Jumat, 05 Januari 2018

Memahami ma'rifatullah

Makna Ma'rifatullah

Ma’rifatullah berasal dari kata Ma’rifat dan Allah, Ma’rifat artinya mengetahui atau mengenal, jadi Ma’rifatullah berarti juga mengenal Allah swt.

Ma’rifatullah (Mengenal Allah swt) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.

Ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang bisa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam bathinnyadengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu. Selanjutnya ma’rifat digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Ma’rifat muncul seiring dengan adanya istilah Tasawwuf, dimana dalam Tasawwuf (dalam hal ini para sufi ‘) berusaha melakukan pendekatan dan pengenalan kepada Allah untuk mencapai tingkat ma’rifatullah yang tinggi. Disaat itulah mulai dikenal istilah Ma’rifat.

Agar tidak terjadi kesalahan persepsi atas ma’rifat, ada baiknya kita mendalami kata ini secara komprehensif menurut pandangan dari sufi pertama yang berbicara tentang ma’rifat yang spesifik tentang tasawwuf yaitu Dzunnun al-Mishri, beliau berpendapat bahwa “Ma’rifat Sufistik pada hakekatnya adalah ‘irfan atau Gnost. Tujuan ma’rifat menurut beliau adalah berhubungan dengan Allah, musyahadat terhadap wajah Allah dengan kendalinya jiwa basyariyah kepada eksistensinya yang inhern, wasilahnya dan mujahadah olah spiritual. Ma’rifat datang ke hati dalam bentuk kasyf dan Ilham.

Dalam arti Sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan ini lengkap dan jelas sehingga jiwa merasa satu dengan Allah.

Definisi ma‘rifat sebagai berikut :

Ma'rifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.

Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.

Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA

Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya Billah !.

Ma’rifat menurut pemikiran Ahmad Rifa’i yaitu berfikir akan kekuasaan Allah atau suasana hati yang menggambarkan menuju kedekatan hamba dengan Tuhannya. Ma’rifat menurut makna dhahirnya adalah seseorang menunaikan kewajiban-kewajiban agama yang sesuai dengan syara’ serta keikhlasan hati dalam beribadah semata- mata karena Allah. Orang yang telah ma’rifat ketika dipuji oleh orang mukmin karena kebaikannya, maka bertambah imannya dan bersyukur kepada Allah, dan tatkala dihina dan dinista, tidak menjadi runtuh semangat dan ibadahnya kepada Allah, karena ia benar- benar telah meyakini bahwa apapun yang terjadi pada dirinya dan alam semesta ini adalah atas QUDRAT- IRODAT- dan ILMU Allah semata, dan semua sudah sesuai dengan apa yang tertulis di Lauh Mahfudh.

Menurut Syeikh Rifa’i bagaimanapun juga seorang hamba sampai kepada derajat tertinggi dalam ma’rifatnya dan telah sanggup mendekatkan diri kepada Allah dengan segala pengabdiannya,mereka tetap saja takkan mungkin dapat melihat dzatnya Allah. Karena Dzat Allah hanya akan dapat dilihat “Bagaikan Bulan Purnama” di sorga nanti bagi para penghuni sorga.

Pentingnya Mengenal Allah

• Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS 51:56) dan tidak tertipu oleh dunia .

• Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS 6:122). Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi sebab jika difahami memberikan keyakinan mendalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang [6:122] .

• Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:

a) Berhubungan dengan obyeknya, yaitu Allah Sang Pencipta.

b) Berhubungan dengan manfaat yang diperoleh, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, yang dengannya akan diperoleh keberuntungan dan kemenangan.

Ciri-Ciri Hamba Ma’rifatullah

Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali

1. Asma’ (nama) Allah
2. Sifat Allah dan
3. Af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.

Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :

Sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,

Ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,

Membersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT

Sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya

Berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya

Membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.

Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT. Sabda Nabi : “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim. Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.

Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun ( ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” QS. 35:28

Sarana Ma’rifatullah

Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :

a. Akal sehat

Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “ Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman. QS 10:101, atau QS 3: 190-191

Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu Nu’aim

b. Para Rasul

Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” QS. 57:25

c. Asma dan Sifat Allah

Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :

“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) QS. 17:110

Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :

“ Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” QS. 7:180

Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.

Manfaat dari Ma’rifat

Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah.

Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.

Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.

Jalan untuk mengenal Allah

Ibnu Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah” seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)

Jelas sudah dari ayat di atas, bahwa Allah tidak melarang bahkan memerintahkan HambaNya untuk mengenal diriNya, Ma’rifat kepada Tuhan tidak bisa ditemukan meskipun dengan menyembahnya secara benar. Ma’rifat dapat ditemukan dengan cara larut dengan-Nya, melalaikan dunia secara total dan terus-menerus berpikir tentang-Nya. Mungkin bagi kita yang hanya sebagai manusia yang tergolong kedalam golongan ma’rifat mukmin menurut Dzunnin al-Mishri masih di kategorikan belum mampu untuk larut dengan-Nya, melalaikan dunia secara total dan terus-menerus berpikir tentang-Nya. Begitu pula yang termasuk ke dalam golongan ma’rifat ……. Mereka adalah para filosof, ahli ilmu kalam, dan para pemikir. Mereka hanya mengetahui Allah berdasarkan data-data empiris melalui penelitian-penelitian.

Sekarang marilah kita melihat diri kita masing-masing, apakah syahadat yang kita ikrarkan mempunyai makna dan bobot tertentu atau hanya sekadar memiliki arti bahasa. Sebenarnya yang paling penting dari syahadat kita adalah Laa ilaaha illallaah, karena awal dari ibadah adalah ma'rifat, sedangkan asal dari ma'rifat adalah tauhid. Makna dari tauhid di sini adalah meniadakan batasan-batasan terhadap Allah SWT, sebab kita semua mengetahui bahwa segala sesuatu yang terbatas itu bukan khaliq melainkan makhluq. Kalau kita kembalikan pada diri kita, kalimat tauhid memiliki dua makna, yaitu makna nazhar atau argumentasi akal dan tauhid amal atau yang berhubungan dengan amal.

Tauhid terbagi menjadi empat bagian :

1. Tauhid Dzat

Yaitu bahwa Allah Swt itu esa, tidak membutuhkan apapun. Artiya semua hikmah apabila dikembalikan kepada Allah Swt, maka ia kembali kepada Dzat-Nya (bukan selain-Nya).

2. Tauhid Sifat.

Yaitu semua sifat Allah SWT itu kembali kepada dzat-Nya.

Kedua tauhid di atas sebenarnya adalah hujjah akal (nazhari). Artinya bagaimana kita dapat memisahkan bahwa segala sesuatu yang terbatas itu bukan tauhidiyyah.

3. Tauhid Ibadah atau Tauhid 'Amali.

Yaitu menyangkut amaliah atau perbuatan kita. Artinya bagaimana semua amal kita tujukan kepada Allah SWT.

Tauhid Dzat dan Tauhid Sifat mempunyai sifat yang tetap (statis). Sedangkan Tauhid Ibadah mempunyai sifat dinamis, seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur'an (QS.Fathir, 35 : 10). yang artinya : "Bahwa sesungguhnya semua kalimat thayyibah kembali kepada Allah SWT dan amal sholeh yang mengangkatnya.[kalimah thayyibah]."

4. Tauhid Af'ali.

Tujuan dari tauhidiyyah, yang merupakan asal dari ma'rifat, adalah mencinta dan membenci karena Allah SWT. Seperti sabda Rasulullah saaw : "Tidaklah di dalam Islam ini kecuali dua perkara, yaitu mencinta karena Allah dan membenci juga karena Allah". Seseorang saat bertauhid, dia harus memiliki daya tarik dan daya tolak terhadap dirinya. Sehingga pada saat kita mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, berarti kita meniadakan semua yang dipertuhan oleh nafsu kita.

Berkata Imam Ali bin Abi Thalib A.S. : "Cukuplah kebodohan seseorang itu ketika dia tidak mengenal kadar dirinya". Karena jika kita tidak mengenal diri kita posisi kita atau di mana kita harus menempatkan diri kita. Semakin seseorang itu pandai tetapi tidak tahu di mana posisinya, maka semakin jauh ia akan tersesat. Salah satu contoh seseorang yang tidak mengenal posisinya ialah ketika ia tidak mengenal siapa lawan dan siapa kawan, siapa yang harus ia tarik dan siapa yang harus ia tolak.

• Ayat Kauniyah / ayat Allah di alam ini:

- fenomena terjadinya alam (52:35)
- fenomena kehendak yang tinggi(67:3)
- fenomena kehidupan (24:45)
- fenomena petunjuk dan ilham (20:50)
- fenomena pengabulan doa (6:63)

• Ayat Qur’aniyah/ayat Allah di dalam Al-Qur’an:

- keindahan Al-Qur’ an (2:23)
- pemberitahuan tentang umat yang lampau [9:70]
- pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (30:1-3, 8:7, 24:55)

2. Lewat memahami Asma’ul Husna:

- Allah sebagai Al-Khaliq (40:62)
- Allah sebagai pemberi rizqi (35:3, 11:6)
- Allah sebagai pemilik (2:284)
- dll. (59:22-24)

Hal-hal yang menghalangi ma’rifatullah

• Kesombongan (QS 7:146; 25:21).
• Dzalim (QS 4:153) .
• Bersandar pada panca indera (QS 2:55) .
• Dusta (QS 7:176) .
• Membatalkan janji dengan Allah (QS 2:2&-27) .
• Berbuat kerusakan/Fasad .
• Lalai (QS 21:1-3) .
• Banyak berbuat ma’siyat .
• Ragu-ragu (QS 6:109-110)

Semua sifat diatas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari hati. Sebab kekafiranlah yang menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan telinga manusia serta menyiksa mereka di neraka. (QS 2:6-7)

Kesimpulan dari pembicaraan ini adalah dalam kita bertauhid kita harus mengenal diri kita, seperti ungkapan hukama’: "Siapa yang mengenal dirinya , maka ia akan mengenal Rabb-Nya". Ini disebut tauhid nazhar. Sedangkan bentuk tauhid 'amali ialah dengan mengenal diri kita, kita akan tahu siapa yang harus kita singkirkan dan siapa yang harus kita rangkul. Akhirnya kita akhiri bahasan ini dengan mengucapkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Muhammad Rasulullah Saw beserta keluarganya.
Alhamdulillahi rabbil 'alamin.
(Abi Naufal/keluargaumarfauzi.blogspot.com))

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...