Jumat, 07 Juni 2019

Allah hanya dapat dikenali apabila Dia memperkenalkan diriNya

Ruhani yang telah terdidik oleh pemahaman yang benar tentang amal, qada dan qadar, kehendak dan ikhtiar, doa dan janji Allah, akan membentuk sikap beramal shaleh tanpa melihat kepada amalan itu tapi sebaliknya melihat amalan itu sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri. 

Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menjadi tempat dicurahkannya karunia Allah yang lain seperti petunjuk-petunjuk untuk mengenal Allah.

Orang yang hatinya telah dibersihkan sehingga mecapai suatu keadaan yang suci akan memperoleh pancaran Nur Sir dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah tidak mungkin dikenali dan ditemui kecuali jika Dia mengizinkan untuk dikenali dan ditemui. Tidak ada ilmu dan amal yang sanggup menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah secara zauk (berhadapan secara langsung). Allah hanya dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri’-Nya.

Penemuan kepada hakikat bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang ma’rifat merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu mengantarkan lebih jauh dari itu. Apabila mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga untuk mencapai Allah, maka seseorang itu tidak akan lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apalagi kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sudah sampai ke sini maka seseorang itu tidak mempunyai pilihan lagi selain menyerah sepenuhnya kepada Allah.

Ada orang yang mengetuk gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika gerbang itu tidak terbuka, maka semangatnya akan menurun sehingga dapat membawa kepada putus asa. Ada juga orang yang berpegang kepada janji Allah bahwa Allah akan membukakan jalan-Nya pada hamba-Nya yang berjuang di jalan kebenaran-Nya. Lalu dia dengan sekuat-kuatnya beramal shaleh agar dia lebih layak untuk memperoleh karunia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalannya untuk mengetuk gerbang ma’rifat. Bila gerbang tersebut tidak terbuka juga maka dia akan merasa ragu-ragu.

Dalam perjalanan menuju ma’rifat, seseorang tidak terlepas dari kemungkinan menjadi ragu-ragu, lemah semangat dan berputus asa, jika dia masih ketergantungan kepada sesuatu selain Allah. Tidak ada pilihan bagi seorang hamba kecuali berserah diri kepada Allah, hanya Allah yang memiliki kuasa mutlak dalam menentukan siapakah diantara hamba-hamba-Nya yang layak mengenali ‘diri’-Nya. Ilmu dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Allah. 

Aslim atau berserah diri kepada Allah adalah perhentian di hadapan pintu gerbang ma’rifat. Hanya para hamba yang sampai di perhentian Aslim ini yang berkemungkinan dikaruniakan ma’rifat. Allah melalui rahmat-Nya menyampaikan hambanya di sini adalah tanda bahwa si hamba tersebut sedang dipersiapkan untuk menemui-Nya. Aslim adalah maqom berhampiran di mana seseorang telah sampai di depan pintu gerbang “perjumpaan” dengan Allah. 

Siapa yang sudah sampai pada maqom ini, ia harus terus membenamkan dirinya ke dalam lautan penyerahan tanpa menghiraukan banyak atau sedikit ilmu dan amalnya. Sekiranya Allah mengizinkan, dari maqom inilah seorang hamba ‘diangkat’ ke Hadrat-Nya.

Jalan menuju perhentian atau Aslim yaitu ke pintu gerbang ma’rifat, secara umum terbagi dua. Jalan pertama dinamakan jalan orang yang mencari dan jalan kedua dinamakan jalan orang yang dicari. Orang yang mencari akan melalui suatu jalan dimana dia kuat melakukan mujahadah, berjuang menundukan hawa nafsu, kuat melakukan amal shaleh dan gemar menuntut ilmu. 

Dhohirnya sibuk memenuhi tuntutan syariat dan meneguhkan bathinnya dengan iman. Dipelajarinya sifat-sifat dirinya yang tercela dan berusaha mengikisnya dari dirinya. Kemudian digantikan dengan sifat-sifat yang terpuji. Dipelajarinya perjalanan nafsu dan melatihkan dirinya agar dirinya diliputi oleh nafsu yang luhur dan suci hingga ke tingkat nafsu yang diridhoi Allah. Inilah orang yang diceritakan dalam keterangan hukum Allah.

Keterangan Qur’an :
“Dan orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh karena memenuhi kehendak agama Kami, sesungguhnya Kami akan memimpin mereka ke jalan-jalan Kami (yang menjadikan mereka memperoleh keridhoan) dan sesungguhnya (rahmat dan pertolongan) Allah menyertai orang-orang yang berusaha memperbaiki amalannya” (Q.S Al Ankabut : 69)

“Hai manusia, sesungguhnya engkau telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti engkau akan menjumpai Allah dengan amalanmu itu” (Q.S Al Insyiqoq : 6)

Orang yang bermujahadah pada jalan menuju Allah dengan cara menuntut ilmu, mengamalkan ilmu yang dituntut, memperbanyak ibadah, berdzikir, menyucikan hati, maka Allah menunjukan jalan dengan mengaruniakan rahmat-Nya sehingga terbuka kepadanya suasana berserah diri kepada Allah tanpa ragu-ragu dan ridho dengan ketetapan Allah. 

Dia ‘dibawa’ menghampiri pintu gerbang ma’rifat dan hanya Allah saja yang memiliki kuasa yang menentukan apakah orang tersebut ‘dibawa’ ke Hadrat-Nya atau pun tidak, dikaruniakan ma’rifat atau tidak.

Sementara golongan orang yang ‘dicari’ menempuh perjalanan yang berbeda dari golongan yang mencari. Golongan orang yang ‘dicari’ pada mulanya tidak cenderung menuntut ilmu dan beramal dengan tekun. Dia hidup selaku orang awam tanpa kesungguhan bermujahadah. Tetapi Allah telah mengaruniakan suatu kedudukan keruhanian kepadanya, maka ketetapan-ketetapan yang berlaku kepadanya menggiringnya ke kedudukan keruhaniannya tersebut. 

Orang dalam golongan ini biasanya berhadapan dengan suatu peristiwa yang dengan serta-merta membawa perubahan pada hidupnya. Terjadi perubahan sikap dan perbuatan secara mendadak. Kejadian yang menimpanya biasanya berbentuk ujian yang memutuskan hubungannya dengan sesuatu yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Allah.

Jika dia seorang raja yang beban kerajaannya menyebabkannya tidak mampu mendekat kepada Allah, maka dengan kekuasaan-Nya kerajaannya itu dicabut darinya. Terlepaslah dia dari beban tersebut dan pada waktu yang sama timbul keinsyafan di dalam hatinya yang membuatnya berserah diri kepada Allah dengan sepenuh hati. 

Ketetapan Allah yang berlaku kepadanya membuatnya terhalang dari menerima bantuan dari makhluk sehingga dia menjadi berputus asa terhadap makhluk. Lalu dia kembali dengan penuh kerendahan hati kepada Allah dan timbullah dalam hatinya suasana penyerahan atau Aslim yang benar-benar kepada Allah.

Penyerahan yang tidak mengharapkan apa-apa dari makhluk menjadikan dia ridho terhadap apa pun ketetapan Allah yang berlaku kepadanya. Suasana begini membuat dia sampai dengan cepat ke perhentian pintu gerbang ma’rifat walaupun ilmu dan amal dia masih sedikit.
Orang yang berjalan dengan kendaraan bala bencana mampu sampai pada perhentian tersebut dalam waktu dua bulan, sedangkan orang yang mencari mungkin sampai dalam waktu dua tahun.

Abu Hurairah r.a pernah menceritakan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda yang maksudnya :
“Allah berfirman : apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman kemudian dia tidak mengeluh kepada orang-orang yang mengunjunginya, maka Aku lepaskan dia dari belenggu-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari yang dahulu, dan dia dapat memperbaharui amalnya sebab yang lalu telah diampuni semua”

Amal shaleh dan ilmunya tidak dapat membawanya pada kedudukan keruhanian yang telah ditetapkan Allah, lalu dengan rahmat-Nya Allah mengaruniakan kepadanya bala bencana yang mendorongnya dengan cepat kepada Aslim. Oleh karena itu apabila terjadi keadaan yang demikian tidak perlu mempersoalkan tentang ilmu dan amal tapi segeralah jadikan bala bencana itu sebagai kendaraan untuk berserah diri kepada Allah dengan sepenuh hati.
(baitulakhlaq.blogspot.com)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...