Senin, 30 Desember 2019

Syekh Junaid Al-Baghdadi, Imam Tasawuf Panutan NU

Syekh Junaid Al-Baghdadi
Nahdlatul Ulama mengikuti Imam Asyari dan Imam Maturidi dari sisi aqidah, imam empat mazhab dari sisi fiqih, dan Imam Junaid Al-Baghdadi serta Imam Al-Ghazali dari segi tasawuf. Kenapa para kiai mengangkat nama Imam Junaid Al-Baghdadi? 

Apakah karena ia bergelar sayyidut thaifah di zamannya, pemimpin kaum sufi yang ucapannya diterima oleh semua kalangan masyarakat? Junaid bin Muhammad Az-Zujjaj merupakan putra Muhammad, penjual kaca. 

Ia berasal dari Nahawan, lahir dan tumbuh di Irak. Junaid seorang ahli fikih dan berfatwa berdasarkan mazhab fikih Abu Tsaur, salah seorang sahabat Imam Syafi’i. Junaid berguru kepada As-Sarri As-Saqthi, pamannya sendiri, Al-Harits Al-Muhasibi, dan Muhammad bin Ali Al-Qashshab. 

Junaid adalah salah seorang imam besar dan salah seorang imam terkemuka dalam bidang tasawuf. Ia juga memiliki sejumlah karamah luar biasa. Ucapannya diterima banyak kalangan. Ia wafat pada Sabtu, 297 H. Makamnya terkenal di Baghdad dan diziarahi oleh masyarakat umum dan orang-orang istimewa. 

Syekh Ibrahim Al-Laqqani dalam Jauharatut Tauhid menyebut Imam Malik dan Imam Junaid Al-Baghdadi sebagai pembimbing dan panutan umat Islam. ومالك وسائر الأئمة وكذا أبو القاسم هداة الأمة Artinya, “Imam Malik RA dan seluruh imam, begitu juga Abul Qasim adalah pembimbing umat,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Laqqani, Jauharatut Tauhid pada Hamisy Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 89). 

Syekh M Nawawi Banten juga menyebutkan sejak awal Imam Junaid Al-Baghdadi sebagai panutan umat dari sisi tasawuf. Menurutnya, Imam Junaid Al-Baghdadi layak menjadi pembimbing umat dari sisi tasawuf karena kapasitas ilmu dan amalnya.

 ويجب على من ذكر أن يقلد في علم التصوف إماما من أئمة التصوف كالجنيد وهو الإمام سعيد بن محمد أبو القاسم الجنيد سيد الصوفية علما وعملا رضي الله عنه والحاصل أن الإمام الشافعي ونحوه هداة الأمة في الفروع والإمام الأشعري ونحوه هداة الأمة في الأصول والجنيد ونحوه هداة الأمة في التصوف فجزاهم الله خيرا ونفعنا بهم آمين 

Artinya, “Ulama yang disebutkan itu wajib diikuti sebagaimana  perihal ilmu tasawuf seperti Imam Junaid, yaitu Sa’id bin Muhammad, Abul Qasim Al-Junaid, pemimpin para sufi dari sisi ilmu dan amal. Walhasil, Imam Syafi’i dan fuqaha lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang fiqih, Imam Asy’ari dan mutakallimin lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang aqidah, dan Imam Junaid dan sufi lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang tasawuf. 

Semoga Allah membalas kebaikan mereka dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita atas ilmu dan amal mereka. Amiiin,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 7). 

Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syekh M Ibrahim Al-Baijuri. Menurutnya, jalan terang dan keistiqamahan Imam Junaid Al-Baghdadi di jalan hidayah patut menjadi teladan. Ilmu dan amalnya dalam bidang tasawuf membuat Imam Junaid layak menjadi pedoman.

 وقوله كذا أبو القاسم كذا خبر مقدم وأبو القاسم مبتدأ مؤخر أي مثل من ذكر في الهداية واستقامة الطريق أبو القاسم الجنيد سيد الطائفة علما وعملا ولعل المصنف رأى شهرته بهذه الكنية ولو قال جنيدهم أيضا هداة الأمة لكان أوضح 

 Artinya, “Perihal perkataan ‘Demikian juga Abul Qasim’, ‘demikian juga’ adalah khabar muqaddam atau predikat yang didahulukan. ‘Abul Qasim’ adalah mubtada muakhkhar atau subjek yang diakhirkan. Maksudnya, seperti ulama yang sudah tersebut perihal hidayah dan keistiqamahan jalan adalah Abul Qasim, Junaid, pemimpin kelompok sufi baik dari sisi ilmu maupun amal. 

Bisa jadi penulis memandang popularitas Junaid melalui gelarnya. Kalau penulis mengatakan, ‘Junaid juga pembimbing umat’, tentu lebih klir,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 89). 

Meskipun sebagai seorang imam sufi di zamannya, Junaid Al-Baghdadi tidak meminggirkan sisi fiqih dalam kesehariannya. Artinya, ia cukup proporsional dalam menempatkan aspek fiqih (lahiriyah) dan aspek tasawuf (batiniyah) di saat kedua aspek ini bersitegang dan tidak berada pada titik temu yang harmonis di zamannya. 

Di zamannya, banyak ulama terjebak secara fanatik di satu kutub yang sangat ekstrem, yang faqih dan yang sufi. Banyak ulama mengambil aspek fikih dalam syariat Islam, tetapi menyampingkan aspek tasawuf dalam syariat. Sebaliknya pun terjadi, banyak ulama mengambil jalan sufistik, tetapi menyampingkan aspek fiqih dalam syariat. Junaid sendiri bahkan ahli fiqih. 

Ia juga seorang mufti yang mengeluarkan fatwa berdasarkan mazhab Abu Tsaur, salah seorang sahabat Imam Syafi’i. Baginya, jalan menuju Allah tidak dapat ditempuh kecuali oleh mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW sebagai keterangan Al-Baijuri berikut ini.

 وكان الجنيد رضي الله عنه على مذهب أبي ثور صاحب الإمام الشافعي فإنه كان مجتهدا اجتهادا مطلقا كالإمام أحمد ومن كلام الجنيد الطريق إلى الله مسدود على خلقه إلا على المقتفين آثار الرسول صلى الله عليه وسلم ومن كلامه أيضا لو أقبل صادق على الله ألف ألف سنة ثم أعرض عنه لحظة كان ما فاته أكثر مما ناله ومن كلامه أيضا إن بدت ذرة من عين الكرم والجود ألحقت المسيئ بالمحسن 

Artinya, “Imam Junaid dari sisi fiqih mengikuti Abu Tsaur, salah seorang sahabat Imam Syafi’i. Abu Tsaur juga seorang mujtahid mutlak seperti Imam Ahmad. Salah satu ucapan Imam Al-Junaid adalah, ‘Jalan menuju Allah tertutup bagi makhluk-Nya kecuali bagi mereka yang mengikuti jejak Rasulullah SAW,’

 ‘Kalau ada seorang dengan keimanan sejati yang beribadah ribuan tahun, lalu berpaling dari-Nya sebentar saja, niscaya apa yang luput baginya lebih banyak daripada apa yang didapatkannya,’ dan ‘Bila tumbuh bibit kemurahan hati dan kedermawanan, maka orang jahat dapat dikategorikan dengan orang baik,’” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 89-90). 

Keterangan Al-Baijuri menjelaskan sikap sufisme Junaid Al-Baghdadi, yaitu tasawuf sunni. Jalan ini yang diambil oleh Junaid Al-Baghdadi karena banyak pengamal sufi di zaman itu terjebak pada kebatinan dan bid’ah yang tidak bersumber dari sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Imam Junaid layak menjadi panutan NU dari sisi tasawuf karena tetap berpijak pada sunnah Rasulullah SAW.

 وقوله هداة الأمة أي هداة هذه الأمة التي هي خير الأمم بشهادة قوله تعالى كنتم خير أمة أخرجت للناس فهم خيار الخيار لكن بعد من ذكر من الصحابة ومن معهم والحاصل أن الإمام مالكا ونحوه هذاة الأمة في الفروع والإمام الأشعري ونحوه هداة الأمة في الأصول أي العقائد الدينية والجنيد ونحوه هداة الأمة في التصوف فجزاهم الله عنا خيرا ونفعنا بهم 

 Artinya, “Perkataan ‘pembimbing umat’ maksudnya adalah pembimbing umat Islam ini, umat terbaik sebagaimana kesaksian firman Allah SWT dalam Al-Qur’an ‘Kalian adalah sebaik-baik umat yang hadir di tengah umat manusia.’ Mereka para imam itu adalah orang pilihan di tengah umat terbaik tetapi derajatnya di bawah para sahabat Rasulullah dan tabi’in. 

Walhasil, Imam Malik dan fuqaha lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang furu’ atau fiqih. Imam Asy’ari dan mutakalimin sunni lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang ushul atau aqidah. Imam Junaid dan sufi lainnya adalah pembimbing umat dalam bidang tasawuf. 

Semoga Allah membalas kebaikan mereka dan semoga Allah memberikan manfaat kepada kita atas ilmu dan amal mereka,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 90). Imam Junaid juga menyayangkan sikap naif sebagian kelompok sufi yang mengabaikan realitas dan aspek lahiriyah. Menurutnya, sikap naif sekelompok sufi dengan mengabaikan sisi lahiriyah mencerminkan kondisi batinnya yang runtuh seperti kota mati tanpa bangunan.

 وكان رضي الله عنه يقول إذا رأيت الصوفي يعبأ بظاهره فاعلم أنه باطنه خراب 

Artinya, “Imam Junaid RA mengatakan, ‘Bila kau melihat sufi mengabaikan lahiriyahnya, ketahuilah bahwa batin sufi itu runtuh,’” (Lihat Syekh Abdul Wahhab As-Syarani, At-Thabaqul Kubra, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz I, halaman 85). 

Sebaliknya, ia juga menyayangkan sekelompok umat Islam yang hanya mengutamakan sisi lahiriyah melalui formalitas hukum fiqih dengan mengabaikan sisi batiniyah yang merupakan roh dari kehambaan manusia kepada Allah. 

Walhasil, Imam Junaid Al-Baghdadi adalah ulama abad ke-3 H yang mempertemukan fiqih dan tasawuf di saat keduanya tidak pernah mengalami titik temu. Sikap proporsional Imam Junaid seperti ini sejalan dengan pandangan NU yang tawasuth, tawazun, dan i’tidal, yaitu dalam konteks ini mempertahankan dengan gigih syariat Islam melalui fiqih sekaligus menjiwainya dengan nilai-nilai tasawuf sehingga tidak ada penolakan terhadap salah satunya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K//nu.or.id)
//Konten adalah milik dan hak cipta www.nu.or.id

Rabu, 25 Desember 2019

Ilmu Hakekat Kajian Tasawuf Syaththariah

1. Awal Perjalanan Tasawuf.

Tasawuf merupakan salah satu bentuk pengalaman keagamaan yang memuat dimensi teoritis dan praktis sekaligus. Pada dimensi praktis, tasawuf tidak terbatas pada amalan lahiriah yang dituntut oleh syarî’at lengkap dengan syarat dan rukun yang harus dipenuhi, seperti dalam mengerjakan shalat harus menutup aurat, suci dari hadas besar dan kecil, menghadap kiblat. 


Tasawuf juga menekankan dimensi batiniah untuk memperoleh taskiyatunnafsî dantasfiyatulqalbî dari berbagai jenis penyakit hati, seperti dengki, iri hati, nifak, kufur, membuat fitnah, menghina, takabur, sombong karena dorongan hawa nafsu yang markasnya ada di hati sanubari.

Dalam wacana tasawuf, hati dibedakan menjadi dua, yaitu hati sanubari (qalbun jasmanîyyun zhulmanîyyun) dan hati nurani (qalbun nurâniyyun lathifun rabbanîyyun). Hati nurani atau nur cahaya putih adalah sebuah potensi hati yang memiliki peluang bertemu dengan nur Ilahi, sedangkan hati sanubari adalah hati yang wataknya menuruti keinginan-keinginan jasmaniah-lahiriah.

Tasawuf juga menekankan bagaimana cara seorang hamba menyembah Allah seolah-olah dia melihat-Nya, bagaimana cara mencapai khusyu’ atau hudurulqalb ilallâh ketika mengerjakan shalat, bagaimana agar di dalam shalat ada dzikir (ingat/eling) kepada-Nya. Firman Allah di dalam al-Qur’an:

“Innanî Anâ Allâh lâ ilâha illâ Anâ fa’budnî wa aqimis- shalâta li dzikrî” (QS. 20: 14).

Artinya: “Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan kerjakan shalat untuk berzikir kepada-Ku, atau agar ada zikir kepada-Ku di saat mendirikan shalat”.

Dengan adanya dzikir inilah seseorang bisa mengontrol shalatnya sendiri, apakah bisa mencapai tingkat khusyû’ ataukah tidak.

Bagaimana pentingnya dzikir di dalam shalat juga terlihat dari ayat lain (QS. 107: 4-5), di mana Allah memperingatkan mereka yang mendirikan shalat dalam keadaan sâhûn (lupa, tidak ingat). Mengapa mereka yang mendirikan shalat oleh Allah, di dalam ayat tersebut, disebut sâhûn atau lupa? Karena, di dalam shalatnya tidak ada dzikir dan shalat yang dikerjakan dalam keadaan demikian, oleh Allah diperingatkan dengan ancaman wail atau celaka, sebagaimana difirmankan Allah:

“fawailun lil mushallîn, alladzîna hum ‘an shalâtihim sâhûn” (QS. 107: 4-5),

Artinya, “celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat, yaitu mereka yang lalai (sahun) ketika melaksanakan shalatnya”.

Khithab ayat ini ditujukan kepada al-musallîn, yaitu orang-orang yang melakukan shalat secara terus menerus akan tetapi mereka lupa di dalam shalatnya, padahal Allah menghendaki agar di dalam shalat itu ada dzikir (ingat) kepada-Nya. Bentuk isim fa’il yang menurut pakar bahasa memberi faedah lil-istimrâr (terus menerus) digunakan untuk kata al-musallîn, memberi arti “mereka yang terus menerus mengerjakan shalat”. 

Ayat ini menantang akal kita untuk berpikir logis. Jika mereka yang tidak mengerjakan shalat yang diancam oleh Tuhan dengan ancaman wail, tentu akal kita memakluminya karena mereka memang tidak mengerjakan shalat. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan ayat ini, justru mereka yang terus menerus mengerjakan shalat inilah yang diancam denganwail oleh Tuhan.

Di sini, kita dituntut mencari relevansi ayat ini dengan ayat lain yang menunjukkan bagaimana seharusnya shalat yang berkualitas itu dikerjakan. Shalat itu sesungguhnya tidak hanya terbatas pada perbuatan lahiriah-jasmaniah dengan memenuhi syarat dan rukun yang ditetapkan oleh syari’at belaka melainkan juga ada dimensi batinnya, yaitu hendaknya seseorang yang mendirikan shalat ada zikir di dalamnya sehingga shalatnya bisa khusyû’, bisa hudhurulqalbi ilallâh (hatinya hadir di hadapan Allah) karena dengan adanya dzikir di dalamnya terciptalah konsentrasi batin. 

Yang demikian itu karena eksistensi manusia meliputi dua unsur yang menyatu di dalam dirinya, yaitu lahir dan batin, jasad dan roh. Oleh karena itu, menurut ajaran al-Qur’an, mendirikan shalat tidak hanya sebatas amaliah lahiriah saja, melainkan juga memasukkan amaliah batiniahnya.

Logika mengatakan, “Janganlah memasukkan sesuatu yang semestinya tidak layak dimasukan ke dalamnya, meskipun sesuatu itu baik “. Contohnya, janganlah memasukkan ke dalam lemari pakaian sesuatu yang semestinya tidak layak untuk di masukkan ke dalamnya meskipun sesuatu itu baik, seperti gula, kopi, susu, daging dan ikan. 
Jika barang-barang sejenis ini dimasukkan ke dalam lemari pakaian, maka semua ini akan merusakkan fungsinya sebagai lemari pakaian. 

Jangan memasukkan ke dalam minuman kopi sesuatu yang semestinya tidak harus masuk ke dalamnya meskipun sesuatu itu baik, seperti sambal. Demikian pula, ketika kita sedang mendirikan shalat. Jangan memasukkan ke dalam shalat selain dzikir kepada-Nya. Inilah makna yang tersirat dari ayat di atas. 

Persoalan berikutnya adalah, dzikir yang seperti apa yang memenuhi titah Tuhan yang bisa membawa hati kepada khusyû’, membawa hati hadir seakan-akan berada di hadapan Tuhan ketika shalat. Persoalan lainnya, menyangkut tolok ukur dzikir secara obyektif sehingga ia bisa dikerjakan oleh semua muslim, tidak peduli apakah ia seorang pembantu rumah tangga yang bodoh dalam pengetahuan agama ataukah ia seorang yang ‘alim dalam ilmu agama. 

Apakah ia seorang muslim yang mempunyai ilmu agama yang cukup sehingga bisa memahami makna ayat-ayat yang dibaca di dalam shalat ataukah ia kurang memahami makna apa-apa yang dibacanya karena ia memang berlatar belakang pendidikan tidak dalam disiplin ilmu-ilmu agama.

Seorang ahli di bidang ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial atau di bidang teknologi, biasanya tidak mempunyai kesempatan yang banyak untuk mendalami pengetahuan agama. Mereka mungkin dapat menghafal bacaan-bacaan shalat akan tetapi mereka tidak mengerti makna dan arti apa yang dibacanya. 

Namun, jika mereka memiliki dzikir yang bisa membuat hati hadir di hadapan Tuhannya, mereka termasuk orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dengan dzikir inilah seseorang mempunyai pusat konsentrasi di dalam shalatnya, seperti orang yang memanah; konsentrasinya terpusat kepada sasaran yang hendak dipanah. Dengan memiliki pusat konsentrasi dia bisa mengontrol agar anak panahnya benar-benar mengarah kepada sasaran.

Solusinya adalah “carilah seseorang yang ahli dzikir dan mintalah kepadanya dzikir yang memungkinkan kamu memiliki pusat konsentrasi ketika mengerjakan shalat, sebagaimana firman-Nya:

“Wa mâ arsalnâ min qoblika illâ rijâlan nûhî ilaihim, fas’alû ahladz-dzikri in kuntum lâ ta’lamûn “. (QS. 16: 43).

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah (tentang dzikir) kepada ahli dzikir (orang yang mempunyai pengetahuan tentang Tuhan) jika kamu tidak mengetahui”,

Seperti orang tua yang memerintah anaknya yang kesulitan dalam pelajaran matematika, “bertanyalah kepada ahli matematika jika kamu tidak tahu”. Artinya, jika kamu tidak tahu tentang matematika maka kamu harus bertanya atau meminta ilmu matematika kepada orang yang ahli matematika. Dengan kata lain, “jangan kamu bertanya kepada orang yang tidak ahli matematika”.

Al-Qur’an juga menginformasikan bahwa dzikir yang ada di dalam shalat ini bisa diaplikasikan ke dalam aktivitas-aktivitas lain selain aktivitas religi (keagamaan).

Penulis membagi aktivitas-aktivitas manusia menjadi tiga macam, yaitu aktivitas yang natural (alami), aktivitas kultural (budaya) dan aktivitas religi (keagamaan).

Aktivitas-aktivitas yang bersifat alami, seperti makan, minum, istirahat, tidur, sakit, senang, mandi; sedangkan aktivitas-aktivitas kultural seperti belajar, mengajar, mengemudi, menanam, mengerjakan tugas dengan komputer, memperbaiki laporan, mengurus nasib rakyat banyak, memegang kekuasaan politik, memimpin negara, mengurus perusahaan, mengelola keuangan, bekerja di Bank, melestarikan lingkungan dan lain-lain. 

Aktivitas-aktifitas religi (keagamaan), seperti puasa, haji, zakat, jihad, i’tikafdan sudah tentu shalat, bahkan disabdakan oleh Nabi Muhammad saw bahwa shalat adalah tiang agama. Artinya standard ukur yang utama ke Islaman itu ada pada shalat.

Kini, bagaimana dzikir yang ada di dalam shalat itu diaplikasikan kepada aktivitas-aktivitas tersebut, sehingga seseorang ketika sedang mengemudikan mobil sekaligus berdzikir, ketika sedang mengajar sekaligus berdzikir, ketika sedang belajar menghadapi ujian sekaligus berdzikir, ketika sedang makan-minum sekaligus berdzikir, ketika sedang memimpin negara sekaligus berdzikir, ketika sedang mengurus ekonomi rakyat sekaligus berdzikir. Inilah yang difirmankan Allah dalam mensifati ulul albab:

Artinya:”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau sambil duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Ali Imran: 190-191)

Mereka (ulul albab) adalah orang-orang yang selalu berdzikir kepada Allah pada saat “qiyâman wa qu’ûdan wa ‘alâ junûbihim”. Qiyâmanberarti pada saat menjalankan aktivitas; dan jenis-jenis aktivitas manusia bisa dikelompokkan kepada tiga jenis aktivitas di atas, yaitu aktivitas natural, kultural dan religi (keagamaan). 

Jika di dalam seluruh aktivitas tersebut terdapat dzikir yang mempertalikan seseorang dengan Tuhannya, maka seluruh aktivitas yang demikian itu adalah ibadah. Kita semua maklum bahwa salah satu jenis ibadah adalah shalat, substansi (intinya) shalat adalah dzikir. Jika dzikir yang ada di dalam shalat ini dibawa ke dalam seluruh aktivitas kita, samalah artinya kita mengerjakan shalat daim, terus menerus kita dalam keadaan seperti shalat. Apabila kita memahami hal ini, maka kita bisa memahami tradisi agama yang menyatakan;

“I’mal li dun-yâka kaannaka ta’îshu abadan, wa’mal li âkhirâtika kaannaka tamûtu ghodan”. (al-Hadits).

“Beramallah kamu untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya dan beramallah kamu untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok,”. (al-Hadits).

Artinya, persatukanlah antara amal akhirat dengan amal dunia dengan dan melalui dzikir.

Penulis ingin memberi satu contoh lagi untuk hal ini. Misalnya, dari sisi lahiriah, seseorang nampak melakukan perbuatan duniawiah seperti menjahit pakaian untuk menutupi kebutuhan hidup jasmaniah-duniawiahnya. Jika dalam melakukan perbuatan itu dia juga menyertakan dzikir di dalam rasa-nya, (struktur eksistensi manusia, menurut konsepsi tasawuf ada empat yaitu jasad, hati, roh dan rasa) maka amaliah yang kelihatan duniawiah ini sekaligus juga memiliki dimensi ukhrawiah. 

Inilah yang disebut dengan dzikir sirri (dzikir yang ada di dalam kedalaman rasa, sebuah entitas spiritualyang amat tersembunyi, atau “piningit”). Adapun Thariqah Syaththariah, atau tepatnya Ilmu Syaththariah, adalah ilmu yang menjaga, memelihara dan melestarikan dzikir yang mencapai martabat rasa ini (dzikir sirri).


2. Tasawuf dan Akhlak

Akhlak adalah disiplin yang juga mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, namun tidak berarti akhlak adalah tasawuf itu sendiri. Alasannya, disiplin akhlak tidak menggarap pokok materi (subject matter) yang menjadi garapan tasawuf. Adapun pokok materi tasawuf itu adalah tentang bagaimana hakekat manusia bertemu dengan hakekat Allah melalui seorang yang ahli dalam ilmu hakekat.

Jadi, hakekat manusia ini bisa bertemu dengan hakekat Tuhan, karena sesungguhnya hakekat manusia itu berasal dari hakekat Tuhan (cuwilan dari hakekat Tuhan atau disebut pula dengan fitrah Allah), hingga terjadilah syahadah atau penyaksian diri kepada Tuhannya. Di dalam istilah teknis tasawuf, hal ini lazim disebutma’rifat billah, atau konkritnya, ma’rifat bi dzatilllah, mengenal Dzat Allah dan bukan hanya sekedar mengetahui nama Allah. 

Di dalam khazanah Islam, Allah didefinisikan sebagai “nama yang menunjukkan adanya Dzat yang Wajib WujudNya” (Allâh ismun li Dzâtin al-wajîbu al-wujûd). Inilah pokok materi tasawuf yang tidak menjadi garapan Akhlak; perbedaannya dengan tasawuf dan sekaligus menjadi titik pemisah antara tasawuf dan akhlak.

Logika-logika tasawuf

Logika 1: Rumusan jumhur ulama menyatakan Allâh adalah nama bagi satu Dzat yang Wajib Wujudnya (Allâh ismun li Dzâtin al-wajîb al-wujûd). Di dalam wacana ilmu kalam abad pertengahan, al-Asy’ari, membuat rumusan “lâ hiya huwa wa lâ hiya ghairuh” (sifat itu bukan dzat, dan sifat itu tidak lepas dari dzat), atau diringkaskan oleh Muzaffaruddin al-Nadwi menjadi la ‘aina wala ghaira. 

Di dalam Umm al-Barahain, Al-Sanusi, seorang pengikut Al-Asy’ari periode akhir, membuat rumusan sifat dua puluh dan menempatkan wujud atau yang beliau sebut dengan sifat nafsiahpada urutan pertama. Namun dalam penjelasannya, beliau mengakui bahwa nafsiah itu sebenarnya bukan sifat melainkan wujud atau Dzat itu sendiri. Wujud dimasukkan dalam kategori sifat-sifat dua puluh dimaksudkan untuk membantu mempermudah mempelajari sifat-sifat Tuhan.

Ayat pertama dari surat al-Fatihah menyatakan:“bismillâh ar-rahmânar-rahîm” (artinya;”Dengan nama Allah yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih”). Ibn-‘Arabi dalam wihdâtul wujûdtidak hanya menyatakan “tidak ada tuhan kecuali Allah” melainkan “tidak ada wujud melainkan wujud Allah”. Di sini Ibn-‘Arabi menegaskan adanya satu wujud yang hakiki.

Logika 2: Jika sebuah nama memiliki wujud (dzat,being), maka wujud itulah yang bisa kita dekati, wujud itulah yang kita temui, wujud itulah yang kita hadiri, atau kita hadirkan, kita datangkan kepada diri kita, kita kenali dan kita ma’rifati, menurut istilah tasawuf. Misalnya, “air” adalah nama atau sebutan yang menunjuk kepada adanya satu wujud; barang atau benda cair. 

Apa yang dapat kita minum, kita rasakan, kita nikmati, kita pakai untuk mandi, adalah wujud air dan bukan namanya. Dengan meminum air (wujud air), seseorang yang tengah kehausan bisa menghilangkan rasa hausnya sekaligus bisa merasakan dan menikmati segarnya air. Artinya, apa yang dibutuhkan seseorang yang haus adalah wujud air dan bukan sekedar namanya. Jika ia hanya sekedar nama air, tentu seseorang yang haus tidak akan bisa meminumnya, tidak akan merasakan segarnya dan hausnya pun tidak akan terhapus oleh nama air itu. 

Setelah meminum air kita menyatakan bahwa air ini segar, atau teh ini manis. Sebenarnya yang menyatakan segar atau manis adalah rasa. Demikian ini karena di dalam rasa ada unsur kognitif, ‘irfan (mengenal, memahami atau me-ma’rifati), karena itu, Suhrawardi al-Maqtul menyatakan, “man lam yadzuq lam ya’rif”, ”barangsiapa yang tidak merasakan, maka ia tidak tahu”. Karena itulah Iqbal menyatakan, bahwa rasa memberikan pengalaman langsung, atau direct experience. Karena, rasalah yang bersentuhan langsung dengan wujud sesuatu.

Allah adalah nama atau sebutan yang menunjuk kepada adanya Dzat yang memiliki nama itu. Tentu yang perlu didekati dan dikenali (di-ma’rifati) bukan sekedar nama-Nya, melainkan Dzat yang punya nama Allah. Inilah, cara beragama seorang sufi. Dan, untuk bisa ke sana seseorang membutuhkan perantara (mediator, wasîlah, atauwasîthah) yang ahli dalam ilmu hakekat, yang mendapat tugas mempertemukan hakekat manusia dengan hakekat Tuhan. Seperti Anda yang belum pernah berkenalan dengan Habibie, sangat mungkin Anda bertemu dengannya jika melalui seorang perantara yang memperoleh tugas mengantarkan Anda menemuinya.

Logika 3: Semua orang Indonesia percaya bahwa nama Presiden Indonesia yang dilengserkan oleh gerakan moral mahasiswa, yang telah berkuasa selama tiga dasawarsa, adalah Soeharto. Tetapi, belum tentu semua warga Indonesia sudah berkenalan, bertemu, bertatap muka atau bahkan berakrab-akrab dengan dia yang punya nama Soeharto itu. 

Keyakinan kita bahwa Soeharto adalah Kepala Negara Republik Indonesia tidak salah, sebab Soeharto memang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun, belum tentu orang yang memiliki keyakinan semacam ini pernah bertemu dengan dia yang punya nama Soeharto itu. Analog ini sekarang kita bawa ke wilayah agama. 

Adalah benar, semua umat Islam percaya bahwa Tuhan yang mereka yakini namanya Allah, akan tetapi belum tentu semua yang mempunyai keyakinan demikian sudah pernah mengenal (ma’rifat) kepada-Nya atau bertemu dengan-Nya. Jadi, tampak jelas bahwa apa yang bisa didekati, dihadiri atau dihadirkan bukanlah namanya melainkan dzatnya.

Sebagaimana telah disinggung di atas, dalam wacana tasawuf, istilah ma’rifat billâh berarti ma’rifat bi Dzâtillâh. Hanya untuk ke sana dibutuhkan suatu metode yang khas tasawuf yang berbeda dari metode yang diterapkan untuk disiplin-disiplin keilmuan lain, seperti metode untuk kajian yang obyeknya alam, sejarah atau sosial. 

Objek tasawuf adalah Tuhan Allah yang Dzat-Nya tidak kasat mata (ghaib) tetapi Wajib Ada-Nya. Memang harus diakui, banyak hal yang tidak kasat mata (ghaib) selain Dzat Allah, misalnya atom, malaikat, dan jin. Akan tetapi, semua itu adalah makhluq (wujud yang diciptakan) sedangkan Allah adalah Al-Khâliq (Dzat yang menciptakan).

Logika 4: Sebuah aliran filsafat yang menamakan dirinya fenomenologi dengan tokoh sentralnya Edmund Husserl, memahamibeing adalah present. Being (sesuatu yang wujud, ada) ditandai dengan kehadiran, atau oleh Husserl ditafsirkan dengan kehadiran. Dengan kata lain, apa yang hadir kepada kita adalah wujud sesuatu, dan bukan sekedar nama dari sesuatu.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, ke manakah wujud itu hadir? Oleh Husserl dijawab bahwa wujud itu hadir ke dalam kesadaran kita, atau consciousness, sebuah konsep metafisik, sebuah entitas spiritual yang immanen yang ke dalamnya pengalaman manusia masuk. Karena kesadaran itu immanen maka pengalaman yang masuk ke dalam kesadaran manusia pun bersifat immanen, dan karena itu tidak perlu diragukan. 

Inilah pemecahan Husserl dalam mengatasi doktrin metodologi “keragu-raguan” Descartes, tokoh sentral dari filsafat Rasionalisme modern. Sementara doktrin Husserl lebih memfokuskan pada kajian epistemologi, tasawuf lebih menekankan pada ontologi-eksistensial (bandingkan wacana ini dengan wacana diskusi antara aliran hermeneutik teori dengan tokoh-tokohnya Spinoza, Flacius, Chladenius, Schleiermacher, Droysen, Delthey sampai kepada Emilio Betti dengan hermeneutik filsafat yang ditokohi oleh Heidegger dan Gadamer). 

Tasawuf tidak menggunakan konsep “kesadaran” sebagai sesuatu yang immanen di dalam diri manusia, melainkan ia menggunakan konsep sirr atau dzauq (rasa). Rasa adalah fondasi-dasar kemanusiaan dan di atas fondasi-dasar inilah Allah menempatkan hakekat manusia yang sejak mula jadi, atau secara fitrah-qudrati, hakekat manusia itu berasal dari-Nya. 

Pada suatu masa, sebelum manusia dilahirkan ke alam empirik, atau para mufassir menyebutnya dengan “alam dzar”, sebenarnya, hakekat manusia ini telah menyaksikan hakekat Tuhannya. Plato menggunakan istilah alam before born, di mana manusia telah membawa innate idea di dalam dirinya. 

Pada alam yang seperti itu, hakekat manusia telah bersyahadah (menyaksikan) kepada hakekat Tuhannya, karena pada saat itu belum ada alam lain selain hakekat manusia dengan hakekat Tuhan. Dan, untuk kepentingan mempertemukan kembali hakekat manusia dengan hakekat Tuhannya ketika manusia telah dilahirkan di alam empirik ini, maka diutuslah oleh-Nya para nabi dan rasul yang dipilih di antara para hamba-Nya.

Penutup

Pada akhir bab ini, penulis ingin menekankan signifikasi tugas kerasulan ini dengan pembentukan sebuah kepribadian. Bahwa usaha membangun sebuah kepribadian yang insaniah haruslah dimulai dari fondasi dasar ini, yakni rasa, yang di atasnya sebuah kepribadian dibangun. 

Jika kepribadian itu ibarat sebuah bangunan, maka proses pembangunannya juga menjadi bagian yang tidak dapat dielakkan dari pembahasan. Sudah tentu, sebuah bangunan haruslah diletakkan di atas fondasi yang kokoh, atau bahwa bangunan itu harus dimulai dari fondasi dasarnya. Singkatnya, temukanlah dahulu fondasi dasarnya, lalu mulailah proses pembangunan kepribadian.

Rasa, oleh tasawuf, dikonsepsikan sebagai dasar manusia sebab rasa menjadi dasar dan sumber kekuatan manusia yang memiliki daya dorong bagi aktivitas manusia. Seseorang yang rasanya dikuasai oleh rasa ingin tahu maka hampir seluruh aktivitasnya mengejar ilmu pengetahuan. Seseorang yang rasanya dikuasai oleh keinginan untuk menguasai harta benda, maka seluruh aktivitasnya dikerahkan untuk mencari jalan guna menumpuk kekayaan, baik demi perbaikan ekonomi keluarganya, atau dengan alasan-alasan lainnya. 

Seseorang yang rasa hatinya dikuasai oleh kehendak ingin berkuasa dan menduduki jabatan maka seluruh aktivitasnya pun akan dicurahkan untuk mencapai tujuan dan keinginannya. Aktivitas orang untuk mengumpulkan harta, memperoleh ilmu dan popularitas, menduduki jabatan, mempertahankan kekuasaan dan harga diri, semua itu bersumber dari rasa yang terdapat di dalam hatinya, sehingga rasa itu menjadi lupa terhadap tugas pokok yang sesungguhnya. 

Adapun tugas pokok dan utama dari rasa, menurut tradisi tasawuf, adalah mengenal Tuhannya, atau tegasnya, mengenal Dzat Tuhan. Doktrin tasawuf lainnya menyatakan bahwa di atas rasa inilah Tuhan Allah menempatkan hakekat manusia, dan karena itulah manusia selalu memiliki kecenderungan beragama. Tugas pokok rasa yang seharusnya mengenal Tuhannya ini memang sangat mungkin dilupakan, akan tetapi tidak bisa dihilangkan. 

Seorang anak boleh jadi melupakan jasa orang tuanya, akan tetapi jasa kedua orang tuanya itu jelas tidak bisa dihilangkan. Guru Wasithah, sebagai pelanjut yang menyampaikan Ilmu Nubuwwah (‘ilm-annubuwwah), mengingatkan kepada tugas pokok rasa ini dan mengajak manusia untuk memperhatikan tugas pokok ini. Logika empirik mengatakan, seseorang yang melalaikan tugas pokoknya, maka layak baginya memperoleh efek dari perbuatannya. 

Misalnya, seorang anggota militer yang selalu melalaikan tugas pokoknya, maka wajar bagi dirinya memperoleh balasan, yaitu dipecat dari kesatuannya, akibat dari perbuatannya yang selalu melalaikan tugas pokoknya.

Jika rasa ini dikuasai oleh segala ambisi dan keinginan duniawiah, maka rasa akan habis digunakan untuk hal-hal yang duniawiah ini saja; dan jika rasa ini mengabaikan tugas pokoknya mengenal Tuhan maka seluruh aktivitasnya tidak terkait sama sekali dengan Tuhannya. Jika rasa ini memiliki ikatan kesadaran akan kehadiran Tuhan di dalam dirinya, maka aktivitas duniawiahnya tidak kehilangan kaitan dengan Tuhannya. 

Orang yang demikian ini, jika ia berkesempatan mengatur dunia, ia mengaturnya dengan didasarkan atas kesadaran akan kehadiran Tuhannya sehingga nafsu ambisinya terkendalikan atau bahkan nafsunya tidak mempengaruhi aktivitas duniawiahnya sama sekali, baik ketika membuat kebijakan, mengoperasionalkan kebijakan atau dalam mengevaluasi dan mengontrol kebijakan duniawiahnya. 

Demikian ini karena, di dalam rasanya ada Tuhan dan ia bertindak bersama dengan Tuhannya. Inilah, salah satu sumbangsih tasawuf yang memiliki tingkat kepedulian yang kualitatif terhadap proses pembentukan kepribadian.
(Oleh: DR. A. Khozin Affandi/buku: Satrio Piningit)

Selasa, 24 Desember 2019

Perbedaan Wahabi, Syiah dan Sufi (Sunni)

Islam (Arab: al-islām, الإسلام : "berserah diri kepada Tuhan") adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. 

Agama ini termasuk agama Samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. 

Dengan sekitar dua milyar  orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen.

Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: الله, Allāh). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. 

Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.

Adapun terdapat Mazhab (bahasa Arab: مذهب, madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. 

Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Penulis disini hanya mengulas 3 Mazhab yaitu:

Sunni: Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (Bahasa Arab: أهل السنة والجماعة) atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: أهل السنة) atau Sunni. Ahlussunah adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.

Syi’ah: Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه)Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Muslim Syi'ah mengikuti Islam sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Ahlul Bait-nya. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama, sebagaimana  juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. 

Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Shī`ī (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait  dan Imam Ali. 

Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah. Selama ini, mayoritas orang selalu menganggap Syiah bagian dari Islam. Tapi sesungguhnya ada perbedaan antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan Syiah serupa tapi tak sama. 

Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi—terutama dari segi aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.

Sufi: Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (Bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. 

Tasawuf (pelakunya disebut Sufi) pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syi'ah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.

Apapun Mazhab Islam yang kita percayai janganlah membawa arah pada permusuhan terhadap sesama Muslim lebih-lebih menimbulkan peperangan antara sesama kaum Muslimin. Islam tidak mengajarkan kita akan permusuhan akan tetapi Islam mengajarkan kepada kita bahwa Islam adalah Rahmatanlilallamin. 

Penulis hanya membantu bagi yang ingin mengetahui tentang Mazhab Islam yang didapatkan oleh penulis dari (http://id.wikipedia.org). Apapun aliran Islam kita tetap harus bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah,SWT. dan kita juga harus bersaksi bahwa Nabi Muhammad, SAW. adalah Rasulullah, "Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah". (Oleh:Fachrul Reza Adung)

Perbedaan signifikan
Wahabi mencintai sahabat, namun membenci Ahli Bait. Syiah mencintai Ahli Bait, tetapi membenci sahabat. Sedangkan Sufi mencintai keduanya, Ahli Bait dan juga sahabat.

Perbedaan signifikan tiga kelompok di atas disebabkan perbedaan penafsiran atas teks (al-nash), baik Alquran maupun hadis.

Wahabi menafsirkan teks Alquran dan hadis melalui penafsiran kulit luar (al-tafsir al-dhahiriy). Syiah menafsirkan teks secara substantif (al-tafsir al-batiniy). Sufi menjelaskan bahwa substansi teks diperoleh melalui komunikasi manusia dengan Tuhan.

Tak dipungkiri, sikap ekstrim wahabi tidak muncul dengan sendirinya. Sikap ini berangkat dari pemahaman ayat-ayat siksa (al-‘azab), bentuk turunan (derivatif), dan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan siksa.

Sikap longgar kaum fundamentalis juga berawal dari pemahaman ayat-ayat yang menerangkan rahmat, dermawan, ampunan, taubat, dan sebagainya.

Kesalahan wahabi adalah memutlakkan pemahaman ayat-ayat tentang siksa. Kesalahan fundamentalis adalah memutlakkan ayat-ayat tentang rahmat, dermawan, ampunan, taubat, dan lain-lain.

Pemutlakan tersebut mustahil dilakukan dengan dua argumen.

Pertama, tidak mungkin selamanya menyematkan sifat Allah sebagai pembalas dendam (al-muntaqim), tanpa mengakui Dia sebagai Pemberi ampunan dan rahmat.

Kedua, tidak mungkin bicara ampunan dan rahmat, lalu melupakan sifat-Nya sebagai pembalas dendam dan pemaksa (al-Jabbar).

Penyematan satu sifat Allah dan melupakan sifat yang lain itu menandakan bahwa Allah memiliki sifat kurang, tidak sempurna. Mustahil Allah memiliki kekurangan.

Wahabi dan Syi'ah sama-sama mengambil satu sisi dalam Islam dan melupakan sisi-sisi yang lain.

Islam memiliki dua sisi tersebut agar berjalan seirama. Inilah yang disebut wasathiyyah. Tidak miring ke kiri. Tidak condong ke kanan.

Dengan demikian, pemutlakan sifat taubat dapat menghilangkan rasa takut (al-khauf) atas skenario Allah (al-makr).

Pemutlakan sifat Allah sebagai pemberi siksa yang pedih dapat memupus harapan seseorang untuk memperoleh rahmat.

Karenanya, perlu ada keseimbangan. Tidak boleh hanya mengingat rahmat, lalu mengabaikan aspek yang lain. Dilarang merasakan kekerasan dan menafikan kelembutan.

Jangan sampai rasa takut yang berlebihan memupus harapan. Jangan sampai keluasan rahmat melenyapkan skenario Tuhan.


Fenomena Baru

Kemunculan fenomena-fenomena baru pada peringatan Hari Besar Islam, seperti Maulid, Isra’ Mikraj, dan sebagainya, bagaikan kemunculan lalat yang mengerumuni daging dan anjing yang berebut tulang di tempat pemotongan hewan.

Keberadaan lalat dan anjing di tempat pemotongan hewan itu sangat menjijikkan dan tidak sedap dipandang. Namun kemunculannya tidak serta-merta membuat daging menjadi haram dimakan. Hal ini memerlukan ketenangan berpikir dan kecerdasan berlogika.

Faktanya, wahabi telah melahirkan beberapa organisasi baru yang berbeda dengan asalnya. Begitu pula syiah memunculkan ajaran dan gerakan baru dengan sempalan-sempalan syiah lainnya. Sementara kaum sufi, meski organisasi dan gerakannya berbeda, namun tujuannya sama, yaitu menggapai Cinta Illahi.

Jelasnya, ketika Allah mewajibkan salat. Nabi Muhammad SAW mengajarkan tata cara shalat. Maka selanjutnya terdapat perbedaan tata cara salat. Perbedaan ringan dan tidak signifikan.

Beda halnya dengan puasa dan haji, Allah langsung memberitahukan tata cara puasa dan haji. Maka tidak ada perbedaan dalam pelaksanaannya.

Berikutnya, Allah mewajibkan zikir dan tidak mengajarkan tata cara zikir secara langsung.

Tidak adanya pengajaran langsung terkait tata cara pelaksanaan zikir, tidak menunjukkan kealpaan dan keterbatasan Allah dan Rasul-Nya. Namun hal ini bertujuan supaya pelaku zikir dapat memilih tata cara dan jalan zikir yang cocok. Tak seorangpun dapat membatasi cara, bentuk, dan waktu berzikir.

Zikir diumpamakan tukang pedaging. Ada yang spesialis pemotong daging. Ada yang ahli membersihkan babat dan usus. Ada juga yang khusus menyelesaikan kepala. Ujungnya, daging, babat, usus, dan kepala hukumnya halal dimakan. (Oleh: H. Muhammad Rofiq Mualimin, Alumni Universitas Al-Azhar Mesir dan pengasuh PP Nur Hikmah, Bantul, Yogyakarta)

Jumat, 20 Desember 2019

Salah faham tentang tarekat dan pentingnya bertarekat

Kalau anda memahami tarekat itu sebuah perkumpulan zikir maka anda boleh ikut atau tidak di dalamnya karena di dunia ini banyak perkumpulan-perkumpulan sejenis yang berbasis agama.

Begitupun kalau anda memahami tarekat adalah kumpulan bacaan zikir yang dibacakan disaat tertentu maka anda boleh tidak bergabung di dalamnya karena anda bisa mengambil bacaan zikir yang lain tidak harus sama dengan apa yang diamalkan oleh orang-orang tarekat. 

Begitu pun kalau anda memahami tarekat sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah anda pun bisa berdalih bahwa dengan ibadah-ibadah yang ada anda bisa dekat dengan Allah. Lalu bagaimana kita memahami tarekat?

Tarekat tidak bisa dimaknai terpisah seperti di atas karena akan kehilangan makna yang sebenarnya. Tarekat berasal dari kata Tareqatulah atau jalan menuju kehadirat Allah SWT. Bahasa dulu dipahami sebagai jalan sedangkan dalam bahasa modernn lebih tepat disebut sebagai metodologi atau cara. Jadi tarekat adalah metodologi untuk melaksanakan ajaran agama secara benar sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT.

Ketika Nabi masih hidup, metode untuk mendekatkan diri kepada Allah ini disebut Tariqatusirriah atau Jalan Rahasia dan kemudian menjadi cikal bakal istilah tarekat dan di zaman kemudian dikenal berbagai macam jenis tarekat. Kehidupan Nabi di mesjid bersama dengan orang-orang yang 24 jam tinggal bersama Nabi yang disebut Ahlussuffah itu adalah bentuk dari pelaksanaan tarekat yang sampai saat ini tetap dipertahankan.

Tujuan bertarekat tidak lain adalah bisa mengikuti sunnah Nabi secara zahir dan bathin dimana akhir zaman ini kebanyakan orang yang sibuk mengikuti sunnah Nabi secara zahir saja. Cara berpakaian, makan, minum dan kehidupan fisik Nabi dijadikan panutan itu bagus namun yang lebih bagus lagi adalah rohani kita bisa tersambung kepada rohani Nabi karena fisik dengan fisik akan terpisah oleh zaman sedangkan ruh dengan ruh tidak akan terpisah.

Kita bisa mengikuti gaya Nabi dalam segala hal tapi sudah pasti kita tidak akan bisa mengambil RASA yang dirasakan oleh Nabi. Kita bisa meniru shalat Nabi tapi getaran dada Nabi dan tangisan Beliau di dalam shalat tidak akan pernah bisa kita ambil karena itu bukan ranah fiqih atau syariat, itu adalah bagian tasawuf yang dipraktekkan lewat tarekat.

Manusia tidak akan bisa merindukan Allah kalau dia tidak mengenal dengan baik dan cara mengenal paling sempurna adalah lewat tarekat. Maka ketika tarekat di bid’ahkan saat itulah ummat Islam kehilangan kontak dengan Allah, itulah tujuan para orientalis dan yahudi lewat ajaran-ajaran yang disusupkan di dalam Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Di dunia ini hanya ada satu kelompok yang membid’ahkan bahkan mengharamkan tarekat dan tasawuf yaitu kelompok ciptaan orientalis yang menyusup ke dalam Islam. Kelompok ini pula yang melarang kita mewujudkan cinta kepada Nabi lewat berbagai bentuk seperti maulid dan pujian kepada Nabi. Ummat Islam ditakut-takuti dengan istilah menyeramkan yaitu SYIRIK.

Satu hal yang harus di sadari oleh ummat Islam bahwa inti sari dari beragama adalah ber AKHLAK. Akhlak itu tidak bisa dipelajari atau di tiru-tiru begitu saja. Anda ketika membaca hadist bahwa Nabi membuang duri dari jalan kemudian anda melakukan kebaikan itu dan anda merasa sudah mengikuti Nabi, anda keliru. 

Meniru 100% apa yang dilakukan Nabi tidak akan memindahkan apa yang ada di dalam dada Beliau. AHKLAK yang hakiki itu bukan di dapat lewat meniru apalagi hanya dengan modal membaca tapi di dapat dengan cara “MENDOWNLOAD” dari dada Nabi sehingga 100% murni anda terima.

Bagaimana cara Mendownloadnya? Dengan menghubungkan dada anda kepada anda Khalifah Rasulullah terakhir dan tersambung sanad dan rohaninya sehingga apa yang ada di dada Nabi akan berpindah ke dada anda. Cara inilah yang dipakai Nabi untuk mengubah akhlak masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang terpuji karena mereka mendapatkan getaran ilahiyah lewat dada Nabi.

Ketika tarekat anda tolak maka yang terjadi anda hanya bergaya saja mengikuti sunnah Nabi sedangkan di dada anda masih bersemayam setan yang dikutuk oleh Allah. Persis seperti orang buta huruf yang tidak tamat SD mencontoh gaya dokter dengan cara meniru fisiknya, memakai baju dokter dan peralatan dokter. Tampak luar dia persis seperti dokter tapi isi dalamnya tetap orang bodoh. Begitu juga orang yang meniru gerak gerik dan ibadah Nabi secara zahir tetapi di dalamnya….

Pentingnya Ilmu Tarekat

Dalam tulisan Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat itu SATU telah diuraikan tentang begitu pentingnya ilmu Tarekat sebagai metodologi pelaksanaan teknis dari syariat, aturan-aturan baku yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. 

Sejak kecil kita semua sudah mengetahui bagaimana cara shalat, jumlah raka’at dan bacaan yang wajib serta sunnat dibaca, dari sejak kecil sampai dewasa kita telah mahir melaksanakannya, lalu dimana bedanya?

Kalau pertanyaan ini tidak bisa dijawab, berarti shalat yang kita laksanakan ketika umur 10 tahun sama dengan shalat yang kita laksanakan ketika dewasa atau saat ini tidak ada perbedaan sama sekali. Lalu seberapa yakin kita bahwa shalat yang telah dilaksanakan bertahun-tahun diterima oleh Allah SWT? Seberapa yakin bahwa shalat yang kita kerjakan itu telah sesuai dengan apa yang dilaksanakan Nabi secara zahir bathin?

Pertanyaan ini perlu direnungi dan dijadikan semangat untuk terus mencari cara agar ibadah bisa di upgrade ke level lebih tinggi sehingga apapun ibadah yang kita lakukan akan memiliki makna yang dalam.
Tarekat sebagai ilmu untuk melaksanakan semua aturan Agama akan bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan di atas. Menekuni Tarekat pada tahap awal dimulai dengan Tobat, menyesali kesalahan dan kekeliruan kita, menyesali akan kelalaian kita dalam mengingat-Nya. 

Dengan tobat maka rohani manusia akan menjadi suci seperti orang baru dilahirkan kembali. Jiwa manusia atas bimbingan Guru Mursyid akan terasa seperti kain putih, dan ketika kita melihat kain putih akan membuat diri sadar bahwa kita telah mengalami mati dan kemudian hidup kembali dengan kehidupan yang baru.

Jiwa yang telah mati dan dihidupkan kembali itulah kemudian memulai ibadah dengan kehidupan baru sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Nabi berpesan, “Matikanlah dirimu sebelum engkau mati”, hadist ini hanya bisa dilaksanakan ketika orang mulai menekuni Tarekat. Mati dalam pengertian syariat nafas berhenti sedangkan mati dalam makna hakikat adalah mematikan akal fikiran dan menghidupkan Qalbu sebagai media komunikasi dengan Allah SWT.

Manusia yang mempunyai keterbatasan, penuh kehinaan dan penuh kesilapan tidak akan mungkin bisa berhubungan, berkomunikasi dengan Dzat Yang Maha Bersih dan Maha Tinggi yaitu Allah SWT. Karena itu Allah lewat Rasul menurunkan Wasilah, Nur Allah, sebagai media komunikasi antara hamba dengan Allah. 

Satu hal yang harus dipahami bahwa Rasul dan Nabi bukanlah Wasilah, mereka hanya sebagai pembawa wasilah yang berasal dari Allah SWT. Setelah Nabi wafat maka Wasilah itu dibawah oleh Ulama Pewaris Nabi yaitu Para Ulama, Guru Mursyid dan Wali Allah untuk menuntun manusia ke jalan-Nya.

Disinilah sebenarnya letak selisih pendapat antara pengamal tarekat dengan orang yang tidak pernah mengamalkan tarekat. Sebagian menganggap bahwa Guru Mursyid itu adalah wasilah sehingga mereka menuduh Guru Mursyid sebagai perantara antara hamba dengan Tuhan. 

Guru Mursyid meneruskan tradisi dari Rasul yaitu membawa Wasilah dari sisi Allah untuk disampaikan kepada seluruh ummat manusia. Orang-orang yang membawa wasilah itu bukan ditunjuk oleh sekelompok orang, bukan dipilih oleh manusia tapi mereka adalah pilihan Allah, orang-orang yang dikasihi oleh Allah SWT.

Kenapa Guru Mursyid begitu penting kedudukan dalam tarekat karena memang inti sari dari Tarekat itu terletak pada Guru Mursyid. Jadi bukan jenis tarekat yang menentukan kualitas sebuah tarekat tapi tergantung pada kualitas dari Mursyid itu sendiri. Maka tidak semua ulama bisa menjadi Guru Mursyid walaupun ilmu agamanya sangat luas. Menghapal Al-Qur’an dan Hadist, paham akan hukum-hukum agama belum tentu layak untuk dijadikan sebagai Mursyid. 

Guru Mursyid harus memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang pasti seorang Guru Mursyid haruslah mencapai kedudukan Wali Allah. Keterangan tentang Wali Allah bisa di baca pada tulisan sebelumnya tentang  Siapakah Wali Allah itu? Dan penjelasan secara lengkap tentang wasilah dan Guru Mursyid bisa anda baca pada tulisan2 sebelumnya.

Guru Mursyid sebagai pembawa Wasilah pada hakikatnya adalah sebagai pembawa Nur Allah (baca surat An Nur 35). Karena pembawa Nur Allah, maka dari dalam diri Mursyid akan mengalir segala ilmu rahasia dari Allah yang merupakan warisan Rasulullah SAW. 

Sudah sewajarnya para murid memberikan penghargaan yang tinggi kepada Guru Mursyidnya, melebihi penghargaan kepada Guru-guru biasa. Sebagai contoh sederhana Kulit kambing pun kita hargai, hormati, kita cium dengan penuh khidmat ketika menjadi sampul Al-Qur’an (ayat-ayat Allah yang tertulis), lalu bagaimana mungkin kita tidak menghargai Guru Mursyid yang merupakan sampul dari Nur Allah yang merupakan Hakikat dari Al-Qur’an.

Untuk bisa membaca Al-Qur’an, kita harus membuka sampulnya agar seluruh isi Al-Qur’an bisa dibaca, begitu juga untuk bisa berhubungan dengan Ayat-Ayat Allah Yang Maha Hidup berupa Nur kita juga harus membuka sampulnya yaitu Guru Mursyid. Itulah sebabnya dikalangan Tasawuf, adab  atau sopan santun kepada Guru Mursyid sangat diutamakan melebihi Dzikir itu sendiri karena Guru Mursyid adalah pintu yang langsung menuju  kehadirat Allah SWT.

Dengan belajar ilmu Tarekat dari Guru yang membimbing ruhani kehadirat Allah SWT, maka setiap saat kita akan bisa merasakan getaran-Nya, merasakan kerinduan kepada-Nya dan selalu mendengar firman-Nya yang Maha Hidup sehingga ibadah kita lebih hidup dan bermakna, hilang was-was dan kekhawatiran akan diterima atau tidaknya ibadah yang kita lakukan.

Ketika kita telah mencapai makrifat, mengenal Tuhan dengan sebenarnya, maka fokus kita bukan lagi kepada diterima atau tidaknya ibadah tapi fokus kepada bagaimana mencintai-Nya.
Demikian.
(Sumber:www.sufimuda.net)

Senin, 09 Desember 2019

Meluruskan Kisah Syech Siti Jenar

Ketika kita mendengar nama Syech Siti Jenar, mungkin dalam benak kita tergambar sosok seorang sufi yang nyeleneh, sakti, pembangkang dan bahkan sesat. Menganggap dirinya adalah Tuhan (manunggaling kawula gusti), sehingga kehadirannya memang pantas mati. Kematiannya pun bahkan harus di tangan wali Allah lainnya. Begitulah kisah yang sering kita dengar, terutama di kalangan kaum salik, peminat tasawuf atau kaum tarekat. Bahkan lebih dipertajam dan seolah dibenarkan melalui pembuatan film layar lebar.

BEnarkah citranya seperti itu. Padahal Syech Siti Jenar, sejatinya adalah salah seorang Waliyullah di tanah Jawa. Namun begitu banyak cerita yang aneh-aneh dan bahkan tidak masuk akal tentang syech yang dikenal dengan Syech Lemah Abang ini. Tampaknya, ada untaian sejarah Syech Siti Jenar yang patut diluruskan.

Siapa Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak nama, antara lain: San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, tapi bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana); Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari keadaan kasyaf atau mabuk spiritual; juga nama yg diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg diberikan masyarakat Lemah Abang di Cirebon, suatu komunitas dan kampung model yg dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan).

Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang. Syekh Siti Jenar (nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar 5 tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; Juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangeran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon,S.Z. Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.

Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini. Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah. Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk “manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).

Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan. Setelah meninggal ia terbebas daribelenggu wadag-nya dan bebas bersatu dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgnTuhan sering terhalang oleh badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh Siti Jenar.

Asal Usul Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi KeradjanTjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, PurwakaTjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya,Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani SyaikhSyekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; SartonoKartodirjo dkk, [i] Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; BabadBanten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol,1817).

Dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku. Lemah Abang sekarang diabadikan menjadi desa dan sebua hkecamatan di kabupaten Cirebon dan kecamatan Lemah Abang dimekarkan menjadi kecamatan Lemah Abang, kecamatan Japura, kecamatan Sedong, kecamatan Greged, kecamatan Susukan Lebak.

Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurang jelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.

Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan olehpenguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,

“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusunLemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasaldari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyatjelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal darikalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.

Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka,Syekh Datuk Shalehbin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘AbdullahKhannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddinadalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalahseorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.

Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindahdari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilahyg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin danSyekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.

Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. DiTanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.

Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.

Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf.Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.

Padepokan Giri Amparan Jati

Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi,pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg berpusat d iCirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit [musuh halus]

Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir, musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq.

Ia menjadi santri generasi kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.

Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk mencari“sangkan-paran” dirinya.

Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab Catur Viphalawarisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.

Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga, niskala adalahproses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn Dia Yang Hampa, DiaYang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak Terbandingkan. Sehingga dalamkondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn “Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dariniskala adalah nirasraya, suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala danmelebur ke Parama-Laukika (fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebasdari segala bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.

Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang, menemuiAria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan, santri MaulanaIbrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim di tepi sungai Ogan,Kampung Pedamaran.

Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun 1448-1450M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep “nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai kosmologi emanasi.

Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak bergaul dgnpara bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan baiknya itu, membawa SanAli untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi saudagar emas dan barang kelontong.Pergaulan di dunia bisnis tsb dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajariberbagai karakter nafsu manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengahgelimang harta. Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agamaIslam yg oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka inipula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya ini,Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama ke-ulama-an SyekhDatuk ‘Abdul Jalil.

Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh SitiJenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi penghalang utamapendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran). Tujuh hijab itu adalahlembah kasal (kemalasan naluri dan rohani manusia); jurang futur (nafsu menelanmakhluk/orang lain); gurun malal (sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalanrohani); gurun riya’ (bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera‘ujub (kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun(penghalang akal dan nurani).

Pencerahan Rohani di Baghdad

Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga besar ahlulbait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin memiliki keinginan kuatsegera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota suci Makkah.

Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama ulamaMalaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang perjalanan.Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru, bagi perjalananrohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran bahwa setiap gerak dansegala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini, baik yg terlihat maupun yg tidakterlihat pada hakikatnya adalah af’al Allah. Ini menambah semangatnya untukmengetahui dan merasakan langsung bagaimana af’al Allahitu optimal bekerjadalam dirinya.

Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari DewanWali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal bukan itupemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan pada dimensiperbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang akan tetapi justruperbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg bekerja melalui diri manusia,sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia juga sampai pada suatu kesadaran bahwasemua yg nampak ada dan memiliki nama, pada hakikatnya hanya memiliki satusumber nama, yakni Dia Yang Wujud dari segala yg maujud.

Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad al-Tawalud.Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab di keluargaal-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para sufi kenamaan. Semuakitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud, Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi.Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, ygdi kenal sebagai madzhab ahl al-bayt.

Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi darial-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab al-Shidq-nyaal-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995), Risalah-nyaal-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi(1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab tasawuf al-Ghazali (w.1111), danal-Jili (w.1428). secara kebetulan periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenarsudah berusia dua tahun. Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili,merupakan hal yg masih sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.

Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan al-Hallajdan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota Dewan Walimenyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat. Sebagian memangmengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg kebanyakkan beralur pada pahamImam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar tidak banyak menuliskanajaran-ajarannya karena kesibukannya menyebarkan gagasan melalui lisan keberbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karyaSyekh Siti Jenar; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak.Masyarakat yg dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.

Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling berkesanpada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq, al-Manazil al-Alahiyahdan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa al-Awamil (Manusia Sempurnadalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg pertama dan terakhir). Ketiga kitabtersebut, semuanya adalah puncak dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.

Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke Jawamenyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran sebagai titikpangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh dan manunggal dalamteologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh paham-paham puncak mistikal-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena proses pencarian spiritualnya ygmemiliki ujung pemahaman yg mirip dgn secara praktis/’amali-al-Hallaj; dansecara filosofis mirip dgn al-Jili dan Ibnu ‘Arabi.

Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili sangatsederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg terpenting,memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah dilewatkannya, sertayg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti, sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruhketiga kitab itu akan nampak nyata, dalam berbagai ungkapan mistik, ajaranserta khotbah-khotbahnya, yg banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaandan politik di Jawa.

Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkankonser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana adalahrumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan membiarkandirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai bertumbuhan di Baghdadsejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada masa itu grup musik sufi ygterkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.

Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada tingkatan fawa’id(memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg menyelubunginya telahtersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda dgn umumnya manusia); danlawami’(mengejawantahnya cahaya rohani akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyatmelalui Roh al-haqq dan zawaid (terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu ygmembuat seluruh rohaninya tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf danberbagai penyingkapan hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenarmendapatkan kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj,Ibnu ‘Arabi dan al-Jili.

Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgnsendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg berbunyianeh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni(mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku, maha besar aku,sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang di sekitarnya membacadzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha illa Allah, Allahu Akbar,fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk hatinya adalah dzikir nafsi, sebagaicerminan hasil man ‘arafa bafsahu faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai disini, Syekh Siti Jenar semakin memahami makna hadist Rasulullah“al-Insan sirriwa ana sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).

Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul Qadiral-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf al-Karkhi, danal-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg baik dalam artian,ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam kehidupannya di dunia tidak pernahmengalami intimidasi dan kekerasan sebagai korban politik dan menemui akhirhayat secara biasa.

Dikutip dari tulisan Ustadz Shohibul Faroji Al-Robbani mencatat, setidaknya ada5 mitos Yang Salah Tentang Wali Allah syech (syaikh) Siti Jenar, yaitu :

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing.

Sepertinya hanya orang-orang berpikiran irrasional, yang mempercayai adaseorang manusia, yang berasal dari seekor cacing. Syaikh Siti Jenar adalahmanusia biasa, beliau dilahirkan di Persia pada tahun 1404M, dengan nama SayyidHasan ’Ali Al-Husaini.

Ayahnya bernama Sayyid Sholih, yang pernah menjadi Mufti Malaka di masapemerintahan Sultan Muhammad Iskandar Syah.

Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara;Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangatpopuler tersebut dibantah secara tegas :

“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusunLemahbang.”

[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing,itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata,bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….

2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh SitiJenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidakberdasar alias ngawur.

Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk SyaikhSiti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangatberbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah: ”Kullu syai’in HaalikunIlla Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali DzatAllah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.

Di dalam perjalanan hidupnya, pada tahun 1424M, terjadi perpindahan kekuasaandari Sultan Muhammad Iskandar Syah, kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaliguspergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada SyaikhSyamsuddin Ahmad.

Maka pada sekitar akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinyapindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu SayyidKahfi bin Sayyid Ahmad.

Melalui Sayyid Kahfi, Siti Jenar memperlajari Kitab-Kitabseperti Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya AbdulKarim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karyaImam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasinkarya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quthal-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.

Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampelselama 8 tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2tahun.

Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannyasebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin’Affan. Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad AbdullahBurhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’ufSinkiliy, dan lain-lain.

3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkanSholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb.

Sejak kecil Syaikh Siti Jenar berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidangAl-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafalAl-Qur’an di usia 12 tahun.

Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 menulis, “Saya bergurukepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala sayasendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnahyang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa.Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membacaShalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa YaumulBidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.

4. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong.

Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatandahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Wali Songo adalah penegakSyari’at Islam di tanah Jawa, di dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwaIslam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuhseorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah.

5. Beberapa penulis telah menulis bahwa setelah kematiannya, mayat SyaikhSiti Jenar, berubah menjadi anjing.

Ini suatu penghinaan kepada seorang Waliyullah, dimana seseorang yang menyebutSyaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulismenuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih.

Berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercayakewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisisedang bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholatTahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholatshubuh.

Jadi Karena tingginya kearifan bahasa budi seseorang dalam adat jawa terkadang segala sesuatu digambarkan secara halus bukan dalam harfiah kasar danmereka yang mau berpikr sajalah yang bisa memahami dan menangkap makna yangterkandund dalam ungkapan.

Sejarah Islam di negeri ini harus diluruskan, karena Islam adalah agama pembawa ketentraman bukan agama pembuat kehancuran, karena masuknya penjajah di negeri ini yang ratusan tahun banyak kebenaran dan salah tentang fakta sejarah tentang islam dinegeri ini. dan sekarang pun selalu mencari dan dicari orang tentang kesalahan untuk mengkerdilkan umat islam..walau Islam dan muslim hidup dingeri muslim yang sejarah islamnya paling damai dan luhur.

DAN HANYA ALAAH SWT YANG MAHA MENGETAHUI
(Dari Berbagai Sumber)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...