tanggungan dirinya kelak. Namun lebih dikhawatirkan dampak itu akan muncul ke permukaan melalui praktek-praktek kontroversial. Seperti pelanggaran terhadap norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Mereka adalah anak-anak, namun kewajarannya sebagai anak telah musnah. Haknya, kebebasannya, keutuhannya telah dipertaruhkan kepada sebuah perjuangan mempertahankan hidup. Ia lebih cenderung disebut pemerkosaan, pemerasan, penindasan, kalau tak mau dikatakan perbudakan jilid baru. Pantas saja kalau kedua psikolog itu begitu yakin kalau anak-anak pun memiliki fantasi atau daya khayal untuk melakukan bunuh diri. Iiihhh Seraamm!!! Mari kita jaga anak-anak Telkom agar tetap menjadi best of the best. (N425)

Rabu, 22 Juli 2009

Soal Pekerja Anak, Amrik Gertak Kita...


*) Secangkir Anggur Merah (Ed-2)

(Didedikasikan pada Hari Anak Nasional 23 Juli)


Bah, kali ini Negeri Paman Sam, tak main-main. Bila Indonesia gagal menghapus masalah pekerja anak, Amerika mengancam akan mencabut GSP (General System of Preference). Artinya, jika GSP dicabut dari Indonesia, maka perdagangan internasional Indonesia dengan Amerika akan dibuat jlimet dan acakadut.

Namun harap tenang, Indonesia tidak takut. Namun, ada yang cukup menyakitkan. Indonesia rupanya masih ditengarai Amerika, tak hanya sebagai sarang teroris. Kini dituduh sebagai sarang pekerja anak. Idih !

Tapi ah, siapa tahu, ancaman Amerika itu cuma gertak sambal. Tapi bagaimana kalau jadi benar sesuai kenyataan? Tentu urusannya bisa panjang dan menukik tajam ke urusan politik dan kerjasama ekonomi. Boleh jadi Telkom pun kecipratan getahnya.

Namun Indonesia tak tinggal diam. Dengan tangkas dan taktis Indonesia merespon. Misalnya dimulai dengan mengeluarkan Kepres No.59/2002, tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Keppres itu diluncurkan, bukan sekedar mengurangi sedikit kengerian. Namun sejalan dengan Konvensi ILO No. 182 yang telah ditindaklanjuti Pemerintah dengan UU No.1 Tahun 2000. Dalam undang-undang ini, menegaskan ada lima area yang menyatakan bentuk pekerjaan terburuk, yakni pekerja anak pada anjungan lepas pantai, pertambangan, pelacuran, perdagangan narkoba, dan pekerja anak pada industri alas kaki.

Menurut laporan yang dikemukakan Lembaga Anti Perbudakan, hingga kini di India tercatat 15 juta anak-anak di bawah umur dipekerjakan. Di Cina kira-kira 9,5 juta, di Brazilia 1,5 juta anak.

Pada negara-negara maju tercatat : Inggris 1000 tenaga kerja anak, Perancis 97.000 anak, dan Spanyol 142.000 anak di bawah umur. Jumlah yang pasti sukar ditentukan, karena banyaknya praktek-praktek terselubung. Namun menurut perkiraan, jumlah anak yang dipekerjakan sebagai buruh upahan di seluruh dunia tidak kurang dari 100 juta anak.

Di Dakkar Afrika, terkenal dengan pengemis ciliknya yang sengaja di operasikan untuk kepentingan bisnis (kini di Indonesia mulai menggejala). Di Italia ratusan anak dioperasikan sebagai copet-copet cilik disamping ada yang bekerja di pabrik-pabrik kimia dengan proses modern yang membahayakan kesehatannya.

Di Indoensia ribuan anak-anak di bawah umur yang harus bekerja sebagai penajaja koran, pedagang asongan, penyemir sepatu, pengemis, bekerja pada industri-industri kecil, pertanian, rumah-rumah makan, toko, bengkel, sampai pada pembantu rumah tangga. Menurut Sakernas 2001 di Indonesia terdapat 5,8 juta pekerja berumur 15-19 tahun, sedangkan yang di bawah 15 tahun diperkirakan mencapai 2,5 juta anak. Yang lebih kejam terjadi di Brazilia, dimana terdapat ribuan pelacur anak-anak, diantaranya ada yang berumur 8 tahun dan melayani juga untuk ekspor.

Mereka adalah anak-anak, namun kewajarannya sebagai anak telah musnah. Haknya, kebebasannya, keutuhannya telah dipertaruhkan kepada sebuah perjuangan mempertahankan hidup. Ia lebih cenderung disebut pemerkosaan, pemerasan, penindasan, kalau tak mau dikatakan perbudakan jilid baru.

Mereka hidup dalam lumpur derita dan penindasan. Mereka harus banting tulang, bersimbah peluh, menguras tenaga dan pikirannya. Tak ada tujuan lain selain demi memenuhi resiko perut. (N425)

Sembilan Rekomendasi Hasil Muktamar Sufi Internasional 2023 di Pekalongan

World Sufi Assembly Conference 2023 atau Muktamar Sufi Internasional yang berlangsung pada 29 hingga 31 Agustus 2023 resmi ditutup.  Konfer...