Sabtu, 23 November 2019

Tentang Syahadah dari Alam Ide ke Realitas Empirik (Bag-I)

Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak keturunan Adam dari sulbi mereka dan Dia mengambil kesaksian pada diri mereka “bukankah Aku ini Tuhanmu”? Mereka menjawab, “benar, kami bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan kami”. Demikian ini supaya nanti di hari kiamat kamu sekalian tidak berkata, “sesungguhnya kami lupa terhadap kesaksian itu”. (S. al-A’raf: 172).
Materi pokok dari ayat ini adalah mengenai kesaksian manusia akan adanya wujud Tuhan (syahadah). Akan tetapi, kesaksian ini tidak terjadi di alam empirik melainkan di alam lain sebelum manusia menginjak alam empirik, yaitu alam sebelum manusia dilahirkan,before born, di alam itu manusia telah mengenal ide, atau innate idea. Karena penyaksian ini terjadi di alam sebelum alam empirik, maka tidak mustahil jika manusia lupa atau tidak menyadari kejadian (penyaksian) tersebut.

Oleh sebab itu, ayat ini mengingatkan anak keturunan Adam mengenai syahadah tersebut supaya nanti pada hari kiamat mereka tidak mencari alasan untuk mengelakkan diri. Lewat ayat ini manusia diberi tahu supaya ia menjadi diri yang memiliki pengetahuan tentang syahadah. 

Peristiwa yang terjadi di alam praempirik ini bisa dikiaskan dengan alam bayi yang baru lahir untuk memulai menjalani kehidupan di alam empirik; Meskipun bayi ini sudah hidup di alam empirik, namun kesadaran mereka belum berkembang sehingga bayi itu tidak dapat mengingat apa-apa, bahkan tentang nama dirinya. Baru nanti setelah besar, dia diberitahu oleh orang tuanya bahwa ia diberi nama “Fulan” atau “Ghulam”. Anehnya si anak ini percaya begitu saja bahwa ia bernama “Fulan” atau “Ghulam”.

Kita hanya mengajukan logika yang sederhana. Jika di awal alam empirik saja seseorang tidak menyadari banyak hal yang terjadi pada dirinya ketika masih bayi, apalagi ketika ia masih di alam pra empirik”. Logika sederhana lainnya adalah, jika berita yang disampaikan oleh orang tentang masa bayinya bisa dipercayainya, apalagi jika berita itu disampaikan oleh Tuhan, sang penguasa kehidupan manusia.

Para filosof Yunani kuno telah membahas pengetahuan manusia, apakah terjadi before born, innate (bawaan), ataukah terjadi setelah di alam empirik. Penulis menurunkan kajian filosofik tentang alam ide di bawah ini tidak dimaksudkan untuk tujuan mencocokkan ayat al-Qurân dengan tesa-tesa filsafat, apalagi mempersamakan tesa-tesa filsafat sejajar dengan ayat al-Qur’ân, melainkan lebih dimaksudkan untuk membantu memperoleh pemahaman yang bersifatkontekstual. 

Dalam hal ini, filsafat ditempatkan sebagai sarana atau alat bantu guna mencapai sesuatu, dan sesuatu yang hendak dicapai itu adalah pemahaman. Boleh jadi dengan alat bantu ini bisa menghasilkan pemahaman yang baru atau mungkin lebih mantap. Sebagai alat bantu, ia bersifat hipotetik dan ekstrinsik. Ibarat ibu-ibu yang sedang memasak di dapur yang pada saat tertentu membutuhkan pisau sebagai alat bantu guna mempermudah pekerjaannya, tetapi di saat yang lain ia tidak membutuhkan pisau karena objek yang sedang ditangani memang tidak membutuhkan alat bantu pisau itu.


1. Tentang Alam Ide.

Adalah para filosof Yunani kuno yang membuka lembaran wacana filsafat dengan mendiskusikan berbagai tema dan isu, dan salah satu tema yang tetap menjadi topik pembicaraan sampai saat ini adalah tentang alam ide. Tradisi filsafat idea dirintis oleh Socrates dan muridnya, Plato, yang lazim dikenal dengan aliran Idealisme. 

Tradisi Platonis ini diteruskan oleh Plotinus, para filosof Muslim dan filosof Kristen abad Skolastik, terus memasuki abad Modern pada Descartes, Spinoza, Leibniz, mengilhami tokoh Aufklarung Immanuel Kant, lalu pada Hegel, pada hermenutika Emilio Betti, juga pada Brentano pemberi inspirasi pada muridnya, Edmund Husserl, perintis aliran Fenomenologi, dan meluas pada sosiologi Durkheim yang memandang ide sebagai fakta sosial. 

Aturan-aturan moral, hukum adat, keyakinan agama yang ada dalam masyarakat, demikian Durkheim, merupakan fakta sosial. Mereka adalah fakta eksternal, obyektif, terpisah dari subyek (diri manusia), tidak tergantung pada subyek, dan memiliki daya mengikat individu sebagai anggota masyarakat.

Meskipun argumen yang diajukan mereka berbeda-beda, namun ada kesejajaran pemahaman tentang ide sebagai sesuatu yang ada secara obyektif. Ide-ide itu ada di luar sana dan mereka telah menunggui kita ketika kita lahir, dan ketika kita mati, mereka tetap ada tak ubahnya seperti fakta-fakta yang berupa benda-benda fisika; batu, kayu, air dan lain-lainnya, yang keberadaannya tidak tergantung kepada kita. Sudah tentu tidak semua filosof di atas dengan ragam pandangannya tentang ide, secara rinci diturunkan di sini.

Plato mengkonsepsikan ide sebagai realitas yang sesungguhnya, realitas yang hakiki, sebaliknya, alam yang nampak nyata secara inderawi ini tak lain melainkan dunia bayangan dari alam ide atau alam yang hakiki. Sebagai alam yang sesungguhnya, ide itu tunggal, satu, tetap, tidak berubah dan abadi. Sebaliknya, dunia yang nampak inderawi ini bersifat berubah-ubah, plural, partikular-individual, serba banyak dan tidak tetap.

Mengikuti ajaran gurunya (Socrates), Plato memberi contoh, “sekuntum bunga yang indah”. Sekuntum bunga adalah duniapartikular-individual, sesuatu yang nampak inderawi. Indah adalah dunia ide. Jika ide “indah” berpartisipasi terhadap sekuntum bunga, maka kita mengatakan, “sekuntum bunga yang indah”. Dan, jika kemudian ide “indah” tidak lagi berpartisipasi kepada bunga tersebut, oleh sebab bunga itu telah menjadi layu dan rusak, maka terjadilah perubahan. 

Akan tetapi, apa yang sesungguhnya berubah bukanlah ide “indah” melainkan sekuntum bunga itulah yang berubah. Ide “indah” tidak pernah berubah sebagaimana ide “tidak indah” juga tidak berubah. Ide-ide akan tetap demikian, abadi dan tidakberubah.Yang berubah adalah sekuntum bunganya, sesuatu yang particular, sesuatu yang nampak di mata kita.

Terhadap pertanyaan mengenai di mana ide itu berada, Plato menjawab bahwa ide itu berada di alam Tuhan (Divine Realm). Dan, di alam itu manusia telah mengenal ide-ide dan setelah lahir ke dunia, manusia tinggal mengingat apa yang telah dikenalnya di alam ide tersebut. Manusia telah membawa ide bawaan (innate idea) sebelum lahir ke dunia ini.

Menurut Plato, ide itu dipahami atau ditangkap oleh akal-rasio dan bukan oleh indera, sebaliknya, dunia yang nampak di hadapan kita ini ditangkap oleh indera. Dan, pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio lebih tinggi nilainya dari yang dihasilkan oleh indera, karena objek pengetahuan indera adalah dunia yang selalu berubah-ubah dan tidak tetap. Pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio ia sebut denganepisteme atau genuine knowledge, sedangkan yang dihasilkan oleh indera ia sebut dengan opinion. Karena itulah, Plato disebut sebagai pelopor aliran Rasionalisme-Idealisme.

Dalam doktrinnya tentang ide, Plato sendiri memberikan padanan makna ide dengan forms, concept, pattern (pola) dan semakna dengan “universal”. Wujud meja atau tempat tidur sebagaimana kita saksikan di alam empirik ini, sekedar contoh lain yang diungkapkan oleh Plato, tak lain melainkan imitasi dari pola atau bentuk yang telah ada di alam ide. Doktrin ide atau hal-hal yang berkait dengannya dapat dibaca dalam karya-karya Plato yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris semisal, Theatetus, Temaeus, Phaedo, Meno, dan Republic.

Tradisi Platonis ini berkembang di kalangan kaum mutakallimin dan filosof Muslim serta para skolastik Kristen. Dengan bantuan akal-rasio mereka melakukan kajian terhadap ide-ide atau konsep-konsep keagamaan yang acuannya dari Kitab Suci. Agama dijelaskan denganepistemologi Idealisme dan Rasionalisme dan hasilnya, sebagaimana telah kita tahu, adalah tesa-tesa keagamaan yang dikemas dengan logika filsafat. 

Memang terjadi pro dan kontra terhadap pendekatan filsafat ini, akan tetapi itu tidak berarti melenyapkan warisan mereka yang telah tersimpan dalam almari peradaban atau menghilangkan semangat generasi berikut dari kajian filsafat. Inilah karir abad Scholastik di mana filsafat bertemu dengan doktrin agama.

Di abad Modern, melalui tangan Descartes, doktrin ide Platonis dikembangkan dengan mengajukan kriteria untuk menilai ide; Kriteria itu adalah clear and distinct, jelas dan terjarak (terpisah). Suatu ide dinyatakan benar jika memenuhi kriteria ini. Artinya ide itu jelas bisa ditangkap, dimengerti dan dijelaskan oleh rasio dan terpisah di mana satu ide berbeda dari lainnya dan terpisah dari subyek. 

Ide tentang panas, demikian Descartes memberi contoh, secara bisa jelas ditangkap oleh rasio dengan dukungan empirik; dan ide tentang panas itu tidak muncul dari diri subyek melainkan karena dari sesuatu yang datang dari luar diri, bahwa di luar diri subyek memang ada api yang menyebabkan munculnya ide “panas”. Singkatnya, ide yang masuk ke dalam diri subyek datang dari dunia obyek luar diri.

Argumen inilah yang kemudian digunakan oleh Descartes untuk menjelaskan ide “adanya Tuhan”. Ide ini tidak muncul dari dalam diri subyek melainkan bersumber dari wujud yang infinite (Tuhan) di luar diri subyek. Karena Tuhan adalah Dzat yang infinite, maka ide tentang adanya Dzat yang infinite tidak bisa datang dari hal-hal yang finite (wujud selain Tuhan). Ide tentang adanya Dzat yanginfinite haruslah berasal dari Dzat yang infinite. 

Dengan demikian jelas bahwa Tuhan itu ada, demikian Descartes dalam Discourse on the Method. Descartes mengajukan argumen ini hanya didasarkan pada panalaran rasio tanpa acuan dari Kitab Suci Agama yang dipeluknya. Inilah yang disebut dengan argumen causal proof, (pembuktian melalui sebab munculnya ide) dan bukan argumen ontologi yang lazim dinisbahkan kepada St. Anselmus. Argumen ontologi ini berlatar belakang dari upaya Anselmus memenuhi permintaan kaum biarawan yang meminta kepadanya membuat argumen untuk membuktikan adanya Tuhan yang tidak dari Kitab Suci melainkan dari permenungan akal pikiran manusia. 

Isi pokok dari argumen ini demikian, bahwa di dalam akal pikiran kita terdapat ide tentang adanya Dzat yang Maha Besar yang tidak ada lagi yang lebih besar dari dzat itu. Namun orang-orang bodoh dan kufur tidak mau memperhatikannya dan mereka tetap dalam kebodohannya. Argumen ini mendapat reaksi langsung dari pemikir sezamannya, yakni Gaunilo. Reaksi ini dikemas dalam bentuk pamflet dan disebarkan di berbagai tempat dengan judul “Membela kaum bodoh” (In Defence of the Fool). 

Isi penolakan itu menyatakan, bahwa kita bisa saja memiliki ide-ide di dalam akal pikiran kita yang tidak riel bahkan kahayalan-khayalan yang tidak mungkin ada dan jelas-jelas tidak ada wujudnya di luar akal. Ia lalu memberi contoh, dalam akal pikiran kita bisa saja muncul ide tentang sebuah pulau surgawi di tengah-tengah lautan, akan tetapi ide semacam ini tidak menjamin kesimpulan bahwa dunia semacam ini benar-benar ada secara obyektif.

Argumen ontologi ini juga dikritik Immanuel Kant dalam karyanya yang terkenal, “The Critique of Pure Reason”. Konsep Tuhan ada atau di sana ada Tuhan bermakna sama; hanya sebuah kemungkinan yang tak ubahnya seperti konsep di sana ada uang 100 dollar yang tak lebih dari sekedar kemungkinan. Saya tidak bisa memastikan dari konsepsi saya bahwa ide yang ada dalam pikiran saya benar-benar ada secara nyata (riel). 

Kritik model Kantian ini dinukil oleh Iqbal dalam karyanya yang terkenal, The Reconstruction of Modern Thought in Islam. Ide bahwa di dalam saku baju itu ada uang tiga ratus dollar hanyalah ide yang ada dalam akal pikiran tidak dapat membuktikan baahwa uang itu benar-benar ada di dalam saku baju itu. Antara ide yang ada pada pikiran (subyektif) dengan realitas obyektif ada jurang yang tidak bisa dijembatani oleh pemikirantransendental. 

Dari tiga pemikir ini, Kant, secara eksplisit, menganjurkan agar pemikiran filsafat dibalik arahnya, yakni tidak dari subyek ke obyek, melainkan dari obyek ke subyek. Artinya, supaya pemikiran itu obyektif, maka biarlah obyek itu menyatakan dengan sendirinya dan kita hanya berperan mengungkap apa adanya sesuai dengan obyek yang hadir kepada kita. Boleh jadi pemikiran-pemikiran yang bersifat subyektif membawa kepada penyimpangan dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada secara nyata.

Mengikuti tesa Kant inilah, Iqbal mencoba mengajukan pemecahan bagaimana agar konsep tentang Tuhan mencapai kriteria yang obyektif. Untuk memenuhi kriteria yang obyektif, demikian Iqbal, maka biarlah Tuhan sendiri mengungkapkan diri-Nya sendiri melalui firman-Nya, dan bagi kita tak ada cara lain selain menerima firman itu. Iqbal menyatakan, biarlah Ego yang Infinite menyatakan dirinya sendiri kepada ego yang finite melalui firman-Nya. Iqbal juga menggunakan istilah I Am -ness Absolute untuk menunjuk arti Tuhan.

Seperti kita lihat di atas dan uraian-uraian lain di dalam The Critique of Pure Reason, Kant berpandangan bahwa bukan akal murni yang bisa membantu membuktikan adanya Tuhan, melainkan akal praktis. Apa yang ia maksud dengan akal praktis adalah the will of human reason, atau sering diringkas dengan the will, kehendak dan ia menunjuk kepada moral. Secara moral, manusia berkehendak untuk memperoleh kebahagiaan, dan kebahagiaan yang dikehendaki oleh setiap manusia hanya akan bisa dicapai secara sempurna pada kehidupan di dunia lain selain dunia sekarang ini. Dan Dzat yang bisa memberikan kebahagiaan yang sempurna itu (summum bonum) hanyalah Tuhan. Inilah argumen moral Immanuel Kant dalam usaha membuktikan bahwa Tuhan itu ada. Di sisi lain ia mengakui bahwa ide tentang adanya Tuhan itu memang dihasilkan oleh akal murni, akan tetapi akal murni itu sendiri tidak bisa membuktikan atau menolak apakah Tuhan ada ataukah tidak.

Tuhan, kebebasan dan keabadian jiwa, oleh Kant disebut dengan noumena, dan ketiga jenis noumena tersebut diciptakan oleh akal murni akan tetapi akal murni itu sendiri tidak mampu membuktikan untuk membenarkan noumena itu ataukah tidak membenarkannya. Menurut Kant, yang membuktikan keberadaan adanya entitas tersebut bukan akal murni melainkan akal praktis. Kant melawankan noumena dengan phenomena, atau dunia yang nampak seperti dalam model Platonis.

Sedikit uraian di atas disamping menurunkan pandangan mengenai pengakuan terhadap keobjektivitasan ide, nampak bahwa ide tentang adanya Tuhan memperoleh perhatian secara kualitatif meskipun kajian pada kesempatan ini hanya mengambil beberapa contoh saja.
(DR. A. Khosin Affandi/buku:Satria Piningit/bersambung)

Sabtu, 16 November 2019

Tentang Syahadah dari Alam Ide ke Realitas Empirik (Bag-2)

2. Tentang Penyaksian (syahadah) terhadap wujud Tuhan.
Meskipun Plato secara implisit menyatakan bahwa ide itu ada di alam Tuhan, namun ia tidak memberi contoh konkrit seperti apa ide-ide di alam Tuhan itu sendiri. 


Ini artinya Plato meninggalkan ruang kosong dan bagi umat Islam, kekosongan ini dapat diisi dengan menunjuk al-Qur’ân sebagai contoh konkrit, sebab al-Qur’ân bukan ide-ide yang lahir dari akal pikiran Nabi Muhammad saw melainkan dari Tuhan Allah sendiri yang setelah turun di dunia empirik untuk kepentingan sejarah dan perdaban manusia, ide-ide itu menjelma menjadi lambang-lambang bahasa yang bisa diungkapkan dan ditulis melalui salah seorang hamba yang dipilih oleh-Nya, yakni Nabi Muhammad saw.

Kini penulis akan membahas materi pokok ayat di atas yaitu tentang penyaksian manusia kepada Tuhan. Para mufassir mencoba memperkirakan alam di mana terjadi penyaksian ini. Al-Suyuthi, Ibn Katsir dan beberapa mufassir lain menjelaskan bahwa kesaksian manusia ini terjadi di alam fitrah sebelum proses penciptaan jasad manusia dan sebelum roh dimasukkan ke dalam jasad Allah meminta kesaksian kepadanya. 

Di alam ini, demikian Ibn Katsir, manusia telah bersaksi adanya Tuhan yang Esa. Manusia diciptakan Allah dalam fitrah ketauhidan, demikian al-Qasimi menjelaskan, di mana manusia di alam itu telah memberikan kesaksian tanpa ragu-ragu akan adanya Tuhan. Al-Qurtubi dan beberapa ulama, demikian kata al-Thabathabai, mengajukan konsep “yaum al-dzar” (suatu saat inti yang bersifat spiritual) untuk menunjuk saat di mana inti fitrah manusia mengadakan kesaksian ini.

Menurut bahasa, kata “al-dzar” bisa berarti inti dari substansi, dan bisa berati seberkas sinar, misalnya, ketika kita membuka jendela, maka masuklah seberkas sinar lewat jendela itu. 

Akan tetapi harus di akui atau terpaksa harus diakui bahwa amat mungkin ada pihak-pihak tertentu yang sering merasa tidak puas terhadap penjelasan agama. Lebih-lebih jika menyangkut pada istilah-istilah yang misteri. Misalnya, konsep “al-dzar” di atas dengan dalih penjelasan agama sering tidak bersifat hipotetik, melainkan dogmatik, doktrinal, selalu terkait dengan keyakinan, tidak netral dan tingkat kevalidannya tidak pernah atau tidak mungkin dibuktikan karena derajat metafisiknya yang bersifat luar empirik.

Model penjelasan agama seperti di atas berbeda dari penjelasan ilmiah yang berwatak hipotetik, reproduktif, terbukti dan disepakati, utamanya, untuk ilmu-ilmu kealaman. Untuk menjelaskan dzat (makhluk hidup) dan dzat mati, kaum ilmuwan fisika mengajukan teori atom atau bulatan ether, suatu entitas fisik yang sangat lembut dan tidak kasat mata. Butir-butir ether yang positif-pasif memadat menjadi proton, sedangkan yang negatif-aktif dan selalu berputar menjadi elektron. 

Atom, konon katanya menurut teori ini, ternyata terdiri dari elektron yang berputar dengan kecepatan yang luar biasa antara sepuluh ribu sampai seratus ribu kilo meter per satu detik dan yang lainnya disebut dengan inti atom yang terdiri dari proton danneutron yang dikelilingi oleh elektron. Sebenarnya elektron itu adalah cahaya yang memadat, demikian kira-kira teori itu menjelaskan, atau bisa disebut pula dengan “titik tempat energi menjadi materi”. 

Ketikaelektron di kulit K masuk ke dalam inti atom dan ditangkap, elektron itu meninggalkan lubang di kulit K itu tadi sehingga terjadi transisi elektron dari kulit L mengisi lubang di kulit K, dan transisi ini mengakibatkan terpancarnya sinar X. Sebenarnya, teori atom, ethermaupun teori energi sesungguhnya merupakan konstruksi akal-pikiran yang tidak didasarkan atas fakta melainkan didasarkan atas bukti. 

Para ilmuwan itu tidak ada yang pernah melihat dengan mata telanjang atau pun dengan bantuan alat teknologi kepada fakta bagaimana elektron itu berputar-putar mengelilingi intinya. Apa yang mereka lihat adalah bukti dan bukan fakta. Misalnya, kita dan juga para ilmuwan, tidak pernah melihat bagaimana elektron berputar-putar mengelilingi inti atom pada kabel listrik. 

Kita tidak pernah melihat fakta ini melainkan bukti bahwa manakala kita menghidupkan tombol listrik maka lampu listrik menerangi ruangan, seterika merapikan pakaian, kulkas mendinginkan makanan, dan kompor listrik memasak masakan.

Para ilmuwan juga bisa menjelaskan zat hidup dengan bantuan teori atom dengan analisis ilmiah, misalnya menjelaskan mengapa makhluk hidup mengalami mati, akan tetapi dengan bantuan teori ilmiah dan persediaan teknologi tinggi para ilmuwan tidak bisa menghidupkan kembali makhluk-makhluk hidup yang telah mati termasuk manusia yang telah mati. 

Apalagi di antara semua jenis makhluk hidup yang organik, manusia menyimpan banyak misteri dibanding jenis lainnya, misalnya hewan. Dan salah satu dari misteri kehidupan manusia itu adalah seperti apa yang disampaikan oleh ayat al-Qur’an di atas, bahwa fitrahnya manusia telah bersaksi Ada-Nya Wujud Tuhan.

Ilmu yang melengkapi dirinya dengan logika, metode, teknik-teknik dan aturan-aturan ilmah menangani obyek yang berada dalam wilayahnya; yakni obyek-obyek yang tertentu, terjangkau dan yang mungkin dipecahkan lewat penelitian ilmiahnya. 

Disiplin ilmu biologi, misalnya, terbatas pada wilayahnya, fisika atom dibatasi oleh obyeknya, geografi dibatasi oleh wilayahnya, hukum dibatasi dalam wilayahnya, psikologi, sosiologi, antropologi memiliki batasan-batasan wilayah dan masing-masing disiplin memiliki metode yang khas sesuai dengan obyek yang menjadi garapannya. 

Metode untuk penelitian fisika atom tidak bisa diaplikasikan untuk penelitian sejarah atau sosiologi. Demikianlah paradigma ilmiah mengajarkan sambil memberikan pengakuan secara jujur bahwa ilmu bukan satu-satunya unsur dari peradaban umat manusia, dan dengan pengakuan semacam ini ilmu harus memberikan tempat dan peran bagi unsur lainnya, misalnya agama, untuk ikut serta berperan aktif dalam proses peradaban.

Dalam wacana tasawuf, alam di mana terjadi kesaksian adalah alam ketuhanan di saat mana yang ada hanya hakekat Tuhan dan hakekat manusia yang masih bersifat nur cahaya putih sebagai dasar kemanusiaan yang masih murni. Tidak ada alam lain selain Tuhan dan manusia. 

Tidak ada alam jagad raya dengan berbagai kekayaannya yang ikut terlibat dalam kesaksian ini; dan kemanusiaan manusia pun masih murni belum tercampur dengan sejumlah nafsu, ambisi, cita-cita, kepentingan, keinginan, keserakahan yang menghalangi penyaksian ini. Dan ketika jasad manusia diproses dan dimasukkan roh ke dalamnya. 

Kemudian terlahir di dunia empirik ini, nur cahaya inipun menyertai manusia yang kini terdiri dari jasad-lahir dan batin yang dalam wacana tasawuf dikenal dengan sebutan hati nurani. Inilah fitrah bawaan yang ada pada diri manusia, yakni fitrah untuk hidup beragama, hidup bertuhan, fitrah yang mendorong manusia mencari Tuhan dan menyembahnya. 

Akan tetapi di dunia nyata ini manusia tidak lagi hanya berhadapan dengan Tuhannya melainkan dengan sekian jenis kekayaan alam yang menjadikan manusia tergairah untuk menaklukkan dan mengeksploitasinya secara massif dan berlebih-lebihan. Manusia pun tidak lagi hanya memiliki fitrah kamanusiaannya yang murni melainkan juga dilengkapi dengan nafsu, ambisi, kepentingan, kemampuan, akal dan lain-lain.

Dihadapkan pada dunia eksternal berupa kekayaan alam yang berlimpah-limpah ini dan nafsu yang yang selalu menggoda, manusia mudah terkena watak serakah dan tamak mengejar kepentingan dan ambisi duniawiahnya sekaligus membuatnya terlena dalam buaian hawa nafsunya.

Akan tetapi potensi positif manusia yang berupa fitrah murni kemanusiaannya terus ikut menyertainya dalam kehidupan di dunia ini. Dan kenyataan ini bisa dilihat dalam rentang perjalanan sejarah yang panjang dan dalam perkembangan peradabannya yang mengatakan bahwa manusia tidak pernah berhenti membahas atau mencari Tuhan sebagaimana dikerjakan oleh beberapa filosof. Atau membuat konsep dan penjelasan-penjelasan tentang Tuhan sebagaimana dikerjakan oleh para pemimpin agama, atau meyakini bahwa ada kekuatan ghaib di balik alam ini sebagaimana pada kebudayaan kuno.

Di samping faktor intern-fitrah, faktor-faktor eksternal turut mendorong manusia mencari kekuatan ghaib itu. Dalam hidup di atas bumi ini, manusia berhadapan dengan lingkungan alami yang seringkali tidak ramah terhadap nasib mereka seperti banjir, gempa bumi, halilintar, wabah penyakit, serangan hama, gunung meletus, dan lain-lain gangguan alam yang setiap saat dan dengan tiba-tiba menghancurkan harapan mereka. 

Pada sisi internal, manusia memiliki sejumlah rencana, cita-cita, ambisi, kepentingan, nafsu-keinginan dan bahkan sifat-sifat tamak, serakah, zhalim dan sejumlah sifat-sifat lainnya yang bisa berdampak merugikan orang lain atau pihak-pihak lain.

Berkembangnya faktor internal-fitrah itu didasarkan atas fakta potensial, atau natural faculties (kemampuan alami), meminjam istilah John Locke yang menolak teori innate idea Platonis, yang dimiliki manusia. Kemampuan alami yang dimiliki manusia itu adalah panca indera dan akal rasio. 

Kemampuan inilah yang dipakai dan dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi cita-cita, ambisi, kepentingan dan kebutuhan sehari-hari, namun ia juga bisa diasah dan dipertajam melalui pendidikan keahlian dan keterampilan untuk melakukan observasi ilmiah, merumuskan hipotesis, mengujinya lewat eksperimen guna melahirkan atau membuktikan kebenaran teori, atau untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain yang terpendam di balik alam. 

Hasilnya adalah peradaban modern sebagaimana kita saksikan ini lengkap dengan segala produk dan temuan teknologi di semua sektor kehidupan mulai dari bumbu masak sampai ruang angkasa.

Keadaan inilah yang dikonsepsikan oleh Auguste Comte sebagai tahap positive atau tahap ilmiah di mana simpulan empirik dan kalkulasi rasio memainkan peranan penting sekaligus menyingkirkan cara berfikir tahap teologis dan tahap metafisik dari percaturan peradaban karena tidak diperlukan lagi. 

Boleh jadi Comte tidak pernah memperhitungkan konsekwensi-konsekwensi praktis yang tidak jarang menyimpang dari perhitungan dan rancangan manusia. Peluncuran pesawat ruang angkasa yang sudah dirancang dengan teknologi tinggi tiba-tiba meledak dan hancur berkeping-keping. Tiba-tiba terjadi kebocoran di pabrik nuklir atau bahkan meledak dan meluluh lantakkan bangunan dan memakan korban jiwa. 

Tiba-tiba terjadi angin puting beliung yang melumatkan bangunan yang super canggih dan tidak mampu dikendalikan oleh teknologi manusia. Tiba-tiba terjadi gempa bumi atau gunung meletus dengan kekuatan yang dahsyat memakan habis bangunan dan menelan manusia. Atau bahkan tangan-tangan manusia itu sendiri yang membuat kerusakan secara langsung. Tiba-tiba terjadi konflik senjata, terjadi peperangan, terjadi pemusnahan manusia oleh manusia, terjadi amuk masa, terjadi pembunuhan secara massal atas nama doktrin kiamat dalam suatu sekte tertentu dan masih banyak kasus-kasus lain yang tak mungkin diturunkan di sini semuanya. 

Memang harus diakui bahwa manusia dengan kemampuan akal, teori dan teknologi yang dikuasainya bisa membuat rancangan ke depan, akan tetapi tetap saja berlaku premis dasar yang menyatakan bahwa masa depan adalah ibarat sebuah gudang yang menyimpan seribu ketidak pastian. Dalam kemasan agama, ungkapan bijak itu menyatakan, manusia berusaha namun Tuhanlah yang menentukan. Artinya di luar kemampuan yang dimiliki manusia ada supra kekuatan yang lebih. Supra kekuatan ini dikemas manusia dalam beragam konsep semisal kekuatan ghaib, dewa, Tuhan, Supreme Being, Dzat yang Absolut, Infinite dan seterusnya.

Bangsa Mesir kuno punya keyakinan terhadap dewa Osis, Osiris, dewa Ra dan mereka melakukan ritual-ritual pemujaan terhadap para dewa. Bangsa Akadia dengan kota Babilonianya yang terkenal memuja kebesaran dewa Marduk yang diyakini sebagai pemimpin para dewa. Bangsa Minoa yang tinggal di kepulauan Aegea dengan pusat pemerintahannya di pulau Kreta meyakini dewa Cronos sebagai kepala para dewa, dan setelah mereka dikalahkan oleh sekelompok orang yang ditengarai berbahasa Yunani, maka mitos dewa Cronospun dilenyapkan dan diganti oleh dewa Zeus sebagai pemimpin para dewa. 

Menurut mitos yang dibuat oleh bangsa Yunani kuno, dewaCronos ini dikalahkan oleh dewa Zeus dalam peperangan, lalu dewaCronos pun dibuang ke dalam neraka tua. Bangsa Romawi memuja kebesaran dewa Jupiter, Mars, dan Neptuno. Di samping ini, kita juga mengenal agama-agama lain yang ada di dunia ini yang sampai sekarang tetap eksis ditengarai dengan memiliki pengikut yang jumlahnya tidak sedikit, seperti agama Hindu, Budha, Konghucu, Sinto dengan mangajukan konsep ketuhanan mereka masing-masing. 

Agama Hindu Bali mempercayai Tuhan yang Esa dengan sebutan Sang Hyang Widi Wasya, hanya ada satu Tuhan dan tidak ada duanya. Pemeluk agama Budha percaya bahwa sang Budha meyakini ada kekuatan ghaib yang maha dahsyat yang menguasai alam semesta ini. Keyakinan Konghucu mengajarkan bahwa Tuhan yang Esa adalah Thian yang memiliki empat sebutan yaitu; Tuhan yang Maha besar (Thian), Yang Maha besar yang mengatur dunia (Tee atau Siang Tee), Yang Esa sebagai Penguasa (Thai Let), dan Tuhan sebagai penguasa spirit yen (Kwi Sten).

Uraian ringkas di atas baik dalam bahasa filsafat atau dengan konsep agama membuktikan bahwa secara fitrah manusia memiliki kecenderungan batin yang kuat untuk beragama dan kecenderungan ini tidak akan musnah meskipun manusia telah mencapai peradaban modern serba teknologi dan bahkan mendapat dukungan dari doktrin filsafat Post Positivisme. 

Inilah fitrah manusia dan demikianlah perjalanan manusia dalam meyakini, mencari, atau menjelaskan adanya kekuatan ghaib di balik alam semesta ini dengan konsep dan pendekatan masing-masing. Di atas kenyataan inilah, al-Qur’ânmewartakan kepada umat manusia, pertama, mengenai fitrah dasar manusia itu telah memberikan kesaksian adanya Tuhan, kedua, ia juga mewartakan bahwa ada utusan dari Tuhan yang memberi petunjuk mengenai hakekat wujud ghaib yang berada di balik alam semesta ini. 

Kata Edward Mortimer dengan pendekatan spekulatif historik, ada campur tangan Tuhan terhadap sejarah manusia dalam bentuk pengutusan para Nabi dan Rasul kepada manusia. Dan yang terjadi setelah itu adalah apakah manusia menerima atau membangkang. Al-Qur’ân sebagai wahyu Tuhan yang pada zaman mula jadi telah disaksikan keberadaanNya oleh manusia menginformasikan tentang “Dia” (huwa) yang ghaib itu. Ini disebutkan dalam ayat pertama surat al-Ikhlas, “Qul huwa Allâh ahad”. Katakanlah (wahai Muhammad, seorang utusan-Nya yang dipilih untuk menyampaikan petunjuk kepada sesama manusia) bahwa “Dia” (huwa) adalah Allah yang Esa. 

 Ayat ini, menurut pandangan Prof. Mukti Ali, lebih bermaksud memproklamirkan nama Dzat Ghaib di balik alam ini, yakni Allah, dan bukan untuk memproklamirkan faham monoteisme, sebab selain agama samawi (Islam) terdapat konsep monoteisme. Karena itu, surat ini dinamai dengan al-Ikhlas, dan tidak dinamai dengan surat al-Tawhid. Seolah surat ini menghimbau agar manusia ikhlas menerima berita dari al-Qur’ân mengenai siapa sesungguhnya Dia, Dzat Ghaib yang berada di balik alam semesta ini.

Penulis akan sedikit menyinggung istilah Nabi dan Rasul. Kata “Nabi” berasal dari kata “naba’ ” atau “nabu’ ” (tanda ’ di akhir kata naba’atau nabu’ ini sebagai pengganti huruf “hamzah”). Naba’ artinya berita, sedangkan nabu’ berarti tempat yang tinggi. 

Dua makna dasar ini memberikan pengertian bahwa Nabi adalah seseorang yang menerima berita dari tempat yang tinggi,dan memiliki hujjah yang tinggi sehingga mampu mengatasi hujjah-hujjah lain yang dihadapkan kepadanya. Nabi berkonotasi pada hubungan seseorang dengan Tuhan secara langsung tanpa perantara manusia lainnya, atau melalui para malaikat-Nya. 

Sedangkan kata Rasul berarti orang yang diutus (mursal) membawa risalah atau misi yang diberikan oleh Tuhan kepadanya untuk disampaikan kepada sesama manusia. Jadi, konotasi makna kata “Rasul” adalah nisbah hubungan antar sesama manusia karena risalah yang dibawanya diarahkan dan ditujukan kepada sesama manusia.(DR. A. Khosan Affandi/buku:"Satrio Piningit"/bersambung)

Jumat, 15 November 2019

Mujahadah An Nafs

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabut : 69)

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khurdry (Said bin Malik bin Sanan Al Nashari Al Kahzrajy 10 sH – 74H/613-693 M, seorang sahabat Rasulullah SAW, ikut berperang 12 kali dan meriwayatkan 1170 hadits, meninggal di Madinah). Bahwa ketika Rasulullah ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab : “Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang penguasa yang dzalim” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Ibrahin bin Adham mengatakan : “Seseorang baru akan mencapai derajat keshalehan, sesudah melakukan enam hal : (1) menutup pintu bersenang-senang dan membuka pintu penderitaan (2) menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati (3) menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan (4) menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga (5) menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan (6) menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian”.

Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalangi dalam mencapai kebaikan, yaitu keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka kamu harus mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk berselaras dengan kehendak Allah, maka kamu harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsumu. 

Manakala jiwa bangkit memberontak, maka kamu harus mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah dipadamkan oleh akhlak mulia.

Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan-tindakan, tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga adalah lebih mudah daripada membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya.

Satu dari sekian sifat jiwa yang paling merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya.

Dikabarkan bahwa Abu Muhammad Al Murta’isy berkata : “Aku berangkat haji berkali-kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku telah terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. 

Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikkan seguci air untuknya. Jiwaku merasakan ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah SWT dalam hajiku selama ini, tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai suatu yang memberatkan dalam hukum syariat”.

Dzun Nuun Al Mishry berkata : “Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya, penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunyikan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri”.

Abu Ali Ar Rudzbary berkata : “bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal : kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak. Ketika ditanya “apakah kelemahan watak itu? Dia menjawab : mengkonsumsi hal-hal yang haram. 

Lalu ditanya apakah keterpakuan pada kebiasaan itu? Dia menjawab : memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam fitnah. Kemudian ditanya apakah mempertahankan teman yang merusak itu? Dia menjawab : itu terjadi ketika kamu menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri kamu mengikutinya”.

Abul Husain Al Warraq berkata : “ ketika kami mulai menempuh jalan-Nya lewat tasawuf di Masjid Abu Utsman Al Hiry, praktek terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami memprioritaskan kemudahan bagi orang lain, kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan, kami tidak pernah menuntut balas pada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaafkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya, dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap”.

Abu Utsman berkata : “selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, ia tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terus-menerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu”.

Dzun Nuun Al Mishry mengatakan : “kerusakan merasuki diri manusia karena enam hal : (1) mereka memiliki niat yang lemah dalam melaksanakan amal untuk akhirat (2) tubuh mereka diperbudak oleh nafsu (3) mereka tidak henti-hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal (4) mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta (5) mereka memperturutkan hawa nafsunya dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada sunnah Nabi SAW (6) mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya”.
(baitulakhlaq.blogspot.com)

Sabtu, 09 November 2019

Tentang Syahadah dari Alam Ide ke Realitas Empirik (Bag-3/habis)

3. Pembawa tugas syahadah: Nabi dan Rasul

Kita semua mafhum bahwa membaca syahadah dengan lafal “Asyhadu an lâ ilâha illa-Allâh, wa asyhadu anna Muhammadan rasul Allâh” menjadi rukun pertama agama Islam. 

Ini artinya ada kemungkinan terjadi syahadah (penyaksian) manusia kepada Dzat Tuhan Allah di alam dunia ini sebagaimana telah terjadi penyaksian manusia kepada Dzat Tuhan di alam dzar. Sebab, kata “syahidna” dalam ayat al-Qur’ân di atas dengan kata “asyhadu” dalam lafal syahadah sebagai rukun Islam berasal dari akar kata yang sama, “syuhud” yang punya arti “menyaksikan” atau “bersaksi”. 

Di dalam logika al-Ghazali yang ditulis dalam kitab Ihya Ulumuddin juz 3 dinyatakan, iman (percaya) yang didasarkan atas penyaksian sendiri lebih mantap dibanding dengan iman yang hanya didasarkan atas berita-berita dari orang lain.

Lebih lanjut al-Ghazali membagi jenis iman lengkap dengan penjelasannya menjadi tiga, pertama, imannya orang-orang awam yang hanya didasarkan atas berita-berita dari orang lain. Kedua, imannya kaum mutakallimin yang melengkapi imannya dengan beragam dalil, dan ketiga imannya kaum ‘arifin bil-lâh’ yang didasarkan atas syahadah dengan penuh keyakinan. Melalui logika analogis ia memperlengkapi penjelasan tentang tingkat-tingkat keyakinan dengan mengajukan satu contoh konkrit tentang keyakinan bahwa “Zaid ada di dalam rumah”.

Pertama, kamu mendapat informasi dari pembantunya yang selama ini dikenal jujur dan tidak berbohong. Ia mengatakan kepadamu bahwa tuan Zaid ada di dalam rumah. Mendengar berita dari pembantu tersebut kamu meyakininya meskipun kamu tidak mendengar sendiri suara tuan Zaid. 

Inilah perumpamaan imannya orang-orang awam yang hanya didasarkan pada berita yang mereka peroleh dari bapa ibu mereka bahwa Allah itu wujud, punya sifat-sifat dan af’al. Dan mereka tidak meragukan pemberitaan dari ibu bapa mereka. Iman semacam ini bisa membawa mereka memperoleh kebahagiaan di akhirat akan tetapi mereka tidak masuk golongan orang-orang yang muqarrabîn (mungkin yang dimaksud oleh al-Ghazali adalah orang-orang yang dekat kepada Tuhan) karena cahaya keyakinan tidak menembus ke dalam hati mereka. Dan kemungkinan jatuh ke dalam kesalahan sangat terbuka bagi mereka.

Tingkat kedua, kamu mendengar sendiri ucapan tuan Zaid akan tetapi posisimu berada di balik tembok rumahnya (kamu tidak menyaksikan tuan Zaid dengan mata kepalamu). Dari mendengar ucapan tuan Zaid inilah kamu berdalil bahwa ada tuan Zaid di dalam rumah. Dan iman dalam tingkatan ini lebih kuat dibanding iman yang hanya didasarkan atas pemberitaan orang lain.

Tingkat ketiga, kamu masuk sendir ke dalam rumah tuan Zaid dan kamu melihat dan menyaksikan tuan Zaid dengan mata kepalamu. Inilah hakekat ma’rifat dan musyahadah yang sangat meyakinkan setaraf dengan ma’rifatnya orang-orang muqarrabin dan parashiddiqin di mana mereka beriman atas dasar penyaksian. (syahadah). Inilah tingkat kualitas iman yang lebih kuat dibanding kedua tingkat di atas.

Hamka membuat ilustrasi iman orang-orang awam yang oleh al-Ghazali dikatakan sebagai mudah jatuh kepada kesalahan. Dalam ilustrasinya, Hamka menampilkan contoh orang awam dari desa yang oleh suatu dorongan tertentu pindah ke perkotaan. 

Orang ini sewaktu tinggal di desanya dikenal sebagai orang yang rajin menjalankan ubudiah agama. Dan kini setelah di kota, ia harus menghadapi sejumlah tantangan seperti kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak mudah, kerasnya persaingan hidup, benturan emosi, benturan kepentingan, keinginan, nafsu, kemewahan kota, akan menjadi hadangan yang boleh jadi membelokkan iman awam mengikuti kecenderungan hidup memburu kebutuhan dan kepentingan duniawiah. 

Gejala awalnya bisa jadi ketika datang waktu shalat zhuhur ia tidak segera mengerjakan shalat sebagaimana masih tinggal di desa. Dari gejala sederhana ini berlanjut sampai dengan berani meninggalkan shalat karena tuntutan pekerjaan dan kebutuhan yang jika tidak ia kejar, kesempatan itu akan hilang dan sulit ditemukan kembali kesempatan semacam itu. Boleh jadi karena pergaulan, ia mulai berani minum minuman keras atau mengkonsumsi obat-obat terlarang dengan alasan solidaritas kawan atau desakan kawan padahal selama tidak pernah ia lakukan di desa.

Tingkat kedua, adalah iman kaum mutakallimin, atau ulama yang menggeluti ilmu kalam, yang menurutunya, tingkat ini lebih dekat kepada tingkat iman orang-orang awam. Sebagai salah seorang tokoh dalam ilmu kalam aliran Asy’ariah, tentu otokritik terhadap disiplin yang digelutinya selama ini patut memperoleh perhatian sejenak. 

Di dalam karyanya yang lain, “al-Munqidz min al-Dhalâl”, beliau juga menyampaikan kritik atas disiplin ini. Katanya, ilmu kalam memang bisa memenuhi tujuannya sendiri, akan tetapi ia tidak bisa memenuhi tujuan saya. Adapun tujuan ilmu kalam adalah menjaga akidah ahlus-sunnah dari tercampur dengan faham bid’ah yang menyesatkan. 

Sebagai salah seorang pengikut aliran Asy’ariahbahkan beliau dipandang sebagai tokoh pembela aliran ini yang paling berpengaruh, beliau mengakui ada sebagian kelompok yang tenggelam dan jatuh ke dalam pusaran perselisihan, mengabaikan argumentasi pihak lain. Dan keadaan ini oleh beliau dianggap sebagai tidak memberi manfaat bagi orang yang tidak mau menerima selain bukti yang memberi kepastian (dharuri). 

Dan bukti semacam itu tidak diperoleh melalui dalil-dalil akli maupun nakli dalam masalah iman dan karena itulah beliau masuk ke dalam kamar tasawuf guna memperoleh iman yang didasarkan atas penyaksian dan, menurutnya, iman semacam ini merupakan tingkat iman yang paling kuat dibanding dua yang pertama. 

Menurut Muhammad Iqbal, salah seorang pemikir modern, disiplin ilmu kalam sebagaimana diperlihatkan oleh Mu’tazilah hanyalah bermain-main dalam logika padahal kehidupan beragama tidak hanya terbatas pada bermain-main rasio untuk kepentingan pemahaman dan kognisi melainkan menuntut adanya totalitas manusia dalam beribadah.

Kita kembali kepada pembahasan mengenai penyaksian. Penyaksian (syahadah) adalah gambaran situasi di mana terjadi hubungan langsung antara manusia sebagai subyek yang menyaksikan dengan obyek yang disaksikan. Melalui penyaksian ini terjadilah pengalaman langsung yang membuat keyakinan orang tersebut mencapai tingkathaqqul-yaqin karena didasarkan atas penyaksian sendiri, dan tidak hanya didasarkan atas ucapan-ucapan atau informasi orang lain. 

Inilah tingkat iman orang-orang muqarrabin dan shiddiqîn, dan dalam kelompok ini, tentu para Nabi dan Rasul menjadi penghuni pertama dan utama sebab para Nabi adalah orang yang secara langsung menerima wahyu dari Tuhan dan di antara mereka diutus menjadi Rasul untuk menyampaikan risalah-Nya kepada sesama manusia.

Demikianlah al-Ghazali membicarakan kekhasan ilmu yang ada pada Nabi, yakni ilmu yang berada di luar jangkauan panca indera akal. Beliau menyebut dengan ilmu hakekat, ilmu yang masuk ke dalam rasa (dzauq) yang dengannya seseorang bisa merasakan lezatnya merasakan ma’rifat billâh. 

Rasa itu-semacam penyaksian, (dalam teks al-Ghazali, al-dzauq kal-musyâhadâh), atau dalam rumusan Syuhrawardi al-Maqtul dinyatakan secara eksplisit, “man lam yadzuq lam ya’rif”, artinya, “barangsiapa yang tidak merasa maka ia tidak mengenal atau tidak tahu”. Ini berarti di dalam rasa itu ada pengenalan dan pengetahuan. Kalau kita minum teh dan menyatakan “teh ini manis”, sebenarnya yang menyatakan ini adalah rasa. Kita tahu teh ini manis melalui rasa. 

Demikian pula jika kita makan garam lalu menyatakan “asin” maka rasalah sebenarnya yang menyatakannya setelah rasa ini mengadakan kontak langsung dengan garam, lalu mengerti serta mengenal rasa garam, lalu membuat putusan bahwa garam itu asin. Inilah yang dikehendaki oleh al-Ghazali sebagai pembuktian yang dharuri, pembuktian secara langsung melalui rasa. 

Sebuah pembuktian yang mencapai tingkathaqqul-yaqîn, pembuktian yang hakiki melebihi pembuktian yang didasarkan atas penglihatan, atau pengamatan (observasi), atau pembuktian yang didasarkan atas konstruk akal, atau argumen-argumen rasio. 

Contoh, ilmuwan fisika-kimia punya konstruk teori yang kita kenal dengan “atom”. Konstruk teori ini merupakan simpulan setelah melalui kajian yang mendalam dan melibatkan banyak ilmuwan dalam disiplin atom, lalu disepakati bahwa atom itu terdiri dari elektron (unsur negatif) dan neutron serta proton (inti atom). Elektron-elektron itu diyakini bergerak mengelilingi inti dengan kecepatan tinggi. Fakta atau kenyataan mengenai bagaimana elektron-elektron itu bergerak cepat memang tidak dapat dilihat mata ataupun dengan bantuan alat teknologi, namun ada bukti yang menguatkan konstruk teori ini, misal, ketika kita menekan tombol listrik, lampu-lampu menyala, seterika berfungsi dan lain-lain. 

Mata kita tidak melihat bagaimana elektron-elektron itu bergerak pada kabel listrik mengelilingi inti atom, namun rasio kita mengabsahkan kebenaran adanya atom. Pembuktian jenis ini kita kelompokkan sebagai bukti yang berada dalam tingkat ‘ainul-yaqin dan ‘ilmul-yaqîn(mata kita melihat bukti dan rasio kita mendeskripsikan). 

Namun jika kita ingin memperoleh pembuktian yang lebih kuat lagi, pembuktian yang mencapai haqqul-yaqîn, coba kita pegang saja kabel listrik itu dan kita akan merasakan sengatan listrik itu.

Penulis ingin menyederhanakan contoh dengan “batu”. Ketika mata kita melihat sebongkah batu akal kita mengatakan dan percaya bahwa batu itu keras dan lebih keras dari kepala kita. Dan buktinya, ketika kita tiba-tiba melihat seseorang yang kepalanya tertimpa batu, ternyata kepala orang tersebut menjadi benjol-benjol. 

Di sini kita memperoleh pembuktian tingkat ‘ainul-yaqîn dan ‘ilmul-yaqîn, dan jika kita masih menginginkan pembuktian yang lebih kuat lagi dari dua pembuktian di atas, yakni pembuktian yang mencapai haqqul-yaqîn, pembuktian rasa, kita sendiri mencoba membenturkan kepala kita terhadap batu dan kita akan merasakan secara langsung betapa kerasnya batu itu.

Dari berita-berita yang disampaikan orang lain kepada anda atau mungkin dari penglihatan anda sendiri lewat teve atau dari jarak jauh, anda melihat betapa indahnya dan bahagianya orang-orang yang dekat dengan Raja, hadir di depan raja, dan berkenalan dengan sang Raja, sedangkan anda sendiri tidak memiliki pengalaman ini sehingga anda tidak bisa merasakan betapa indah dan bahagianya dekat dengan Raja.

Dari penglihatan mata dan dari deskripsi rasio anda, anda percaya bahwa mereka yang bisa mendekat dan hadir di hadapan sang Raja merasa bahagia, sebab tidak semua orang bisa memperoleh kesempatan semacam itu; dekat, hadir, berkenalan dan berhadapan dengan orang besar, yakni sang Raja. Dan secara psikologis, seseorang akan bangga jika ia bisa berkenalan dengan orang-orang besar yang baik budi, ramah tamah dan memiliki kekuasaan yang besar. 

Bahkan di dalam keseharian kita, tidak jarang kita sendiri atau kenalan-kenalan kita membanggakan diri karena pernah berkenalan dengan orang-orang besar yang baik budi dan memiliki kekuasaan yang luas, apakah orang-orang besar itu para elite politik, ekonomi, ilmuwan dstnya, meskipun sangat mungkin berbohong. 

Misalkan, anda seorang rakyat kecil yang tinggal di kota Surabaya, dan pada suatu saat anda berkesempatan diterima Walikota Surabaya (saat ini Soenarto Soemoprawiro), anda diberi kesempatan berkenalan dengannya, menyaksikan sendiri keberadaan Walikota ini, diajak makin mendekat dan semakin dekat, sebagai rakyat kecil anda akan merasa bangga dan bahagia yang meliputi seluruh psikis anda dan anda akan mengingat-ingat terus peristiwa berkenalan dengan penguasa Surabaya ini (dalam bahasa Arab, mengingat-ingat disebut dengan dzikr. Dalam wacana tasawuf, orang yang mengenal Dzat Allah karena diperkenalkan oleh orang yang ahlinya dalam hal ini, lalu ia diminta agar di dalam rasa hatinya selalu mengingat-ingatNya dinamakan al-dzikr). 

Di dalam pengenalan atau penyaksian jenis ini yang terjadi adalah adanya hubungan langsung anda dengan penguasa Surabaya dan situasi ini memunculkan rasa bahagia melebihi pengalaman-pengalaman lainnya yang pernah anda miliki. Kini, anda tidak hanya sekedar melihat orang lain dekat dengan sang penguasa, melainkan anda sendiri memiliki pengalaman langsung dan karena itu anda kini merasakan sendiri betapa indah dan bahagianya dekat, hadir di hadapan penguasa dan berkenalan dengannya. 

Alangkah indahnya jika sang Raja itu adalah Rajanya Raja, atau Maha Raja, dan Dialah Allah yang menyebut dirinya adalah “Mâlikal-mulk”.

Inilah pembuktian tingkat rasa. Pembuktian diri secara langsung, dimana rasa yang terdapat di dalam hati anda merasakan langsung kehadiran Dzat Tuhan, dan melalui kehadiran ini anda mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Allah di sini bukan Allah sebagai nama yang dideskripsikan oleh dalil nakli atau oleh dalil akli akan tetapi Allah sebagai Dzat yang keberadaan Dirinya yang Ghaib itu sebenarnya bisa dikenal oleh hamba-Nya lalu diingat-ingat terus menerus oleh rasa hatinya (sirr atau dzauq, dalam konsepsi tasawuf). 

Karena inilah muncul konsep dzikr khafi atau dzikr sirri; khafi berarti tersembunyi sehingga orang lainpun tidak mengetahui bahwa dia sebenarnya sedang berdzikir karena dzikir itu bertempat di dalam rasa hati (sirr) sehingga orang lain yang duduk dekat dengannyapun tidak mendengar dan tidak mengetahui bahwa dia sebenarnya sedang berdzikir dan dzikir yang mencapai tingkat rasa ini tidak menggangu profesi atau pekerjaan. 

Misalnya, anda punya dzikir jenis ini karena melalui seorang Guru yang ahlinya, anda bisa mengamalkan dzikir ini sekaligus anda sambil menyelesaikan pekerjaan anda sebagai guru yang tengah mengajar, atau sebagai mahasiswa yang sedang mengerjakan ujian, atau sebagai staf yang sedang kerja lembur menyelesaikan laporan di depan komputer dan jenis-jenis pekerjaan lain selama diperbolehan oleh syari’at Islam. 

Orang-orang Jawa menggunakan kata “piningit” karena dzikir ini memang benar-benar berada di tempat yang paling piningit, tersembunyi, dan ilmu jenis ini diperkenalkan oleh Ilmu (tasawuf) Syaththariah; dan mungkin karena perbedaan dialek pengucapan, lidah orang-orang Jawa mengubahnya menjadi satrio. Lalu terkenallah di kalangan orang-orang Jawa sebutan “satrio-piningit”. 

Contoh lain yang lazim kita temukan seperti ungkapan “ramah tamah” berasal dari “rahmatun tammatun” (rahmah tammah), nama seseorang “Jokaryo” sebenarnya berasal dari “Zakaria”, ungkapan dalam tembang Jawa:

“Sluku-sluku batok batoke ela-elo siromo menyang Solo, oleh-olehe payung mutha, pak jenthit lololoba, wong mati ora obah, yen obah medeni bocah”,

dari kata bijak berbahasa Arab:

“Suluku-suluku bathinuka, batinuka lâ ilâha illa Allâh, siru ma tasiru fatashilû ilaihi fatamut, fa innalmawta laqiya robbaka, fa innaljannata laqiya rabbaka,”

(dalam ungkapan Arab dibaca “robbak”). Demikianlah rasa yang memiliki pengetahuan karena di dalam dirinya bisa merasa, merasa berarti mengetahui dan mengenal. Dan rasa bahagia yang paling tinggi nilainya bagi manusia adalah ma’rifat billâh, (tegasnya,ma’rifat bi Dzatillâh) demikian al-Ghazali dalam Kimia al-Sa’adah.

Syahadah atau menyaksikan Dzat Allah yang pada alam mula jadi dahulu (alam dzar) pernah terjadi pada diri hakiki manusia, kini, di dunia empirik ini, melalui Nabi dan Rasul-Nya, amat mungkin untuk direalisasikan. Masalah yang muncul mungkin demikian. Nabi terakhir, yakni Nabi Muhammad saw dan sekaligus sebagai Rasul-Nya, keberadaannya di dunia ini dibatasi oleh usia. 

Beliau, disamping membawa ilmu syari’at, juga membawa ilmu hakekat yang isinya memperkenalkan hakekat manusia dengan hakekat Allah, telah wafat mendahului kita umat Islam yang hidup di abad 21 ini. Lalu, apakah umat setelah sepeninggal beliau dibiarkan mencari-cari sendiri atau membuat rekayasa sendiri dalam masalah ilmu hakekat ini? Ataukah beliau memberikan tugas ilmu hakekat ini kepada penerus yang ditunjuk oleh beliau guna membimbing umat sepeninggalnya secara berkesinambungan sampai hari kiamat?

Sebagaimana diriwayatkan, bahwa sebelum wafat, Nabi Muhammad saw pernah menyampaikan khutbah di Ghadir Khum. Mukaddimah dari isi khutbah ini banyak ditulis oleh para mufassir termasuk Muhammad Abduh. Dalam mukaddimah khutbah ini Nabi Muhammad saw bersabda, “alastu bi awla minal-mukminîna min anfusihim? qâlu, balâ”. 

Artinya, “bukankah  aku (Nabi Muhammad saw) lebih utama daripada para mukminin terhadap diri mereka sendiri?”; dan mereka menjawab, “benar”. Sabda ini diulang sampai tiga kali. Bahwa Nabi lebih utama dibanding dari kaum mukminin atas diri mereka sendiri, memberi pengertian bahwa apa yang diputuskan atau dipilih oleh Nabi harus lebih diutamakan dibanding dari pilihan atau putusan kaum mukminin meskipun mereka bersepakat bersama memutuskan sesuatu. 

Dan para sahabat yang hadir mendengarkan khutbah itu meresponsnya dengan positif. Bahwa para sahabat yang hadir pada saat itu mengakui bahwa Nabi lebih utama daripada diri mereka sendiri, bahwa apa-apa yang dipilih dan diputuskan Nabi lebih utama untuk dipatuhi daripada mereka sendiri, dan mereka telah menyatakan jawabannya akan mengutamakan pilihan dan putusan Nabi mereka dan sebagai mafhum mukhalafah-nya, mereka akan mengabaikan pilihan atau putusan mereka sendiri meskipun mereka bersepakat bersama lewat musyawarah.

Setelah mendengar respons yang demikian positif, Nabi Muhammad saw meneruskan, “Man kuntu maulâhu fa hâdza ‘Alî maulâhu; allâhumma walî man walahû wa ‘adi man ‘adahu, allâhumma unshur man nasharahu wahdzul man khadzalahu”; hatta qâla ‘Umar ibnu Khattab, “bakh, bakh, anta yâ ibna ‘Abi Thâlib, asbahta maulâya wamaulâ kulli mukminîna wal mukminâtin”. 

Artinya, “Barangsiapa yang telah menjadikan aku sebagai maula-nya, maka sekarang ini ‘Ali yang akan menjadi maula-nya; Allâhumma yâ Allâh, kasihanilah orang yang mengasihani ‘Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolong ‘Ali dan hinakanlah orang yang menghinanya”. Setelah itu Umar ibn Khattab segera menyambutnya, “selamat wahai engkau putera ‘Abi Thâlib (panggilan kehormatan yang biasa dipakai oleh orang ‘Arab dengan menyebut putera dari bapaknya; ‘Ali adalah putera dari ‘Abu Thâlib); engkau menjadi maula-ku dan maula setiap orang mukmin dan mukminat.

Maula memiliki makna pembimbing, penunjuk, pemimpin, teman yang penuh kasih sayang, dan Nabi menggunakan kata “maula” ini untuk menyebut dirinya maupun untuk ‘Ali dalam kaitannya dengan umat yang akan ditinggalkan. ‘Ali ditunjuk sebagai penerus rasul, demikian al-Alusi dalam tafsirnya, tidak harus berkonotasi untuk urusan politik, melainkan, menurut pandangan kaum sufi, dia ditunjuk untuk menjadi penuntun dibidang ilmu batin, yakni ilmu hakekat, ilmu yang mempertemukan hakekat manusia dengan hakekat Tuhan Allah. 

Demikianlah ‘Ali menerima kenyataan di mana urusan politik dipegang oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman sebelum kemudian jatuh ke tangannya yang disusul pemberontakan Mu’awiyah. Akan tetapi dalam masalah ilmu hakekat maka itu menjadi tugasnya meneruskan tugas yang telah dilaksanakan oleh Nabi. Dan tugas ini pula kemudian diserahkan kepada penerusnya sebelum beliau wafat dan demikianlah penerusan tugas ini terjadi secara berkesinambungan (‘Ali kepada Hasan, kemudian kepada Husein kemudian kepada ‘Ali Zainal ‘Abidin dan seterusnya) sampai hari kiamat.

Dalam pengalaman empirik, kita juga lazim melihat terjadinya penerusan tugas kepada ahlinya. Misalnya, jika seorang guru sejarah meninggal, tentu pihak yang berwenang yang mengurusi pendidikan akan menunjuk orang lain yang ahli dalam sejarah untuk meneruskan tugas mengajar sejarah, dan tidak dibiarkan kosong tanpa guru dengan alasan sudah ada buku-buku tentang sejarah. Atau jika guru pengajar matematika meninggal, pihak yayasan pasti segera menunjuk orang yang ahli matematika untuk bertugas menggantikannya. 

Demikian pula jika seorang kepala desa tertentu meninggal dunia, maka ia akan segera digantikan oleh orang lain dan tidak dibiarkan kosong tanpa kepala desa meskipun desa itu sudah memiliki aturan-aturan kedesaan. Logika kita mengatakan, tugas tidak ikut mati ketika pribadi yang mengemban tugas wafat. Jika dalam masalah-masalah ilmu (sejarah, matematika dll) atau dalam masalah urusan sosial-politik selalu ada penerusan tugas dari pengemban tugas terdahulu kepada penerusnya. Lebih-lebih di dalam ilmu hakekat yang menjadi dasar membangun sebuah kepribadian yang normatif menurut arahan dan bimbingan maula, penerusan tugas merupakan bagian dari tuntutan ilmu hakekat itu sendiri.

Pelajaran lain tentang kehidupan yang dapat kita ambil dari Kitab Suci agama Islam, dan juga dalam agama-agama lain maupun dari beberapa faham falsafah, bahwa kehidupan manusia itu telah berlangsung semenjak sebelum alam empirik ini, dalam alam empirik ini, dan nanti setelah alam empirik ini. 

Mungkin kita bisa mengkonsepsikan dengan alam “pra empirik, masa empirik dan post empirik”, atau dengan ungkapan lain yang lebih terkenal, dari alamdzar, alam dunia dan alam akhirat. Sebuah garis kehidupan yang tidak terputus. Manusia sebelum terlahir ke dunia empirik telah mengenal Tuhannya (syahadah), demikian informasi dari al-Qur’ân. 

Kini untuk mengantarkan manusia agar dapat mengenal kembali (syahadah kepada Tuhannya) di saat hidup di alam empirik ini, Tuhan tidaklah membiarkan manusia dalam kebingungan mencari-cari Tuhannya sebagai dorongan fitrah manusia tanpa bimbingan dari-Nya, melainkan Dia mengutus salah satu dari hamba-hamba-Nya untuk tujuan mengingatkan manusia agar mengenal ulang Tuhannya sebagaimana dahulu di saat di alam dzar mereka telah mengenal-Nya.
 
Kemudian setelah menjalani kehidupan di alam empirik ini manusia yang bisa mengenal kembali Tuhannya melalui para rasul-Nya bisa bertemu lagi dengan-Nya. Situasi bisa bertemu dengan-Nya ini digambarkan sebagai puncak kebahagiaan manusia di kehidupan akhirat nanti.
(DR.A. Khosin Affandi/buku:Satrio Piningit/habis)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...