Senin, 02 September 2024

Keutamaan Memperingati Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam

*بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ*
*السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه*
*اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آل سَيِّدِنَا مُحمَّـــدْ ﷺ*


Di dalam kitab “An-Ni’matul Kubra ‘alal ‘Alami fi Maulidi Sayyidi Waladi Adam” halaman 5-7, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami (909-974 H. / 1503-1566 M.), cetakan “Maktabah al-Haqiqat” Istambul Turki, diterangkan tentang keutamaan-keutamaan memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.

1. Sayyidina Abu Bakar RA. berkata:

ﻣﻦ ﺃﻧﻔﻖ ﺩﺭﻫﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﺭﻓﻴﻘﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻨﺔ

Barangsiapa membelanjakan satu dirham untuk mengadakan pembacaan Maulid Nabi SAW, maka ia akan menjadi temanku di surga.

2. Berkata Sayyidina Umar RA.

ﻣﻦ ﻋﻈﻢ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺪ ﺃﺣﻴﺎ ﺍﻹﺳﻼﻡ

“Barangsiapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.”

3. Berkata Sayyidina Utsman RA.:

ﻣﻦ ﺃﻧﻔﻖ ﺩﺭﻫﻤﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻜﺄﻧﻤﺎ ﺷﻬﺪ ﻏﺰﻭﺓ ﺑﺪﺭ ﻭﺣﻨﻴﻦ

“Barangsiapa membelanjakan satu dirham untuk mengadakan pembacaan Maulid Nabi SAW, maka seakan-akan ia ikut-serta menyaksikan perang Badar dan Hunain.”

4. Sayyidina Ali RA. berkata:

ﻣﻦ ﻋﻈﻢ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﺳﺒﺒﺎ ﻟﻘﺮﺍﺀﺗﻪ ﻻ ﻳﺨﺮﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺇﻻ ﺑﺎﻹﻳﻤﺎﻥ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﺑﻐﻴﺮ ﺣﺴﺎﺏ

“Barangsiapa mengagungkan Maulid Nabi SAW, dan ia menjadi sebab dilaksanakannya pembacaan maulid Nabi, maka tidaklah ia keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan dimasukkan ke dalam surga tanpa hisab.”

5. Imam Hasan Bashri RA. berkata:

ﻭﺩﺩﺕ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻟﻲ ﻣﺜﻞ ﺟﺒﻞ ﺃﺣﺪ ﺫﻫﺒﺎ ﻓﺄﻧﻔﻘﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ

“Aku senang sekali seandainya aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk kepentingan memperingati maulid Nabi SAW.”

6. Imam Junaed al-Baghdadi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)-nya, berkata:

ﻣﻦ ﺣﻀﺮ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻋﻈﻢ ﻗﺪﺭﻩ ﻓﻘﺪ ﻓﺎﺯ ﺑﺎﻹﻳﻤﺎﻥ

“Barangsiapa menghadiri peringatan Maulid Nabi SAW dan mengagungkan derajat beliau, maka sesungguhnya ia akan memperoleh kebahagian dengan penuh keimanan.”

7. Imam Ma’ruf al-Karkhi, semoga Allah membersihkan sir (rahasia)-nya:

ﻣﻦ ﻫﻴﺄ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻷﺟﻞ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻭ ﺟﻤﻊ ﺍﺧﻮﺍﻧﺎ ﻭ ﺃﻭﻗﺪ ﺳﺮﺍﺟﺎ ﻭ ﻟﺒﺲ ﺟﺪﻳﺪﺍ ﻭ ﺗﺒﺨﺮ ﻭ ﺗﻌﻄﺮ ﺗﻌﻈﻴﻤﺎ ﻟﻤﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺣﺸﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻊ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺒﻴﻴﻦ ﻭ ﻛﺎﻥ ﻓﻰ ﺃﻋﻠﻰ ﻋﻠﻴﻴﻦ

“Barangsiapa menyediakan makanan untuk pembacaan Maulid Nabi SAW, mengumpulkan saudara-saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang harum-haruman dan memakai wangi-wangian karena mengagungkan kelahiran Nabi SAW, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama golongan orang-orang yang pertama di kalangan para nabi dan dia akan ditempatkan di syurga yang paling atas (‘Illiyyin).”

8. Imam Fakhruddin ar-Razi berkata:

: ﻣﺎ ﻣﻦ ﺷﺨﺺ ﻗﺮﺃ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﻠﺢ ﺃﻭ ﺑﺮ ﺃﻭ ﺷﻴﺊ ﺃﺧﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺄﻛﻮﻻﺕ ﺍﻻ ﻇﻬﺮﺕ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭ ﻓﻰ ﻛﻞ ﺷﻴﺊ ﻭﺻﻞ ﺍﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺄﻛﻮﻝ ﻓﺎﻧﻪ ﻳﻀﻄﺮﺏ ﻭ ﻻ ﻳﺴﺘﻘﺮ ﺣﺘﻰ ﻳﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻷﻛﻠﻪ ﻭﺍﻥ ﻗﺮﺉ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻣﺎﺀ ﻓﻤﻦ ﺷﺮﺏ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺩﺧﻞ ﻗﻠﺒﻪ ﺃﻟﻒ ﻧﻮﺭ ﻭ ﺭﺣﻤﺔ ﻭ ﺧﺮﺝ ﻣﻨﻪ ﺃﻟﻒ ﻏﻞ ﻭ ﻋﻠﺔ ﻭ ﻻ ﻳﻤﻮﺕ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻘﻠﺐ ﻳﻮﻡ ﺗﻤﻮﺕ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ . ﻭ ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﻣﺴﻜﻮﻛﺔ ﻓﻀﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﺫﻫﺒﺎ ﻭ ﺧﻠﻂ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﺪﺭﺍﻫﻢ ﺑﻐﻴﺮﻫﺎ ﻭ ﻗﻌﺖ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺒﺮﻛﺔ ﻭ ﻻ ﻳﻔﺘﻘﺮ ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ ﻭ ﻻ ﺗﻔﺮﻍ ﻳﺪﻩ ﺑﺒﺮﻛﺔ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ

“Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi saw. ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan tampak keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah akan mengampuni orang yang memakannya.

Dan sekirannya dibacakan maulid Nabi saw. ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki dan penyakit dan tidak akan mati hati tersebut pada hari dimatikannya hati-hati itu.

Dan barangsiapa yang membaca maulid Nabi saw. pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut keberkahan dan pemiliknya tidak akan fakir serta tidak akan kosong tangannya dengan keberkahan Nabi saw.”

9. Imam Syafi’i, semoga Allah merahmatinya, berkata:

ﻣﻦ ﺟﻤﻊ ﻟﻤﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺧﻮﺍﻧﺎ ﻭﻫﻴﺄ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻭﺃﺧﻠﻰ ﻣﻜﺎﻧﺎ ﻭﻋﻤﻞ ﺇﺣﺴﺎﻧﺎ ﻭﺻﺎﺭ ﺳﺒﺒﺎ ﻟﻘﺮﺍﺀﺗﻪ ﺑﻌﺜﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﻊ ﺍﻟﺼﺎﺩﻗﻴﻦ ﻭﺍﻟﺸﻬﺪﺍﺀ ﻭﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺟﻨﺎﺕ ﺍﻟﻨﻌﻴﻢ

“Barangsiapa mengumpulkan saudara-saudaranya untuk mengadakan Maulid Nabi, kemudian menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan untuk mereka, dan dia menjadi sebab atas dibacakannya Maulid Nabi SAW, maka Allah akan membangkitkan dia bersama-sama golongan shiddiqin (orang-orang yang benar), syuhada (orang-orang yang mati syahid), dan shalihin (orang-orang yang shaleh) dan dia akan dimasukkan ke dalam surga-surga Na’im.”

10. Imam Sirri Saqathi, semoga Allah membersihkan sir (bathin)-nya:

ﻣﻦ ﻗﺼﺪ ﻣﻮﺿﻌﺎ ﻳﻘﺮﺃ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺪ ﻗﺼﺪ ﺭﻭﺿﺔ ﻣﻦ ﺭﻳﺎﺽ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻷﻧﻪ ﻣﺎ ﻗﺼﺪ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﻮﺿﻊ ﺍﻻ ﻟﻤﺤﺒﺔ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ . ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ : ﻣﻦ ﺃﺣﺒﻨﻲ ﻛﺎﻥ ﻣﻌﻲ ﻓﻰ ﺍﻟﺠﻨﺔ

“Barangsiapa pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi saw, maka sesungguhnya ia telah pergi ke sebuah taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan karena cintanya kepada Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mencintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.”

11. Imam Jalaluddin as-Suyuthi berkata:

ﻣﺎﻣﻦ ﺑﻴﺖ ﺃﻭ ﻣﺴﺠﺪ ﺃﻭ ﻣﺤﻠﺔ ﻗﺮﺉ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﻻ ﺣﻔﺖ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺤﻠﺔ ﻭﺻﻠﺖ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻭﻋﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺑﺎﻟﺮﺣﻤﺔ ﻭﺍﻟﺮﺿﻮﺍﻥ .
ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﻄﻮﻓﻮﻥ ﺑﺎﻟﻨﻮﺭ ﻳﻌﻨﻰ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻭ ﻣﻴﻜﺎﺋﻴﻞ ﻭ ﺍﺳﺮﺍﻓﻴﻞ ﻭ ﻋﺰﺭﺍﺋﻴﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﺎﻧﻬﻢ ﻳﺼﻠﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺳﺒﺒﺎ ﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ . ﻭ ﻗﺎﻝ ﺃﻳﻀﺎ : ﻣﺎ ﻣﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻗﺮﺃ ﻓﻰ ﺑﻴﺘﻪ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﺍﻻ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﻘﺤﻂ ﻭﺍﻟﻮﺑﺎﺀ ﻭﺍﻟﺤﺮﻕ ﻭﺍﻟﻐﺮﻕ ﻭﺍﻷﻓﺎﺕ ﻭﺍﻟﺒﻠﻴﺎﺕ ﻭﺍﻟﺒﻐﺾ ﻭﺍﻟﺤﺴﺪ ﻭﻋﻴﻦ ﺍﻟﺴﻮﺀ ﻭﺍﻟﻠﺼﻮﺹ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺒﻴﺖ ﻓﺎﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﻫﻮﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺟﻮﺍﺏ ﻣﻨﻜﺮ ﻭﻧﻜﻴﺮ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﻓﻰ ﻣﻘﻌﺪ ﺻﺪﻕ ﻋﻨﺪ ﻣﻠﻴﻚ ﻣﻘﺘﺪﺭ . ﻓﻤﻦ ﺃﺭﺍﺩ ﺗﻌﻈﻴﻢ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻜﻔﻴﻪ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﺪﺭ . ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻋﻨﺪﻩ ﺗﻌﻈﻴﻢ ﻣﻮﻟﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻮ ﻣﻸﺕ ﻟﻪ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻰ ﻣﺪﺣﻪ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻙ ﻗﻠﺒﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﻤﺤﺒﺔ ﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .

“Tidak ada rumah atau masjid atau tempat yg di dalamnya dibacakan maulid Nabi SAW melainkan malaikat akan mengelilingi rumah atau masjid atau tempat itu, mereka akan memintakan ampunan untuk penghuni tempat itu, dan Allah akan melimpahkan rahmat dan keridhaan-Nya kepada mereka.”

Adapun para malaikat yang dikelilingi dengan cahaya adalah malaikat Jibril, Mika’il, Israfil, dan Izra’il as. Karena, sesungguhnya mereka memintakan ampunan kepada Allah swt untuk mereka yang menjadi sebab dibacakannya pembacaan maulid Nabi saw. Dan, dia berkata pula: Tidak ada seorang muslimpun yang dibacakan di dalam rumahnya pembacaan maulid Nabi saw melainkan Allah swt menghilangkan kelaparan, wabah penyakit, kebakaran, tenggelam, bencana, malapetaka, kebencian, hasud, keburukan makhluk, dan pencuri dari penghuni rumah itu. 

Kemudian apabila ia meninggal, maka Allah akan memudahkan jawabannya dari pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir dan dia akan berada di tempat duduknya yang benar di sisi penguasa yang berkuasa. Dan, barangsiapa ingin mengagungkan maulid Nabi saw, maka Allah akan mencukupkan derajat ini kepadanya. Dan, barangsiapa di sisinya tidak ada pengagungan terhadap maulid Nabi saw, seandainya penuh baginya dunia di dalam memuji kepadanya, maka Allah tidak akan menggerakkan hatinya di dalam kecintaannya terhadap Nabi saw.

*اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آل سَيِّدِنَا مُحمَّـــدْ ﷺ*

Jumat, 02 Agustus 2024

Peristiwa Bersejarah Bulan Muharram

Bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang suci, yakni suci dari perbuatan yang haram. Sederhananya tidak melakukan perbuatan dosa yang disengaja ataupun tidak. Apalagi, kalau dilihat dari historisnya masyarakat Arab tidak akan berperang di bulan Muharram.

Allah juga menjelaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”(Q.S.At-taubah (9): 36).
Kita bisa melihat sejarahnya dari beberapa hadits.

Peristiwa Bersejarah di Bulan Muharram

Imam Ahmad mengatakan bahwa Nabi SAW berkhotbah dalam haji wada’nya, yakni beliau bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya sejak hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan-bulan haram (suci); tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Zulqai’dah, Zulhijjah, dan Muharram, yang lainnya ialah Rajab Mudar, yang terletak di antara bulan Jumada (Jumadil Akhir) dan Sya’ban.”

Lalu Nabi SAW bertanya, “Ingatlah, hari apakah sekarang?” Kami para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi SAW diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau bersabda.”Bukankah hari ini adalah Hari Raya Kurban?” Kami menjawab, “Memang benar.”

Kemudian beliau SAW bertanya, “Bulan apakah sekarang?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau SAW diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau SAW bersabda, “Bukankah sekarang ini bulan Zulhijjah?” Kami menjawab, “Memang benar.”

Kemudian beliau SAW bertanya, “Negeri apakah ini?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau SAW diam sehingga kami menduga bahwa beliau akan memberinya nama bukan dengan nama biasanya. Lalu beliau SAW bersabda, “Bukankah negeri ini?” Kami menjawab, “Memang benar.”

Setelah itu Nabi SAW bersabda: “Maka sesungguhnya darah dan harta benda kalian —menurut seingat (perawi) beliau mengatakan pula ‘dan kehormatan kalian’— diharamkan atas kalian seperti keharaman (kesucian) hari kalian sekarang, dalam bulan kalian, dan di negeri kalian ini. Dan kelak kalian akan menghadap kepada Tuhan kalian, maka Dia akan menanyai kalian tentang amal perbuatan kalian.”

Nabi juga mengatakan, “Ingatlah, janganlah kalian berbalik menjadi sesat sesudah (sepeninggal)ku, sebagian dari kalian memukul (memancung) leher sebagian yang lain. Ingatlah, bukankah aku telah menyampaikan? Ingatlah, hendaklah orang yang hadir (sekarang) di antara kalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir, karena barangkali orang yang menerimanya dari si penyampai lebih memahaminya daripada sebagian orang yang mendengarnya secara langsung.”

Ibnu Jarir mengatakan dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW melakukan khotbahnya dalam haji wada’ di Mina pada pertengahan hari-hari Tasyriq. Antara lain beliau SAW bersabda: Hai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar, keadaan zaman pada hari ini sama dengan keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, empat bulan di antaranya ialah bulan-bulan haram (suci); yang pertama ialah Rajab Mudar yang jatuh di antara bulan Jumada dan Sya’ban, lalu Zulqai’dah, Zulhijjah, dan Muharram.

Nama-nama Bulan Hijriyah dan Artinya

Hal ini merupakan taqrir (pengakuan) dari Rasulullah SAW dan sebagai pengukuhan terhadap urusan itu sesuai dengan apa yang telah dijadikan oleh Allah SWT sejak semua, tanpa mendahulukan dan menangguh-nangguhkan dan mengganti. Seperti yang disabdakan Nabi sehubungan dengan keharaman (kesucian) kota Mekah, yaitu: “Sesungguhnya kota ini disucikan oleh Allah sejak Dia menciptakan langit dan bumi, maka kota ini tetap suci karena disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai hari kiamat.”

Menurut As-Sakhawi, dinamakan demikian untuk mengukuhkan keharamannya. Mengingat orang-orang Arab di masa lalu berpandangan labil terhadapnya, terkadang dalam satu tahun mereka menghalalkannya, sedangkan di tahun yang lain mengharamkannya. Kata muharram dijamakkan menjadi muharramat, maharim, dan maharim.

Maksudnya, itulah syariat yang lurus yang harus diikuti demi menger­jakan perintah Allah sehubungan dengan bulan bulan yang Haram yang dijadikan-Nya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan-Nya di dalam ketetapan Allah yang dahulu. Dalam firman selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu”. (At-Taubah: 36)

Yakni dalam bulan-bulan Haram itu janganlah kalian berbuat aniaya terhadap diri kalian sendiri, karena dalam bulan-bulan Haram itu sanksi berbuat dosa jauh lebih berat daripada dalam hari-hari lainnya.

Sumber: https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/08/30/filosofi-dan-sejarah-bulan-muharram/






Jumat, 05 Juli 2024

Peran Politik Kaum Sufi

Kecuali pada abad-abad terakhir, orang-orang sufi jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak pernah terlibat dalam arena politik dan kekuasaan. Politik, bagaimana pun pentingnya, tetap menjadi arena yang menakutkan bagi kaum suci yang tak punya banyak kepentingan duniawi ini. “Siapa pun yang minum dari cawan kekuasaan, ia pasti terjatuh dari keikhlasaan seorang hamba,” begitulah pendirian para sufi. Kalimat bijak ini sangat besar artinya bagi kaum sufi.

Al-Ghazali menjadikan pendirian ini sebagai satu pondasi dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang hamba. Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu kemurnian hati sang sufi. Makanya cukup menarik ketika J. Spencer Brimingham malah menulis satu sub judul: “Peran Politik (Kelompok Sufi)” dalam bukunya The Sufi Orders in Islam. Orientalis asal Inggris itu secara khusus menulis aktivitas politik kaum sufi di berbagai belahan dunia.

Unik memang ketika seorang sufi berpolitik. Kekuasaan dapat melemparnya. Politik hampir menjadi dunia haram bagi sufi. Sikap sufi terhadap kekuasaan mirip dengan keputusan Buddha Gautama yang memilih meninggalkan kehidupan istana, lalu mengembara menyucikan diri. Proses sejarah sufi Abad Pertengahan mungkin tidak banyak memunculkan peran politik sufi itu. Tapi, pada abad-abad berikutnya, sufi seringkali muncul sebagai gerakan politik, terutama pada akhir Abad 19 dan awal Abad 20, ketika umat Islam berada dalam cengkeraman imperialisme.

Dale F. Eickelman dalam Muslims Politics bahkan melihat jaringan ordo sufi sebagai gerakan politik yang sangat penting pada masa-masa kolonialisme.
Imperialisme yang mencekik umat muslim pada abad-abad itu menyebabkan para darwis dengan berbagai afialiasi tarekat turun gunung. Mereka berjuang keras membebaskan negeri-negeri muslim dari penjajahan besar-besaran yang dilancarkan Eropa.

Tarekat-tarekat sufi yang seringkali turun gunung misalnya, Qadiriyah, Tijaniyah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah dan Sanusiyah. Gerakan para sufi ini banyak mempunyai jasa dalam perjuangan politik negara-negara Islam di Afrika Utara (di bawah kolonialisme Eropa) dan Asia Tengah (di bawah cengkeraman kekuasan Tsar Rusia). Imam Shamil, pemimpin ordo Naqsyabandiyah di Daghistan, bersama para pengikut tarekatnya terlibat dalam politik karena membendung imperium Rusia yang terus mencaplok negeri-negeri muslim di Kaukasus. Ia bahkan dianggap sebagai figur paling romantik di Abad 19.

Di Afrika Utara, gerakan politik sufi melawan kolonialisme banyak dimotori oleh tarekat Qadiriyah, Tijaniyah, dan Mahdiyah Sudan. Persaudaraan sufi (tarekat) ini menerapkan ikatan transnasional. Mereka punya jaringan luas yang tak terikat oleh batas-batas wilayah. Para penjajah di Aljazair sampai memandang gerakan-gerakan mereka sebagai konspirasi pan-Islam yang amat membahayakan. Memang, ordo sufi pada masa kolonialisme merupakan wadah paling potensial bagi aksi politik lintas-wilayah untuk membendung penjajahan.

Gerakan politik sufi pada masa penjajahan itu lebih mencerminkan sebagai panggilan perjuangan daripada perebutan kekuasaan. Keterlibatan berbagai ordo sufi dalam politik praktis adalah gerakan perlawanan atas kesewenang-wenangan. Tapi, pasca kolonialisme Abad 19, para sufi tidak serta merta kembali naik gunung untuk menghindari “meminum sedikit air dari gelas kekuasaan” seperti di’warning’kan al-Ghazali. Para sufi tetap punya kontribusi kuat dalam politik dan gerakan politik mereka sudah banyak mengalami peralihan bentuk dari sebuah perlawanan kepada kekuasaan dan kepentingan.

Di Sudan, semua anggota tarekat Tijaniyah secara resmi berafialiasi dengan Front Nasional Islam. Pilihan ini, bukan semata-semata kebijakan Tijaniyah lokal, tapi instruksi dari pusat ordo mereka di Senegal. Meski demikian, pergulatan politik yang dimainkan oleh para sufi pasca kolonialisme tidak sepenuhnya punya tendensi kekuasaan. Politik yang dimainkan mereka lebih sering dipandang sebagai politik oposisional terhadap pemerintah yang berkuasa. Posisi ini tentu saja merupakan konsekwensi persentuhan kaum sufi dengan otoritas politik.

Mainstream oposisi sufi kira-kira mirip dengan posisi Syaikh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging dalam kekuasaan Raden Fatah di Demak Bintoro. Dalam logika politik Radjasa Mu’tashim, Syaikh Siti Jenar dianggap sebagai pembangkang karena ia mempunyai pengikut Ki Ageng Pengging yang merupakan keturunan Brawijaya (Majapahit) yang tentunya memiliki banyak pengaruh dan menjadi ancaman bagi kerajaan Demak.

Dalam khazanah sufi, bias politik Syaikh Siti Jenar ini hampir sama dengan eksekusi Husain bin Manshur al-Hallaj. Dalam tragedi pemancungan dan penyaliban al-Hallaj ditengarai ada agenda politik. Oleh otoritas Baghdad, Al-Hallaj dianggap sebagai pengikut gerakan politik Qaramithah, sayap politik Syi’ah Ismailiyah yang menyusup ke mana-mana.

Fenomena sufi di awal Abad 19 dan akhir Abad 20 memang banyak diwarnai oleh gerakan politik. Dan itu terjadi serentak, sehingga banyak yang memandang bahwa gerakan politik mereka tidak sekedar bentuk reaksi yang mencuat kemudian hilang. Kelompok sufi terutama di Afrika Utara dan Asia Tengah telah memiliki jaringan politik yang hierarkis dan valid. Meski hal ini tidak sepenuhnya fenomena baru, tapi dunia sufi “secara serentak” rupanya juga mengalami pergeseran cara pandang terhadap politik: dari sikap awal yang apolitik, lalu perlawanan politik terhadap kolonial, politik oposisional, lalu politik kekuasaan.

Semua tahap politik sufi tersebut sebetulnya memiliki rujukan historis dengan masa lampau.

Sejarah sufi Abad Pertengahan tidak mutlak memiliki cara pandang yang anti politik. Para syaikh sufi punya andil besar dalam perebutan kota Konstantinopel dari otoritas Romawi. Pada Era Perang Salib, kaum sufi juga banyak turun gunung untuk membantu Shalahuddin al-Ayyubi menghadapi agresi tentara Salib.

Berdirinya Dinasti Safawi di Persia juga karena revolusi politik kaum sufi. Pada awal Abad 16, tarekat Safawiyah yang beraliran Syi’ah berhasil merebut kota Tabriz dari tangan orang-orang Turki. Mereka mendirikan kerajaan Safawi yang kemudian menjadi kerajaan raksasa di Persia. Hal ini, tercatat sebagai aksi politik sufi paling besar dan ekstrem di Abad Pertengahan.

Semua itu menjadi ilustrasi unik. Sufi yang dipandang sebagai kelompok paling asketis, memiliki keterlibatan lumayan besar dalam percaturan politik. Dalam kacamata prinsip-aksi, ini adalah bentuk ambivalensi. Tapi, dalam sudut pandang yang berbeda, hal ini adalah bentuk pembumian sufi: sufi yang tidak hidup asing di menara gading atau gua-gua sunyi; sufi yang tidak kaku dengan ajaran formal tarekatnya. Tapi, sufi yang juga terimbas oleh transformasi sosial-politik lokal maupun global. (http://www.pejalanruhani.com)

Minggu, 09 Juni 2024

Memahami Qurban Secara Utuh

Setiap tanggal 10 Dzul Hijjah, semua umat Islam yang tidak melaksanakan haji merayakan hari raya Idul Adha. Pada hari itu, umat Islam sangat disunnahkan untuk berqurban dimana mereka menyembelih hewan qurban untuk kemudian dibagi-bagikan kepada seluruh umat Islam di suatu daerah. Lalu apakah sebenarnya Qurban itu? Dibawah ini akan dijelaskan secara lengkap.

Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (قربان). Kurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
Dalil Disyari’atkannya Kurban

Allah SWT telah mensyariatkan kurban dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (Al-Kautsar: 1 — 3).

“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagai syiar Allah. Kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya.” (Al-Hajj: 36).

Keutamaan Ibadah Kurban
Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah Kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) Kurban itu.” (HR Tirmidzi).
Hukum Berkurban

Ibadah kurban hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Bagi orang yang mampu melakukannya lalu ia meninggalkan hal itu, maka ia dihukumi makruh. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw pernah berkurban dengan dua kambing kibasy yang sama-sama berwarna putih kehitam-hitaman dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelih kurban tersebut, dan membacakan nama Allah serta bertakbir (waktu memotongnya).

Dari Ummu Salamah ra, Nabi saw bersabda, “Dan jika kalian telah melihat hilal (tanggal) masuknya bulan Dzul Hijjah, dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia membiarkan rambut dan kukunya.” HR Muslim

Arti sabda Nabi saw, ” ingin berkorban” adalah dalil bahwa ibadah kurban ini sunnah, bukan wajib.

Diriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar ra bahwa mereka berdua belum pernah melakukan kurban untuk keluarga mereka berdua, lantaran keduanya takut jika perihal kurban itu dianggap wajib.

Hikmah Kurban
Ibadah kurban disyariatkan Allah untuk mengenang Sejarah Idul Adha sendiri yang dialami oleh Nabi Ibrahim as dan sebagai suatu upaya untuk memberikan kemudahan pada hari Id, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Hari-hari itu tidak lain adalah hari-hari untuk makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.”

Syarat-syarat Qurban
Binatang yang Diperbolehkan untuk Kurban:

Binatang yang boleh untuk kurban adalah onta, sapi (kerbau) dan kambing. Untuk selain yang tiga jenis ini tidak diperbolehkan. Allah SWT berfirman, “supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).

Dan dianggap memadai berkurban dengan domba yang berumur setengah tahun, kambing jawa yang berumur satu tahun, sapi yang berumur dua tahun, dan unta yang berumur lima tahun, baik itu jantan atau betina. Hal ini sesuai dengan hadis-hadis di bawah ini:

Dari Abu Hurairah ra berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Binatang kurban yang paling bagus adalah kambing yang jadza’ (powel/berumur satu tahun).” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Dari Uqbah bin Amir ra, aku berkata, wahai Rasulullah saw, aku mempunyai jadza’, Rasulullah saw menjawab, “Berkurbanlah dengannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Jabir ra, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian mengurbankan binatang kecuali yang berumur satu tahun ke atas, jika itu menyulitkanmu, maka sembelihlah domba Jadza’.”
Berkorban dengan Kambing yang Dikebiri

Boleh-boleh saja berkurban dengan kambing yang dikebiri. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Rafi’, bahwa Rasulullah saw berkurban dengan dua ekor kambing kibasy yang keduanya berwarna putih bercampur hitam lagi dikebiri. Karena dagingnya lebih enak dan lebih lezat.

Binatang-Binatang yang Tidak Diperbolehkan untuk Kurban:

Syarat-syarat binatang yang untuk kurban adalah bintang yang bebas dari aib (cacat). Karena itu, tidak boleh berkurban dengan binatang yang aib seperti di bawah ini:
1. Yang penyakitnya terlihat dengan jelas.
2. Yang buta dan jelas terlihat kebutaannya
3. Yang sumsum tulangnya tidak ada, karena kurus sekali.
Rasulullah saw bersabda, “Ada empat penyakit pada binatang kurban yang dengannya kurban itu tidak mencukupi. Yaitu yang buta dengan kebutaan yang nampak sekali, dan yang sakit dan penyakitnya terlihat sekali, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali.” (HR Tirmidzi seraya mengatakan hadis ini hasan sahih).
4. Yang cacat, yaitu yang telinga atau tanduknya sebagian besar hilang.

Selain binatang lima di atas, ada binatang-binatang lain yang tidak boleh untuk kurban, yaitu:
1. Hatma’ (ompong gigi depannya, seluruhnya).
2. Ashma’ (yang kulit tanduknya pecah).
3. Umya’ (buta).
4. Taula’ (yang mencari makan di perkebunan, tidak digembalakan).
5. Jarba’ (yang banyak penyakit kudisnya).

Juga tidak mengapa berkurban dengan binatang yang tak bersuara, yang buntutnya terputus, yang bunting, dan yang tidak ada sebagian telinga atau sebagian besar bokongnya tidak ada. Menurut yang tersahih dalam mazhab Syafi’i, bahwa yang bokong/pantatnya terputus tidak mencukupi, begitu juga yang puting susunya tidak ada, karena hilangnya sebagian organ yang dapat dimakan. Demikian juga yang ekornya terputus. Imam Syafi’i berkata, “Kami tidak memperoleh hadis tentang gigi sama sekali.“

Waktu Penyembelihan Hewan Kurban

Untuk kurban disyaratkan tidak disembelih sesudah terbit matahari pada hari ‘Iduladha. Sesudah itu boleh menyembelihnya di hari mana saja yang termasuk hari-hari Tasyrik, baik malam ataupun siang. Setelah tiga hari tersebut tidak ada lagi waktu penyembelihannya.

Dari al-Barra’ ra Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini (Iduladha) adalah kita salat, kemudian kita kembali dan memotong kurban. Barangsiapa melakukan hal itu, berarti ia mendapatkan sunnah kami. Dan barangsiapa yang menyembelih sebelum itu, maka sembelihan itu tidak lain hanyalah daging yang ia persembahkan kepada keluarganya yang tidak termasuk ibadah kurban sama sekali.”

Abu Burdah berkata, “Pada hari Nahar, Rasulullah saw berkhotbah di hadapan kami, beliau bersabda: ‘Barangsiapa salat sesuai dengan salat kami dan menghadap ke kiblat kami, dan beribadah dengan cara ibadah kami, maka ia tidak menyembelih kirban sebelum ia salat’.”

Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum salat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan barangsiapa yang menyembelih setelah salat dan khotbah, sesungguhnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah umat Islam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Bergabung dalam Berkurban

Dalam berkurban dibolehkan bergabung jika binatang korban itu berupa onta atau sapi (kerbau). Karena, sapi (kerbau) atau unta berlaku untuk tujuh orang jika mereka semua bermaksud berkurban dan bertaqarrub kepada Allah SWT.

Dari Jabir ra berkata, “Kami menyembelih kurban bersama Nabi saw di Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang, begitu juga sapi (kerbau).” (HR Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Pembagian Daging Kurban

Disunahkan bagi orang yang berkurban memakan daging kurbannya, menghadiahkannya kepada para kerabat, dan menyerahkannya kepada orang-orang fakir. Rasulullah saw bersabda, “Makanlah dan berilah makan kepada (fakir-miskin) dan simpanlah.”

Dalam hal ini para ulama mengatakan, yang afdhal adalah memakan daging itu sepertiga, menyedekahkannya sepertiga dan menyimpannya sepertiga.

Daging kurban boleh diangkut (dipindahkan) sekalipun ke negara lain. Akan tetapi, tidak boleh dijual, begitu pula kulitnya. Dan, tidak boleh memberi kepada tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang yang berkurban boleh bersedekah dan boleh mengambil kurbannya untuk dimanfaatkan (dimakan).

Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan uangnya disedekahkan atau dibelikan barang yang bermanfaat untuk rumah.
Orang yang Berkurban Menyembelihnya Sendiri

Orang yang berkorban yang pandai menyembelih disunahkan menyembelih sendiri binatang kurbannya. Ketika menyembelih disunahkan membaca, “Bismillahi Allahu Akbar, Allahumma haadza ‘an?” (Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar, ya Allah kurban ini dari ?[sebutkan namanya]).

Karena, Rasulullah saw menyembelih seekor kambing kibasy dan membaca, “Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma haadza ‘anni wa’an man lam yudhahhi min ummati” (Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah sesungguhnya (kurban) ini dariku dan dari umatku yang belum berkurban).” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Jika orang yang berkurban tidak pandai menyembelih, hendaknya dia menghadiri dan menyaksikan penyembelihannya.

Dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Rasulullah saw bersabda, “Wahai Fatimah, bangunlah. Dan saksikanlah kurbanmu. Karena, setetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kau lakukan. Dan bacalah: ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku–korbanku–hidupku, dan matiku untuk Allah Tuhan semesta Alam. Dan untuk itu aku diperintah. Dan aku adalah orang-orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah,’ Seorang sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah saw, apakah ini untukmu dan khusus keluargamu atau untuk kaum muslimin secara umum?’ Rasulullah saw menjawab, ‘Bahkan untuk kaum muslimin umumnya’.”

(Oleh KH. Ishomuddin (Dosen FAI Univ Darul Ulum Jombang) http://jombang.nu.or.id/apa-dan-bagaimana-kurban).

Jumat, 31 Mei 2024

Tujuh Keutamaan Bulan Dzulhijjah

Umat Islam akan kembali bertemu dengan bulan terakhir dalam perhitungan kalender Qamariah, yakni bulan Dzulhijjah. Bulan ini merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan (al-asyhur al-hurum) yang disebut Al-Qur’an dalam surat at-Taubah ayat 36.

Tidak saja bulannya yang mulia, 10 hari pertama dalam bulan tersebut juga disebut sebagai hari-hari yang juga dimuliakan Allah swt. Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Ustadz Sunnatullah menulis bahwa hal tersebut di dalam Al-Qur’an surat al-Fajr ayat 2, “Demi malam yang sepuluh”.

Selain ditafsirkan sebagai 10 hari terakhir Ramadhan dan 10 hari pertama di bulan Muharram, ada juga ulama ahli tafsir yang menyebut bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah. Bahkan, Imam Ibnu Katsir menegaskan bahwa pendapat yang terakhir itulah yang sahih sebagaimana termaktub dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Adhim atau yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir.

“Alasan pendapat ketiga (10 hari pertama Dzulhijjah) karena pada Dzulhijjah bertepatan dengan kesibukan umat Islam dalam menjalankan pilar Islam yang kelima, yaitu ibadah haji ke Baitullah,” tulis Ustadz Sunnatullah mengutip pandangan Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib, sebagaimana dikutip NU Online dari tulisannya berjudul Keutamaan 10 Hari Awal Dzulhijjah dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Keutamaan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah juga disebut di dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi dalam kitab Riyadus Shalihin berikut.

“Tidak ada hari di mana amal kebaikan saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini. Rasulullah menghendaki 10 hari (awal Dzulhijjah). Lantas para sahabat bertanya: ‘Wahai Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallalâhu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun (mati syahid)’.” (HR. Al-Bukhari).

Ustadz Sunnatullah menyampaikan bahwa melalui hadits tersebut, Rasulullah saw mendorong para sahabatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini tidak lain karena begitu agung, mulia, dan penuh manfaatnya hari-hari tersebut.

“Di antara hari tersebut terdapat hari Arafah dan hari penyembelihan kurban, sekaligus menjadi hari pelaksanaan ibadah haji. Semuanya tidak diragukan kemulian dan keagungannya. Umat Islam sepakat bahwa hari-hari tersebut merupakan hari yang sangat dimuliakan oleh Allah Ta’ala,” tulisnya.

Ada Tujuh Amalan Utama di Bulan Dzulhijjah

Pertama, berpuasa di sepuluh hari pertama. Hal ini dimaknai para ulama sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari, atas sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut.

“Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada amal ibadah yang lebih utama selain yang dikerjakan pada sepuluh hari ini (maksudnya sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya: “Apakah sekalipun jihad di jalan Allah?”. Rasulullah saw menjawab: “Sekalipun dari jihad. Kecuali seseorang yang keluar untuk berjihad dengan diri dan hartanya, lalu tidak ada sedikitpun yang pulang dari padanya.”

Kedua, puasa Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Bahkan, menurut Imam al-Qarafi dalam kitabnya Adz-Dzakhirah, berpuasa pada tanggal tersebut setara dengan puasa setahun, bulan Haram, Sya’ban, dan sepuluh hari Dzulhijjah.

Ketiga, puasa Arafah, yaitu puasa di tanggal 9 Dzulhijjah. Diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda bahwa puasa di hari tersebut akan melebur dosa setahun yang lampau dan akan datang.

Keempat, menghidupkan malam sepuluh hari pertama. Hal ini sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits, bahwa 10 hari pertama Dzulhijjah merupakan hari yang sangat disenangi Allah swt sehingga perlu diisi dengan banyak beribadah di siang dan malamnya.

Kelima, memperbanyak dzikir, (seperti melafalkan tahlil, tahmid, dan takbir). Hal ini sebagaimana disabdakan Nabi dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut.

“Dari Ibnu Umar dari Nabi Muhammad saw bersabda: Sepuluh hari pertama dalam Dzulhijjah merupakan hari yang sangat diagungkan dan disenangi oleh Allah, karenanya perbanyak ucapan tahlil, takbir, tahmid.” (HR. Imam Ahmad).

Keenam, beramal shalih. Apapun amal baiknya, di 10 hari pertama Dzulhijjah, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad saw, sangat disukai Allah swt.

Ketujuh, menunaikan ibadah haji. Rukun Islam kelima ini, disebut Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaiful Ma’arif, merupakan amalan paling utama dalam bulan Dzulhijjah.

Selasa, 02 April 2024

SEPULUH ARGUMENTASI BAHWA MALAM KE-27 ADALAH LAILATUL QODAR

Apakah bisa dipastikan tanggal 27 Ramadan adalah lailatul qodar?
Untuk memastikan, barangkali lebih berhati-hati jangan.

Tetapi bahwa mayoritas ulama berpendapat malam yang paling diharap lailatul qodar adalah malam 27, maka ini benar. Ath-Thohawi berkata,

وذهب الأكثر إلى أنها ليلة سبع وعشرين وهو قول ابن عباس وجماعة من الصحابة

Artinya : “Mayoritas berpendapat bahwa lailatul qodar adalah malam ke-27. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan sejumlah Shahabat” (Hasyiyah Ath-Thohawi ‘Ala Maroqi Al-Falah hlm 264)

Pendapat ini didasarkan pada sejumlah argumentasi berikut ini,

Pertama, Rasulullah ﷺ salat malam sangat serius dan benar-benar menghidupkan malam dengan ibadah pada malam 27 Ramadan. Abu Dawud meriwayatkan;


عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ
اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ». قَالَ فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلاَحُ. قَالَ قُلْتُ مَا الْفَلاَحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا بَقِيَّةَ الشَّهْرِ.

Artinya : “Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata; “Kami pernah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah ﷺ, dan beliau tidak pernah mengerjakan salat malam bersama kami dalam bulan Ramadhan itu sampai tersisa tujuh malam. Maka (di malam ketujuh tanggal 23 Ramadhan) beliau salat malam mengimami kami sampai berlalu sepertiga malam. Ketika tiba malam keenam (yakni tanggal 24 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat Malam.

Ketika tiba malam kelima (yakni tanggal 25 Ramadhan), beliau salat malam mengimami kami hingga tengah malam berlalu. Aku (Abu Dzarr) berkata; “wahai Rasulullah, alangkah baiknya sekiranya engkau menambahi lagi salat malam ini.” Abu Dzar berkata; Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila seseorang salat (malam) bersama imam hingga selesai, maka akan di catat baginya seperti bangun (untuk mengerjakan salat malam) semalam suntuk.” Kata Abu Dzar; 

“Ketika tiba malam keempat (yakni tanggal 26 Ramadhan) beliau tidak mengimami kami salat malam. Ketika tiba malam ketiga (yakni tanggal 27 Ramadhan), beliau mengumpulkan keluarganya, isteri-isterinya dan orang-orang, lalu salat malam mengimami kami, sampai kami khawatir ketinggalan “Al Falah.” Jabir bertanya; “Apakah al falah itu?” Jawabnya; “Waktu sahur. Setelah itu beliau tidak lagi mengimami salat malam bersama kami pada hari-hari sisanya di bulan tersebut (yakni tanggal 28 dan 29 Ramadhan).” (Sunan Abu Dawud juz 1 hlm 521)

Dalam hadis di atas disebutkan Rasulullah salat mengimami para Shahabat pada malam ke-23, 25, dan 27. Pada malam ke-23 beliau salat sampai sepertiga malam pertama (kira-kira sampai jam 22.00). Pada malam ke-25 beliau salat sampai tengah malam (kira-kira sampai jam 23.30). Pada malam ke-27 beliau salat sampai menjelang waktu sahur (kira-kira sampai jam 03.30).

Jadi, salat malam yang dilakukan Nabi yang paling lama durasinya adalah malam ke-27. Di malam itu, Rasulullah membangunkan seluruh keluarganya, istri-istrinya dan mengumpulkan orang-orang untuk diajak beribadah. Seakan-akan Rasulullah tahu bahwa malam itu memang malam lailatul qodar sehingga beribadah semalam suntuk (kira-kira dengan durasi 6-7 jam) dan mengajak kaum muslimin untuk menghidupkannya.

Kedua, Rasulullah ﷺ memberitahu bahwa lailatul qodar itu cirinya bisa diketahui dari bentuk bulan. Di malam itu, bulan terbit seperti piring yang dibelah. Bulan berada dalam kondisi ini adalah pada malam ke-27. Muslim meriwayatkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَذَاكَرْنَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَذْكُرُ حِينَ طَلَعَ الْقَمَرُ وَهُوَ مِثْلُ شِقِّ جَفْنَةٍ

Artinya “dari Abu Hurairah, ia berkata; Kami membincangkan Lailatul Qadr di sisi Rasulullah ﷺ, maka beliau pun bersabda: “Siapakah di antara kalian yang teringat ketika bulan terbit seperti belahan piring?.” (Shahih Muslim juz 6 hlm 84)

Ibnu Hajar menulis,

قَالَ أَبُو الْحَسَنِ الْفَارِسِيُّ أَيْ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَإِنَّ الْقَمَرَ يَطْلُعُ فِيهَا بِتِلْكَ الصّفة
Artinya : “Abu Al-Hasan Al-Farisi berkata, (bulan seperti piring dibelah) yakni malam ke-27, karena bulan terbit di malam itu dengan sifat seperti itu” (Fathu Al-Bari Li Ibni Hajar juz 4 hlm 264)

Ketiga, Rasulullah ﷺ dalam sejumlah riwayat mengucapkan dengan lugas bahwa lailatul Qodar adalah malam ke-27. Ath-Thobaroni meriwayatkan,

عَنْ مُعَاوِيَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْتَمِسُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ»

Artinya : ‘Dari Mu’awiyah, dari Nabi ﷺ beliau berkata, ‘Carilah lailatul Qodar pada malam ke-27” (Al-Mu’jam Al-Kabir Li Ath-Thabrani juz 19 hlm 349)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَقَالَ تَحَرَّوْهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ

Artinya : “dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa mencarinya (malam lailatul qadar) hendaklah ia mencarinya pada malam ke-27.” Beliau juga menyebutkan: “Carilah pada malam ke-27, yakni lailatul qadar.” (Musnad Ahmad juz 10 hlm 113)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلِيلٌ يَشُقُّ عَلَيَّ الْقِيَامُ فَأْمُرْنِي بِلَيْلَةٍ لَعَلَّ اللَّهَ يُوَفِّقُنِي فِيهَا لِلَيْلَةِ الْقَدْرِ قَالَ عَلَيْكَ بِالسَّابِعَةِ

Artinya : “dari Abdullah bin ‘Abbas; bahwa seseorang datang kepada Nabi ﷺ lalu berkata; “Wahai Nabi Allah, saya adalah orang yang sudah tua renta yang sakit sakitan, sulit bagiku untuk berdiri, maka perintahkan kepadaku dengan satu malam semoga Allah menetapkanku bertemu dengan malam lailatul qodar.” Beliau bersabda: ” (Beribadahlah) pada malam ketujuh.”(Musnad Ahmad juz 5 hlm 74)

Keempat, persaksian Ibnu Mas’ud. Suatu saat Rasulullah ﷺ ditanya tentang kapan lailatul Qodar. Lalu beliau menyebut suatu malam sebagai “clue” dan ternyata malam tersebut menurut persaksian Ibnu Mas’ud adalah malam ke-27. Ath-Thobaroni meriwayatkan,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ فَقَالَ:أَيُّكُمْ يَذْكُرُ الصَّهْبَاوَاتِ؟فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: أَنَا بِأَبِي وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ، حِينَ طَلَعَ الْقَمَرُ وَذَلِكَ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

Artinya : “Dari Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata, ‘Rasulullah ﷺ ditanya tentang lailatul qodar. Beliau menjawab, ‘Siapa di antara kalian yang ingat (malam) shohbawat?’ Abdullah berkata,’Saya wahai Rasulullah, orangtuaku menjadi tebusanmu. (malam itu adalah) Ketika bulan terbit, yakni malam ke-27” (Al-Mu’jam Al-Kabir Li Ath-Thabrani juz 8 hlm 493)

Shohbawat adalah bentuk jamak dari shohba’ (الصهباء). Lafaz ini memiliki dua kemungkinan makna. Pertama, dimaknai nama tempat di dekat Khoibar. Kedua, dimaknai unta yang berwarna merah kehitaman. Ketika Rasulullah menyebut malam shohbawat dan mengajak para Shahabat mengingat-ingat malam itu, seakan-akan Rasulullah ﷺ berusaha menghadirkan memori malam tertentu yang mereka habiskan di dekat Khoibar atau mereka habiskan sambil mengendarai unta merah. Rasulullah ﷺ ingin mengatakan bahwa malam itulah malam lailatul qodar. Ternyata Abdullah bin Mas’ud yang paling mengingat malam itu dan malam itu adalah malam ke-27.

Kelima, Istinbath Ibnu Abbas. Suatu hari Umar bertanya kepada Ibnu Abbas kapan lailatul qodar itu, maka Ibnu Abbas mengatakan malam itu adalah malam ke-27 dengan sejumlah argumentasi. Abdur Rozzaq meriwayatkan,

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: دَعَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُمْ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ؟ فَأَجْمَعُوَا أَنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَقُلْتُ لِعُمَرَ: «إِنِّي لَأَعْلَمُ، أَوْ إِنِّي لَأَظُنُّ أَيَّ لَيْلَةٍ هِيَ؟»، قَالَ عُمَرُ: وَأَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ؟ فَقُلْتُ: ” سَابِعَةٌ تَمْضِي، أَوْ سَابِعَةٌ تَبْقَى مِنَ
الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، فَقَالَ عُمَرُ: وَمِنْ أَيْنَ عَلِمْتَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: «خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ، وَسَبْعَ أَرَضِينَ، وَسَبْعَةَ أَيَّامٍ، وَإِنَّ الدَّهْرَ يَدُورُ فِي سَبْعٍ، وَخَلَقَ اللَّهُ الْإِنْسَانَ مِنْ سَبْعٍ، وَيَأْكُلُ مِنْ سَبْعٍ، وَيَسْجُدُ عَلَى سَبْعٍ، وَالطَّوَافُ بِالْبَيْتِ سَبْعٌ، وَرَمِيُ الْجِمَارِ سَبْعٌ، لِأَشْيَاءَ ذَكَرَهَا»، فَقَالَ عُمَرُ: لَقَدْ فَطِنْتَ لِأَمْرٍ مَا فَطِنَّا لَهُ

Artinya : “Ibnu Abbas berkata, ‘Umar mengundang para Shahabat Nabi Muhammad kemudian menanyai mereka tentang lailatul qodar. Mereka sepakat bahwa malam itu ada pada 10 hari terakhir Ramadhan. Ibnu Abbas berkata, aku berkata kepada Umar, ‘Sesungguhnya aku benar-benar tahu atau aku benar-benar punya dugaan kuat di malam apa malam itu”. Umar bertanya, ‘malam apa itu?’ Aku menjawab, ‘malam ke tujuh yang telah berlalu atau malam ketujuh yang tersisa dari 10 hari terakhir Ramadan’. 

Umar bertanya, ‘Dari mana kamu tahu itu?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Allah menciptakan tujuh langit, tujuh bumi, tujuh hari, masa berputar dalam tujuh, Allah menciptakan manusia dari tujuh unsur, makan dari tujuh unsur, sujud di atas tujuh tulang, bertawaf sebanyak tujuh putaran, melempar jamroh tujuh kali (dan seterusnya), Ibnu Abbas menyebut sejumlah hal.’ Umar berkata, sungguh engkau telah memahami perkara yang tidak kami pahami'”. (Mushonnaf Abdul Ar-Rozzak Ash-Shon’ani juz 4 hlm 246)

Keenam, mimpi salah satu Shahabat. Ada salah satu Shahabat Nabi yang bermimpi melihat lailatul qodar pada malam ke-27. Muslim meriwayatkan,

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

Artinya : “dari Salim dari bapaknya radhiallahu ‘anhu, ia berkata; Seorang bermimpi bahwa Lailatul Qadr terdapat pada malam ke-27 bulan Ramadhan. (Shahih Muslim juz 6 hlm 70)

Ketujuh, sumpah Ubay bin Ka’ab. Ada satu riwayat lugas bahwa salah satu shahabat nabi yang bernama Ubay bin Ka’ab bersumpah bahwa lailatul qodar adalah malam ke-27. Muslim meriwayatkan,

عَنْ زِرٍّ قَالَ سَمِعْتُ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ – وَقِيلَ لَهُ إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ قَامَ السَّنَةَ أَصَابَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَقَالَ أُبَىٌّ وَاللَّهِ الَّذِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ إِنَّهَا لَفِى رَمَضَانَ – يَحْلِفُ مَا يَسْتَثْنِى – وَوَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُ أَىُّ لَيْلَةٍ هِىَ. هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

Artinya : “dari Zirr ia berkata, saya mendengar Ubay bin Ka’ab berkata, sementara beliau diberitahu pendapat Abdullah bin Mas’ud (tentang lailatul qodar) dengan berkata, “Siapa yang melakukan shalat malam sepanjang tahun, niscaya ia akan menemui malam Lailatul Qadr.” 

Ubay berkata, “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, sesungguhnya malam itu terdapat dalam bulan Ramadan. Dan demi Allah, sesungguhnya aku tahu malam apakah itu. Lailatul Qadr itu adalah malam, dimana Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk menegakkan salat di dalamnya, malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke-27 (dari bulan Ramadan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa syu’a (sinar menggaris).”(Shahih Muslim juz 2 hlm 178)

Bersumpah, apalagi atas nama Allah artinya mengucapkan sesuatu secara tegas dan pasti tanpa keraguan. Jika sesuatu masih diragukan, maka tidak mungkin shahabat berani bersumpah. Riwayat ini menunjukkan Ubay bin Ka’ab sangat yakin tanpa ragu sedikitpun bahwa lailatul Qodar itu malam ke-27

Kedelapan, Istikhroj surat Al-Qodr. Sebagian ulama berpendapat lailatul qodar jatuh pada malam ke-27 dengan menghitung kata dalam surat Al-Qodr. Setelah dihitung, ternyata lafaz hiya (هِيَ) dalam ayat berikut ini,

{سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ } [القدر: 5]

Lafaz hiya (هِيَ) yang kembali pada lailatul qodr adalah kata ke-27. Jadi, hal ini menjadi isyarat bahwa lailatul Qodar adalah pada malam ke-27

Kesembilan, jumlah huruf pada lafaz lailatul qodr. Jika dihitung, jumlah huruf yang ada pada lafaz lailatul qodr (لَيْلَةُ الْقَدْرِ) adalah sembilan. Lafaz lailatul qodr dalam surat Al-Qodr diulang 3 kali. Jadi, jumlahnya 27. Oleh karena itu, ini juga menjadi isyarat lailatul qodar jatuh pada malam ke-27

Kesepuluh,pengalaman ruhiyyah sejumlah orang salih. Ada sejumlah kisah pengalaman-pengalaman individu yang menguatkan bahwa lailatul qodar jatuh pada malam ke-27. Di antaranya adalah kisah An-Nawawi pada waktu masih kecil. An-Nawai adalah ulama besar yang mengarang sejumlah kitab terkenal di Indonesia seperti Riyadhus Sholihin, Arba’in Nawawiyyah, Al-Adzkar dan lain-lain. As-Subki menulis,

وَذكر أَبوهُ أَن الشَّيْخ كَانَ نَائِما إِلَى جنبه وَقد بلغ من الْعُمر سبع سِنِين لَيْلَة السَّابِع وَالْعِشْرين من شهر رَمَضَان فانتبه نَحْو نصف اللَّيْل وَقَالَ يَا أَبَت مَا هَذَا الضَّوْء الَّذِي مَلأ الدَّار فَاسْتَيْقَظَ الْأَهْل جَمِيعًا قَالَ فَلم نر كلنا شَيْئا قَالَ وَالِده فَعرفت أَنَّهَا لَيْلَة الْقدر

Artinya : “ayahnya (An-Nawawi) menceritakan bahwa di malam ke-27 Ramadan An-Nawawi tidur di sampingnya. Usianya waktu itu tujuh tahun. Kemudian An-Nawawi terbangun kira-kira tengah malam lalu bertanya, ‘wahai ayah, cahaya apa ini yang memenuhi rumah?’ maka seluruh keluarga bangun. Ayahnya berkata,’tapi kami tidak melihat apapun’. Ayah An-Nawawi berkata, ‘akupun tahu bahwa malam itu adalah lailatul qodar”. (Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Li As-Subki juz 8 hlm 396)

Pengalaman serupa dirasakan oleh Abu Al-Mudhoffar bin Hubairah. Ibnu Rojab menulis,

وذكر الوزير أبو المظفر ابن هبيرة أنه رأى ليلة سبع وعشرين وكانت ليلة جمعة بابا في السماء مفتوحا شامي الكعبة قال: فظننته حيال الحجرة النبوية المقدسة قال: ولم يزل كذلك إلى أن التفت إلى المشرق لأنظر طلوع الفجر ثم التفت إليه فوجدته قد غاب

“Abu Al-Mudhoffar bin Hubairah Al-Wazir bercerita bahwasanya beliau melihat sebuah pintu terbuka di langit di arah utara ka’bah (waktu itu malam jumat) pada malam ke-27. Dia berkata, ‘Aku menduganya di depan kamar nabawi yang suci.’ Dia berkata, ‘Pemandangannya terus seperti itu sampai aku menoleh ke arah timur untuk melihat terbitnya fajar. Kemudian aku menoleh lagi ke arahnya, tetapi (pemandangan itu) telah lenyap”. (Lathoif Al-Ma’arif Li Ibni Rojab hlm 203)

Atas dasar ini, sungguh layak untuk berharap bahwa malam ke-27 adalah lailatul qodar sehingga kita bisa menyiapkan diri beribadah lebih giat di dalamnya.

Wallahua’lam..
Oleh : Ustadz  Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)

Selasa, 19 Maret 2024

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah, ash shiyaam artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum dan pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Hukum puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون

“wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).

Dan juga karena puasa ramadhan adalah salah dari rukun Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بُني الإِسلام على خمس: شهادة أن لا إِله إِلا الله وأنّ محمّداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإِيتاء الزكاة، والحجّ، وصوم رمضان

“Islam dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).
Keutamaan puasaPuasa adalah ibadah yang tidak ada tandingannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al Bahili:

عليك بالصيام فإنه لا مثل له

“hendaknya engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya” (HR. Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)
Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya.

قال الله عز وجل: كل عمل ابن آدم له إلا الصوم، فإنه لي وأنا أجزي به

“Allah ‘azza wa jalla berfirman: setiap amalan manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas pahalanya” (HR. Bukhari – Muslim).
Puasa menggabungkan 3 jenis kesabaran: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap takdir Allah atas rasa lapar dan kesulitan yang ia rasakan selama puasa.

Puasa akan memberikan syafaat di hari kiamat.

الصيام والقرآن يشفعان للعبد

“Puasa dan Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat” (HR. Ahmad, Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan: “semua perawinya dijadikan hujjah dalam Ash Shahih“).

Orang yang berpuasa akan diganjar dengan ampunan dan pahala yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Ahzab: 35).

Puasa adalah perisai dari api neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصيام جُنة

“puasa adalah perisai” (HR. Bukhari – Muslim)
Puasa adalah sebab masuk ke dalam surga
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

في الجنة ثمانية أبواب، فيها باب يسمى الريان، لا يدخله إلا الصائمون

“di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).

Hikmah disyariatkannya puasa:

Puasa adalah wasilah untuk mengokohkan ketaqwaan kepada Allah
Puasa membuat orang merasakan nikmat dari Allah Ta’ala
Mendidik manusia dalam mengendalikan keinginan dan sabar dalam menahan diri
Puasa menahan laju godaan setan
Puasa menimbulkan rasa iba dan sayang kepada kaum miskin
Puasa membersihkan badan dari elemen-elemen yang tidak baik dan membuat badan sehat

Rukun puasa::

Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
Menepati rentang waktu puasa
Awal dan akhir bulan Ramadhan (bulan puasa)

Wajib menentukan awal bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.

Para ulama mensyaratkan minimal satu orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Ramadhan.

Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Ramadhan sendirian, ulama khilaf. Jumhur ulama mengatakan ia wajib berpuasa sendirian berdasarkan ru’yah-nya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Al Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat ia wajib berpuasa bersama jama’ah kaum Muslimin. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Baz.

Rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain (ittifaqul mathali’), ataukah setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing di negerinya (ikhtilaful mathali’)? Para ulama khilaf dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain. Adapun Syafi’iyyah dan pendapat sebagian salaf, setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ash Shanani dan juga Ibnu Utsaimin.

Wajib menentukan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.

Jumhur ulama mensyaratkan minimal dua orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Syawal.

Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Syawal sendirian, maka ia wajib berbuka bersama jama’ah kaum Muslimin.
Jika hilal Syawal terlihat pada siang hari, maka kaum Muslimin ketika itu juga berbuka dan shalat Id, jika terjadi sebelum zawal (bergesernya mata hari dari garis tegak lurus).
Rentang waktu puasa

Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala berfirman:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187).

Yang dimaksud dengan khaythul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الفجر فجران: فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان فلا يحل الصلاة ولا يحرم الطعام، وأما الفجر الذي يذهب مستطيلا في الأفق فإنه يحل الصلاة و يحرم الطعام

“Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (shubuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’).

Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“lalu sempurnakanlah puasa hingga malam” (QS. Al Baqarah: 187).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار من هاهنا، وغربت الشمس، فقد أفطر الصائم

“jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang berpuasa boleh berbuka” (HR. Bukhari – Muslim).

Syarat sah puasa:

Islam
Baligh
Berakal
Muqim (tidak sedang safar)
Suci dari haid dan nifas
Mampu berpuasa
Niat

Sunnah-sunnah ketika puasa:

Sunnah-sunnah terkait berbuka puasaDisunnahkan menyegerakan berbuka
Berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma segar), jika tidak ada maka denganbeberapa butir tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih
Berdoa ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/dzahabazh zhomaa-u wabtallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
“telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya Allah” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Sunnah-sunnah terkait makan sahur:

Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah. Dianggap sudah makan sahur jika makan atau minum di waktu sahar, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan.

Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar, pada waktu yang tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur.
Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering).

Orang yang berpuasa wajib meninggalkan semua perbuatan yang diharamkan agama dan dianjurkan untuk memperbanyak melakukan ketaatan seperti: bersedekah, membaca Al Qur’an, shalat sunnah, berdzikir, membantu orang lain, i’tikaf, menuntut ilmu agama, dll
Membaca Al Qur’an adalah amalan yang lebih dianjurkan untuk diperbanyak di bulan Ramadhan. Bahkan sebagian salaf tidak mengajarkan ilmu di bulan Ramadhan agar bisa fokus memperbanyak membaca Al Qur’an dan mentadabburinya.

Orang-orang yang dibolehkan tidak berpuasa:

Orang sakit yang bisa membahayakan dirinya jika berpuasa. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius pada kesehatannya. 

Adapun orang yang sakit ringan yang jika berpuasa tidak ada pengaruhnya sama sekali atau pengaruhnya kecil, seperti pilek, sakit kepala, maka ulama empat madzhab sepakat orang yang demikian wajib tetap berpuasa dan tidak boleh meninggalkan puasa.

Terkait adanya kewajiban qadha atau tidak, orang sakit dibagi menjadi 2 macam: Orang yang sakitnya diperkirakan masih bisa sembuh, maka wajib meng-qadha ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa. Ulama ijma akan hal ini.

Orang yang sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Diqiyaskan dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi berpuasa. Ini disepakati oleh madzhab fikih yang empat.
Musafir.Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik perjalanannya sulit dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa.

Namun jika orang yang bersafar itu berniat bermukim di tempat tujuan safarnya lebih dari 4 hari, maka tidak boleh meninggalkan puasa sejak ia sampai di tempat tujuannya.
Para ulama khilaf mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau kendaraan yang sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak berpuasa. Yang lebih kuat, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, lebih utama tetap berpuasa.

Orang yang hampir selalu bersafar setiap hari, seperti pilot, supir bus, supir truk, masinis, dan semacamnya, dibolehkan untuk tidak berpuasa selama bersafar, selama itu memiliki tempat tinggal untuk pulang dan menetap. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Utsaimin.

Orang yang sudah tua rentaOrang yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Ulama ijma akan hal ini.
Wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.

Wanita hamil dan menyusuiWanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik karena ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan si bayi.

Ulama berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika meninggalkan puasa.Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup membayar fidyah tanpa qadha, ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani.

Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup meng-qadha tanpa fidyah, ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.

Sebagian ulama madzhab juga berpendapat bagi mereka qadha dan fidyah jika meninggalkan puasa karena khawatir akan kesehatan si bayi.

Yang lebih rajih –insya Allah– adalah pendapat kedua, bagi mereka wajib qadha saja tanpa fidyah.

Orang yang memiliki sebab-sebab yang membolehkan tidak berpuasa, diantaranya: 
Orang yang pekerjaannya terasa berat. 
Orang yang demikian tetap wajib meniatkan diri berpuasa dan wajib berpuasa. Namun ketika tengah hari bekerja lalu terasa sangat berat hingga dikhawatirkan dapat membahayakan dirinya, boleh membatalkan puasa ketika itu, dan wajib meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
Orang yang sangat kelaparan dan kehausan sehingga bisa membuatnya binasa. 
Orang yang demikian wajib berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain.
Orang yang dipaksa untuk berbuka atau dimasukan makanan dan minuman secara paksa ke mulutnya. 
Orang yang demikian boleh berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain dan ia tidak berdosa karenanya.

Mujahid fi sabilillah yang sedang berperang di medan perang. Dibolehkan bagi mereka untuk meninggalkan berpuasa. Berdasarkan hadits:

إنكم قد دنوتم من عدوكم، والفطر أقوى لكم، فكانت رخصة

“Sesungguhnya musuh kalian telah mendekati kalian, maka berbuka itu lebih menguatkan kalian, dan hal itu merupakan rukhshah” (HR. Muslim).

Pembatal-pembatal puasa:

Makan dan minum dengan sengaja
Keluar mani dengan sengaja
Muntah dengan sengaja
Keluarnya darah haid dan nifas
Menjadi gila atau pingsan
Riddah (murtad)
Berniat untuk berbuka
Merokok
Jima (bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib meng-qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak, jika tidak ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.
Hijamah (bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama, hijamah tidak membatalkan puasa. Sedangkan pendapat Hanabilah bekam dapat membatalkan puasa. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan Ibnu Al Utsaimin.

Masalah donor darah merupakan turunan dari masalah bekam. Maka donor darah tidak membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat jumhur ulama, dan bisa membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat Hanabilah.

Inhaler dan sejenisnya berupa aroma yang dimasukan melalui hidung, diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama ia dapat membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengatakan tidak membatalkan. Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

Yang bukan merupakan pembatal puasa sehingga dibolehkan melakukannya:
Mengakhirkan mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.
Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
Mandi di tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air
Menyicipi makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan
Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya
Memakai parfum dan wangi-wangian
Menggunakan siwak atau sikat gigi
Menggunakan celak
Menggunakan tetes mata
Menggunakan tetes telinga
Makan dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh, yang biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang waktu puasa adalah ketika terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh.

Yang dimakruhkan ketika puasa:

Terlalu dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)
Puasa wishal, yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum sama sekali.
Menyicipi makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan
Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu mengendalikan birahinya
Bermalas-malasan dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan
Berlebihan dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat.

Beberapa kesalah-pahaman dalam ibadah puasa:

Niat puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan itikad di dalam hati bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang sah.

Berpuasa namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara juga perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak bangun shalat shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada faedahnya jika ia berpuasa jika statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak sampai kafir namun termasuk dosa besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.

Berbohong tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.

Sebagian orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika berpuasa, bahkan terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Namun jika dilakukan ketika berpuasa selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa walaupun tidak membatalkan puasanya.

Hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” adalah hadits yang lemah. tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar di tengah masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum. Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan manis yaitu menguatkan fisik.

Wallahu ta’ala a’lam.
Sumber: https://muslim.or.id/28133-ringkasan-fikih-puasa-ramadhan.html

Jumat, 08 Maret 2024

Mengapa Umat Muslim Ramai Baca Al Qur'an di Bulan Ramadhan

Huruf dalam Alquran

Sejak 1200 tahun silam, ketika dunia blm mengenal KOMPUTER atau alat hitung sejenis,
Maka IMAM SYAFI'I telah mampu mendata JUMLAH masing-masing HURUF dalam AL-QURĀN secara detail dan tepat.

IMAM SYAFI'I dalam kitab Majmu al-Ulum wa Mathli’u an Nujum dan dikutip oleh Imam ibn ‘Arabi dalam mukaddimah al-Futuhuat al-Ilahiyah menyatakan jumlah huruf-huruf dalam Al Qur'an di susun sesuai dgn banyaknya:

o ا Alif : 48740 huruf,
o ل Lam : 33922 huruf,
o م Mim : 28922 huruf,
o ح Ha ’ : 26925 huruf,
o ي Ya’ : 25717 huruf,
o و Waw : 25506 huruf,
o ن Nun : 17000 huruf,
o لا Lam alif : 14707 huruf,
o ب Ba ’ : 11420 huruf,
o ث Tsa’ : 10480 huruf,
o ف Fa’ : 9813 huruf,
o ع ‘Ain : 9470 huruf,
o ق Qaf : 8099 huruf,
o ك Kaf : 8022 huruf,
o د Dal : 5998 huruf,
o س Sin : 5799 huruf,
o ذ Dzal : 4934 huruf,
o ه Ha : 4138 huruf,
o ج Jim : 3322 huruf,
o ص Shad : 2780 huruf,
o ر Ra ’ : 2206 huruf,
o ش Syin : 2115 huruf,
o ض Dhadl : 1822 huruf,
o ز Zai : 1680 huruf,
o خ Kha ’ : 1503 huruf,
o ت Ta’ : 1404 huruf,
o غ Ghain : 1229 huruf,
o ط Tha’ : 1204 huruf dan terakhir
o ظ Dza’ : 842 huruf.

Jumlah semua huruf dalam al-Quran sebanyak .. (satu juta dua puluh tujuh ribu).

Setiap kali kita khatam Al-Quran, kita telah membaca lebih dari 1 juta huruf.
Jika 1 huruf = 1 kebaikan dan 1 kebaikan = 10 pahala, maka kira-kira 10 juta pahala kita dapatkan.

Di bulan Ramadhan ALLAH gandakan lagi 70x kebaikan...Jadi, silahkan hitung atau kira-kiralah sendiri... 

Mudah-mudahan ini menjadi motivasi kita untuk terus membaca Al-Quran, bertadarrus dan kalau mampu memahami maknanya.

Wallahu a'lam..

SYAFA'AT AL QUR'AN DI DALAM KUBUR

Semoga kita termasuk di dalam golongan orang orang ini...Aamiin !!!

Pertolongan Al-Quran di Alam Kubur.

Dari Sa’id bin Sulaim ra, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada penolong yg lebih utama derajatnya di sisi Allah pada hari Kiamat daripada Al-Qur’an. Bukan nabi, bukan malaikat dan bukan pula yang lainnya.” (Abdul Malik bin Habib-Syarah Ihya).

Bazzar meriwayatkan dalam kitab La’aali Masnunah bahwa jika seseorang meninggal dunia, ketika orang - orang sibuk dgn kain kafan dan persiapan pengebumian di rumahnya, tiba -tiba seseorang yang sangat tampan berdiri di kepala mayat. Ketika kain kafan mulai dipakaikan, dia berada di antara dada dan kain kafan.

Setelah dikuburkan dan orang - orang mulai meninggalkannya, datanglah 2 malaikat. Yaitu Malaikat Munkar dan Nakir yang berusaha memisahkan orang tampan itu dari mayat agar memudahkan tanya jawab.

Tetapi si tampan itu berkata: ”Ia adalah sahabat karibku. Dalam keadaan bagaimanapun aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian ditugaskan utk bertanya kepadanya, lakukanlah pekerjaan kalian. Aku tidak akan berpisah dari orang ini sehingga ia di masukkan ke dalam syurga.”

Lalu ia berpaling kepada sahabatnya dan berkata,”Aku adalah Al Quran yang terkadang kamu baca dengan suara keras dan terkadang dengan suara perlahan.
-Jangan khawatir setelah menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir ini, engkau tidak akan mengalami kesulitan.”
-Setelah para malaikat itu selesai memberi pertanyaan, ia menghamparkan tempat tidur dan permadani sutera yang penuh dengan kasturi dari Mala’il A’la. (Himpunan Fadhilah Amal : 609).

Allahu Akbar, selalu saja ada getaran haru selepas membaca hadits ini. Getaran penuh pengharapan sekaligus kekhawatiran. Getaran harap karena tentu saja mengharapkan Al-Quran yang kita baca dapat menjadi pembela kita di hari yang tidak ada pembela. Sekaligus getaran takut, kalau-kalau Al-Quran akan menuntut kita.

Yaa Allah… terimalah bacaan Al-Quran kami. Sempurnakanlah kekurangannya.
Banyak riwayat yang menerangkan bahwa Al-Quran adalah pemberi syafa’at yang pasti dikabulkan Allah Subhana wa Ta'ala Aamiin..
(Oleh: Prof.DR. Ahmad Sathori Ismail)

Jumat, 16 Februari 2024

Makna Puasa dan Idul Fitri Menurut Sufi Nusantara (Bag-2// habis)

Kupat adalah ngaku lepat (mengaku salah) dan laku papat (empat laku). Misalnya, sungkeman adalah bentuk pengakuan yang indah karena biasanya dilakukan kepada orang tua dan orang-orang lain yang lebih tua.

Ini mengajarkan penghormatan, berbakti, rendah hati, dan memohon keikhlasan dan maaf dari orang tua, dengan harapan orang tua mendoakan anak-anaknya agar diampuni; doa orang tua, seperti kita tahu, lebih ijabah dalam pengertian ini.

Sedangkan laku papat adalah lebaran, luberan, leburan dan laburan. Lebar dalam bahasa jawa berarti ”selesai”, sebagai tanda berakhirnya bulan ramadhan, dan terbukanya pintu ampunan. Luberan adalah melimpah, sebagai simbol ajaran untuk melimpahkan rezeki, baik yang wajib maupun sunnah: zakat, sedekah kepada keponakan-keponakan, tetangga (dengan mengirim atau bertukar makanan, dan sebagainya) – yang secara umum adalah bentuk kepedulian sosial.

Leburan adalah melebur, yakni meleburkan dosa dan kesalahan diri kita dan orang lain dengan saling memaafkan, agar ”energi negatif kolektif” berupa dendam, benci, dan amarah, diubah menjadi ”energi positif kolektif” – kasih sayang, saling berbuat baik, dan seterusnya. Dan laburan adalah ”melabur” dengan kapur, yakni memutihkan – berarti memutihkan hati dan menjaganya agar tetap putih (bersih).

Tidak heran jika dalam tradisi di jawa kita pada masa lebaran sering mendengar ungkapan semacam ”parikan” yakni ”kupat santen, kawulo lepat nyuwun ngapunten.”

Jadi, apapun kualitas puasa kita, entah puasa awam atau khusus dan sangat khusus, Allah tetap memberikan balasan dan peluang untuk memperbaiki diri melalui puasa lantaran Rahmat dan Kasih-Sayang-Nya. Yang penting adalah, meski kita masih berpuasa ala kadarnya.

Paling tidak tumbuh kesadaran melalui pendidikan ruhani via puasa dan idul fitri, yang terus diulang setiap tahun selama kita masih hidup dan mampu, bahwa puasa dan kebajikan sosial adalah dua hal yang melambangkan tajalli dari tindakan-Nya dan sifat-sifat-Nya, mengingatkan kita bahwa pada hakikatnya apapun yang kita lakukan tidak akan pernah lepas dari-Nya, baik dalam ibadah individu maupun sosial, baik dalam kesalehan individu maupun kesalehan sosial.

Jika kesadaran ini terus dilatih, maka seseorang insya Alah, dengan izin-Nya, akan selalu mengembalikan segala urusan kepada-Nya, selalu mengingat-Nya, yang berarti orang secara tak langsung diajak berzikir dalam setiap tindakan tanpa dia sadari.

Pada akhirnya, jika istiqomah melatih kesadaran ruhani melalui puasa wajib dan sunah, orang akan memahami bahwa inna lillahi wa inna ilaihi rojiun bukan hanya soal kematian, tetapi juga dalam soal kehidupan; kanjeng Nabi bersabda, ”Matilah sebelum engkau mati.”

Maka, bagi orang yang berpuasa (dengan benar) ia akan menemui dua kegembiraan: “di saat berbuka dan bertemu dengan Tuhannya.” Manusia “berbuka puasa” dalam arti bahwa dengan berlatih menghilangkan hijab-hijab kedirian agar hati menjadi bersih melalui tindakan menahan hawa-nafsu, sehingga sampai terbuka mata hati dan ruhaninya, menyaksikan kebesaran Allah dan sifat-sifat Allah dalam setiap ciptaan, dan pada gilirannya ia akan bertemu dengan Tuhannya, dalam keadaan sebagaimana pertama kali ia diciptakan, yakni dalam keadaan fitrah. Wa Allahu a’lam. (islami.co//habis)

Jumat, 09 Februari 2024

Makna Puasa dan Idul Fitri Menurut Sufi (Bag-1)

Dalam hadis dinyatakan bahwa puasa adalah milik-Nya, maka pada hakikatnya ibadah puasa adalah ”tanpa-laku.” Ini bukan dalam makna lahir atau fisik, namun mengacu pada makna ruhani dari ”tanpa laku” – yakni diam, hening. Yaitu, mengheningkan batin dengan cara menahan keinginan lahiriah bahkan termasuk yang halal dan menahan keinginan batiniah terutama yang buruk-buruk, seperti keinginan berdusta, mengeluh, ghibah, bertikai, memusuhi dan yang semacam itu.

Puasa dalam makna ini hanya bisa dilakukan oleh sedikit orang, golongan elit menurut Imam al-Ghazali, yakni puasanya ”orang khusus dari yang khusus.” Ketika ”haal” (keadaan ruhani) seseorang telah menyatukan ”laku” dengan ”tanpa laku”, yang berarti sudah menisbahkan semua tindakannya kepada Allah, menyatukan tanzih (transendensi) dan tasybih (imanensi), maka Allah sendirilah yang akan mengekspresikan atau mengejawantahkan Diri-Nya melalui orang yang berpuasa secara khusus ini: ”… Aku menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, penglihatannya yang dengannya dia melihat ..” dan seterusnya seperti tertera dalam Hadis Qudsi yang masyhur di kalangan sufi.

Jika demikian keadaannya, maka seseorang berarti telah kembali kepada keadaannya yang semula, fitrah – atau dalam ungkapan umum ”aidil fitri,” kembali ke keadaan sebenarnya melalui puasa. Manusia kembali kepada keadaan bahwa dirinya bukan apa-apa karena, sebagaimana puasa, manusia adalah milik-Nya. Karenanya, kewajiban dalam berpuasa secara syariat adalah menahan diri melakukan tindakan-tindakan yang haram maupun halal selama ia berpuasa, dan melakukan tindakan-tindakan ibadah wajib dan sunnah sesuai perintah-Nya, agar terbit kesadaran hakiki tentang ”la haula wa quwwata illa billah,” tidak ada daya dan kekuatan apapun kecuali dari Allah, yaitu kesadaran bahwa meski orang makan, namun sesungguhnya orang kenyang bukan karena makan melainkan karena Allah, bahwa orang beribadah bukan karena dirinya sendiri mampu beribadah melainkan karena diizinkan dan diberi kekuatan oleh Allah, dan seterusnya. Karena itu dalam pengertian ini seseorang melalui ibadah puasa yang adalah ”milik-Nya” itu kembali kepada-Nya bukan melalui dirinya sendiri tetapi melalui sesuatu yang merupakan milik Allah.

Pada gilirannya, karena ia secara ruhani menyerahkan hakikat ibadahnya kembali kepada Sang Pemilik, maka dirinya ridho untuk dikendalikan oleh Sang Pemilik sehingga ia berhak menyandang amanah sebagai ”khalifah Allah di muka bumi.”

Ini dilambangkan dengan Idul Fitri, kembali kepada kesuciannya, yakni mensucikan segala sesuatu yang dinisbahkan secara semu kepada klaim dirinya sendiri, sebab segala sesuatu adalah milik Allah. 

Karenanya, pada malam idul fitri disunnahkan bertakbir, mengagungkan Allah, bukan dalam arti membesarkan Allah dibandingkan dengan yang lain, sebab Allah jelas tiada bandingan, tetapi dalam arti bahwa Allah memang Maha Besar tiada bandingan sehingga tak sepatutnya orang yang sudah kembali kepada-Nya melihat kebesaran semu dalam dirinya sendiri, karena dirinya pada hakikatnya tidak punya apa-apa, bahkan nyawanya sendiri pun bukan miliknya. 

 Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, wa lillahilhamd, Maha Besar Allah dan Segala Puji adalah Kepada-Nya, karena kebagusan akhlak dan kebeningan ruhani setelah berpuasa sesungguhnya adalah anugerah-Nya juga.


Karena itu sepatutnya manusia pada hari raya Idul Fitri justru lebih banyak bersyukur dan meminta maaf kepada manusia, sebab tindakan meminta maaf secara kolektif berarti semua orang yang terlibat dalam puasa melakukan ”pengakuan massal” bahwa mereka telah punya salah kepada sesama manusia, yang semuanya sama-sama makhluk Allah yang tidak punya apa-apa. Sekiranya kita belum sampai pada kondisi puasa amat khusus itu, maka permintaan maaf kita adalah menutupi kekurangan adab ruhani kita.

Meminta maaf kepada sesama berarti menyambung kembali tali silaturahim ruhani yang ternoda oleh gesekan-gesekan ego/nafsu dan dosa pada manusia dan pada Tuhan. Ketika orang bersalah kepada manusia, misalnya melakukan fitnah dan dusta, maka pada saat yang sama ia bersalah kepada Tuhannya karena melanggar larangan-Nya. 

Karena Kasih-Sayang-Nya, dan Dia Maha Tahu bahwa tak semua orang mampu berpuasa sebagaimana seharusnya, maka Allah memberi jalan pengampunan melalui tali silaturahim dan permintaan maaf kolektif, paling tidak membuat kita sadar bahwa kita sesama Muslim adalah saudara, dan sama-sama hamba Allah yang punya salah, sehingga diharapkan bisa mengikis salah satu dosa terbesar, yakni kesombongan, merasa paling benar sendiri, dan merasa lebih baik dari orang lain.

Maka dari itu, para arifbillah menunjukkan melalui simbol-simbol, bahwa puasa dan perayaan Idul Fitri pada hakikatnya adalah bentuk pendidikan ruhani juga; yang masyhur adalah simbol ketupat (aslinya adalah dari kata kupat) yang diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijogo. [islami.co//bersambung]

Keutamaan Memperingati Maulid Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam

* بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ* * السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه* * اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى س...