Jumat, 20 Mei 2022

Mengenal Tiga Jenis Tasawuf

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. 

“Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”, kata Nabi SAW. Misi irfan atau sufismenya kental sekali: penyempurnaan atau kekeramatan akhlak (makarimal akhlak). Sementara tauhid (akidah) dan syariat (fikih) hanya untuk membentuk dasar-dasarnya saja (dengan cara meyakinkan manusia untuk percaya kepada adanya Allah, lalu memaksa mereka melakukan berbagai ritual fisik untuk menyembah-Nya, walau Allah sendiri tidak pernah bisa dirasakan kehadiran-Nya). Tasawuflah yang mengantarkan itu semua pada bentuk yang sempurna.

Terkait dengan pembentukan akhlak, tasawuf itu terbagi tiga. Mulai dari tasawuf falsafi (tasawuf teoritis), tasawuf akhlaki (adab tasawuf) sampai kepada tasawuf irfani (suluk atau makrifatullah).

Pertama, “Tasawuf Falsafi” (Tasawuf Tauhid/Ontologi Tasawuf/Ilmu Tasawuf)

Ini jenis tasawuf yang sifatnya teoritis. Mirip dengan filsafat tauhid (kalam/teologi), aktifitasnya mengkaji dan memahami hakikat dari eksistensi dengan cara yang unik. Jika filsafat teologi berusaha memahami Tuhan secara rasional, tasawuf falsafi mencoba menemukan bahasa akal untuk menjelaskan berbagai pengalaman mistis. Sehingga lahir konsep-konsep semacam ittihad, wahdatul wujud, gradasi wujud (isyraqiyyah), insan kamil, nur muhammad, tajalli, musyahadah, mukasyafah, fana, baqa, serta terma-terma ilahiah dan kondisi-kondisi batiniah lainnya.

Tasawuf ini fokus pada kemampuan ‘aqliyah (berfikir), termasuk kajian dan baca-baca kitab. Pekerjaan para murid mendengar tausiah bahkan diskusi. Yang disasar adalah kesadaran kognitif (otak). Diharapkan, dengan banyak membaca dan mendengar, para murid memahami ruang lingkup tasawuf.

Tasawuf ini tidak membawa murid sampai kepada Allah. Tasawuf ini hanya membawa murid sampai pada level “mengetahui” berbagai filosofi tentang dirinya, Tuhannya, dan alam semesta; serta relasi antara ketiganya.

Kata para arif: “1000 gelas anggur tidak akan memabukkan, sampai engkau meminumnya. Pun 1000 kitab yang kau baca tidak akan membawamu kepada Tuhan, sampai engkau bersedia menempuh jalan.” Oleh sebab itu, bertasawuf harus melampaui kajian dan ceramah.

Kedua, “Tasawuf Akhlaki” (Tasawuf Syar’i/Fikih Tasawuf/Adab Berguru/Etika)

Tasawuf ini berfokus pada birokrasi atau aturan-aturan formal untuk membentuk sikap dan perilaku murid. Targetnya adalah perbaikan langsung moral dan etika. Tasawuf ini menekankan pada adab lahiriah dan batiniah (ada yang menyebutnya dengan “hadap”) dalam berguru. Sehingga terkenal aturan: “dahulukan adab daripada ilmu”. Kalau sekedar berilmu, iblis lebih alim. Semua kitab sudah dibacanya. Tetapi ia angkuh, merasa paling benar. Kepatuhannya kepada Allah tidak ada.

Jadi, tasawuf akhlaki ini sudah bernilai praktis. Batin seseorang ikut dibentuk dengan berbagai aturan dan kebijakan. Sehingga ia memiliki sifat jujur, adil, ikhlas, murah hati, rajin, patuh, selalu dalam keadaan bersuci, dan lain sebagainya. Pola ketat pendidikan akhlak ini ditemukan dalam jamaah sufi, atau disebut “tarekat”. Mereka membentuk ahlus shuffah, kelompok-kelompok sosial dengan berbagai aturan dan bentuk-bentuk kedisiplinan.

Untuk mencapai ini, sering ditemukan bentuk-bentuk ketaatan kepada ulil amri (guru spiritual). Semua yang ingin menemui Allah diwajibkan ‘sujud’ kepada Adam (sebuah objek wasilah atau kiblat material yang dalam dirinya terdapat entitas maksum nurullah). Disinilah dalam tasawuf atau irfan dipercayai adanya nabi, imam-imam, walimursyid, atau pembimbing ruhani.

Namun lagi-lagi, tasawuf ini tidak membawa murid sampai kepada penyaksian atau merasakan langsung akan keberadaan Allah (musyahadah). Mereka hanya diajari menjadi baik, merasakan seolah-olah Allah melihat mereka. Namun terbentuknya dasar-dasar akhlak (hilangnya ego/keakuan) melalui adab dan ‘ubudiyah (penghambaan diri kepada Allah) dalam kelompok sosial, menjadi prasyarat untuk sampai kepada Wajah Allah yang hakiki.

Ketiga, “Tasawuf Irfani” (Tarekatullah/Makrifatullah)

Inilah puncak atau jenis tasawuf yang dapat mengubah, mengembalikan manusia kepada jati diri yang fitrah.

Antara hamba dengan Allah ada “jarak” yang memisahkan (hijab). Tasawuf ini merintis jalan untuk kembali kepada Allah, ke asal yang suci. Ini yang disebut “mati sebelum mati” (hadis). Sejak hidup di dunia harus ada usaha untuk sampai, terhubung dan kembali menyaksikan-Nya. Sebab, jika di dunia kita buta, di akhirat juga begitu (QS. Al-Isra: 72). Itulah pendakian ruhani atau disebut sayr (perjalanan) wa suluk (bepergian). Disini ada yang namanya titik keberangkatan, tempat tujuan, stasiun-stasiun (makam) serta kondisi-kondisi yang akan dialami (fenomena-fenomena spiritual) selama perjalanan pulang.

Dalam tasawuf, roh manusia dipandang sebagai organisme hidup. Dari tahap lahir hingga dewasanya, ia harus terus diberi “gizi” agar mengenal Allah. Perjalanan ruhani adalah sebuah proses pendewasaan wadah spiritual ini, yang dimulai dari ritual taubat sampai kepada berbagai bentuk dan jenjang meditasi (dzikir). Praktik tasawuf ini terpusat pada aspek pensucian jiwa sehingga memungkinkan baginya untuk melakukan perjalanan (mikraj) dari satu langit ke langit lainnya (ke berbagai maqam para nabi), sampai kepada yang tertinggi. Pada praktik tasawuf inilah mulut harus terkunci, akal dan logika juga diharuskan mati. Karena yang dihadapi adalah alam yang sama sekali berbeda.

Dalam Alquran banyak suri tauladan yang sejak di dunia disebut-sebut sudah liqa Allah (bertemu Allah), memperoleh wahyu atau ilham, dan berbicara dengan malaikat. Termasuk pengalaman wisata ruhani Muhammad SAW ke “Sidratul Muntaha” (makam musyahadah, fana dan baqa dalam pengetahuan laduni).

Tasawuf ini bersifat amali dan mesti dibimbing oleh seorang “khidir” atau “jibril” yang sudah bolak balik ke alam ketuhanan. Mursyid harus seorang master yang sempurna, dapat membaca persoalan, isi hati dan kebutuhan muridnya (kasyaf). Jika tidak, muridnya bisa tersesat. Kalau tidak dibimbing oleh orang-orang seperti ini, bisa-bisa di alam sana setanlah yang akan menyambut ruhani kita.

Anda harus berdoa untuk menemukan ‘urafa, guru-guru irfani atau para wali pewaris nabi. Mereka sangat langka dan cenderung tersembunyi. Biasanya spiritualitas mereka tinggi sekali, punya qudrah spiritual semacam mukjizat yang disebut “karamah”. Kemampuan aneh mereka ini berada di luar nalar awam. Dalam kondisi tertentu, mereka tidak terikat dengan hukum alam. Karena ruh mereka sudah berada di alam ketuhanan, tidak terjebak lagi dengan materi, ruang dan waktu. Karena itulah jiwa para murid dapat mereka bimbing dari alam material (jabarut) menuju alam malaikat (malakut), sampai ke alam ketuhanan (rabbani).

Bukan cuma terletak pada guru yang mumpuni. Suksesnya perjalanan ini juga tergantung pada kesungguhan si murid sendiri dalam melakukan olah ruhani (riyadhah). Yang malas-malas tidak akan sampai kemana-mana. Akhlaknya juga akan begitu-begitu saja. Sebab, inti dari tarekatullah adalah sungguh-sungguh (mujahadah). Jika ditekuni, jiwa si murid akan sampai kepada sang Khalik, sehingga terbentuk akhlak yang paripurna (kamil). Itulah gambaran kepribadian Muhammad SAW, sosok sempurna, manifestasi (tajalli) dari keagungan Allah. Rahmatallil’alamin terbentuk pada saat seseorang telah mengalami penyatuan dengan-Nya.

Nabi Muhammad diutus Allah untuk membawa kita kepada tarekat, atau jalan perbaikan akhlak yang pernah ia tempuh. Beliau sangat menginginkan kita untuk mereproduksi pengalaman mistisnya. Alquran sendiri sebenarnya adalah kompilasi pengalaman dan pengetahuan mistis Nabi. Sehingga banyak isinya yang mutasyabihat, sulit dipahami, bahkan harus ditafsir-tafsir.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

___________________
powered by PEMUDA SUFI/Said Muniruddin
/The Zawiyah for Spiritual Leadership

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...