Minggu, 10 Desember 2017

Ma'rifatullah Puncak Segala Ilmu

Selain menganugerahkan manusia kemampuan untuk merasa dan membutuhkan makan, minum serta kebutuhan biologis lainnya, manusia juga dibekali perasaan ingin tahu. 

Keingintahuan manusia itu menghantarkan mereka kepada sejumlah penemuan hingga lahirlah sebuah ilmu; seperangkat aturan yang telah disusun secara sistematis untuk mengetahui sesuatu. Untuk mengetahui sesuatu itulah Allah Swt membekali manusia akal untuk berpikir.

Dalam banyak ayat Al-Quran, Allah Swt menggunakan kalimat pertanyaan yang diserukan kepada hamba-hamba-Nya untuk mempertegas apakah proses penciptaan langit dan bumi atau yang lebih rumit dari itu yakni penciptaan manusia dapat membuat mereka berpikir dan memperhatikan seperti dalam surah Adz-Dzariyyat ayat 20-22, “Dan di muka bumi ada tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang yakin. Maka dalam penciptaan diri kalian sendiri, maka apakah kalian tidak memperhatikan? dan kebesaran Allah di langit (menurunkan hujan) dan apa yang dijanjikan kepada kalian,”

Kemampuan berpikir pada manusia memang berbeda-beda, namun sumbernya tetap Allah Swt. Pada perjalanan hidupnya, ada sebagian orang yang bersyukur diberi ilmu yang banyak sehingga dengan ilmu itu ia dapat menyelamatkan manusia lain dari ketidaktahuan, kebodohan dn kesesatan serta ia sandarkan apa yang Dia tahu karena Allah. Namun ada pula manusia yang khilaf—tidak menyandarkan apa yang ia ketahui karena Allah—bahwa sedikit ilmu yang ia ketahui hanyalah seizin Allah, sama sekali ia tidak pernah bisa mengetahui sesuatu jika saja Allah tidak memberinya ilmu.

Pada golongan kedua, ada pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari kisah salah seorang Nabi Ulul Azmi (Nabi Musa as) dan Nabi Khidir yang Allah urai begitu runut pada surah Al-Kahfi ayat 60 hingga 82. Sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi Musa as Allah berikan banyak keistimewaan salah satunya adalah dapat berbicara oleh Allah secara langsung di lembah suci Thuwa saat ia dan keluarganya melarikan diri dari kekejaman Fir’aun di Mesir.

Namun, meski Nabi Musa as diberikan kelebihan tersebut, ia diminta Allah untuk belajar kepada Nabi Khidir; hal ini menunjukkan bahwa kerendahan hati lebih baik daripada takabbur, demikian penjelasan dalam tafsir Al-Maraghi. Nabi Musa as diperintahkan untuk belajar kepada Nabi Khidir karena ia tidak mengembalikan ilmu yang ia ketahui kepada pemiliknya; Allah Swt. Selain itu, Allah mewahyukan kepadanya bahwa diantara hamba-hambaNya ada seseorang yang memiliki ilmu dan tidak Allah berikan kepada hamba-Nya yang lain. Akhirnya, Nabi Musa as dengan ditemani oleh sahabatnya mencari Nabi Khidir as hingga akhirnya dirinya dapat bertemu setelah Allah berikan tanda melalui hilang (lompatnya) ikan yang mereka bawa dengan cara yang tidak biasanya.

Pertemuan pun berlangsung dengan baik. Nabi Khidir sang pemilik ilmu laduni (ilmu yang langsung diberikan oleh Allah) dengan hangat menyapa Nabi Musa as. Nabi Musa pun bersemangat mengikuti perjalanan Nabi Khidir. Nabi Khidir memperingatkan sejak sebelum mereka melakukan perjalanan agar Nabi Musa mampu bersabar dan tidak berkomentar atas apa yang Khidir lakukan. Namun ternyata, sebagai manusia biasa yang dibekali wahyu, Nabi Musa sempat hilang kesabaran. Ia terus bertanya saat Khidir membocorkan kapal milik nelayan miskin, terlebih saat Nabi Khidir membunuh seorang anak yang Musa as rasa dia anak baik-baik.

Kali kedua, Nabi Khidir masih memberikan kesempatan kepada Nabi Musa meski dengan gusar lagi-lagi Khidir memperingatkan agar Nabi Musa as mampu menahan diri. Perpisahan mereka pun terwujud di sebuah rumah rubuh yang akhirnya dibangun kembali oleh Nabi Khidir. Disitulah Nabi Khidir mulai menguraikan mengapa ia membocorkan kapal, mengapa ia membunuh anak yang sedang asyik bermain, atau mengapa pula ia berbaik hati membangun rumah rubuh itu sehingga layak ditempati kembali. Semua itu ia lakukan bukan atas dasar kemauannya. Tapi atas kehendak dan petunjuk dari Allah; Sang Maha Pemilik Segala Ilmu.

Sejak peristiwa itulah, Musa as merasa malu kepada Allah. Ia tak layak menyombongkan diri atas apapun yang ia ketahui. Sebab, segala ilmu yang ia miliki, sepenuhnya dari Allah yang kapan saja jika Allah berkehendak, ia akan mengambilnya.

Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sesungguhnya kemuliaan pengetahuan (ilmu) itu sesuai dengan kemuliaan objek yang diketahui. Maka, tidak disangsikan bahwa pengetahuan yang paling mulia dan paling agung ialah pengetahuan tentang Allah Swt; Tuhan semesta alam, Yang Menciptakan langit dan bumi, Yang Maha Benar, yang memiliki segala sifat kesempurnaan, Yang suci dari segala kekurangan, yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dalam kesempurnaan. Tidak disangsikan bahwa pengetahuan tentang nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya adalah ilmu yang paling tinggi nilainya.

Ilmu tentang Allah Swt adalah asas dari segala pengetahuan. Sebagaimana keberadaan segala sesuatu tergantung pada keberadaan-Nya, Maha Menciptakan, maka seluruh jenis ilmu tanpa terkecuali mengikuti ilmu tentang-Nya dan teramat sangat membutuhkan-Nya untuk merealisasikan keberadaan-Nya. Tidak disangsikan lagi bahwa pengetahun tentang sebab awal dan penyebab utama berkonsekuensi pada pengetahuan tentang akibat dan efeknya. 

Keberadaan segala sesuatu selain Allah bergantung kepada-Nya, sebagaimana keberadaan sebuah benda yang tergantung pada pembuatnya, dan objek pada subjeknya. maka ilmu tentanag zat, sifat dan perbuatan-perbuatan Allah berimplikasi kepada pengetahuan tentang selain Allah. Siapa yang tidak mengenal Tuhannya, maka dia lebih tidak mengenal segala seuatu selain Dia. Allah Swt berfirman,

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah Swt sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (Qs Al-Hasyr: 19)

Jika kita perhatikan ayat ini dengan seksama, maka kita akan menemukan makna yang sangat indah, yaitu barangsiapa yang melupakan Tuhannya niscaya Tuhan pun akan membuat ia lupa kepada dirinya sendiri. Sehingga dia tidak mengenal hakikat dirinya dan kemaslahatannya sendiri. Bahkan diapun lupa dengan apa saja yang akan membawanya kepada kebaikan dunia dan akhirat. Dengan demikian, dia pun akan rusak dan diabaikan seperti binatang. Bahkan, binatang lebih mengetahui kemaslahatan dirinya karena mengikuti petunjuk (ilham) Sang Pencipta yang diberikan kepadanya. Sedangkan orang tersebut keluar dari fitrah penciptaanya, sehingga dia lupa akan Tuhannya terlebih dirinya sendiri.

Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Masruq ra, ketika ia menemui Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Manusia! barangsiapa mengetahui sesuatu hendaklah ia mengatakan apa yang diketahuinya. Barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka hendaklah ia mengatakan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Karena termasuk ilmu jika ia mengatakan bahwa Allah Maha Tahu,” (HR Bukhari, Shahihul Bukhari, Jilid 3; 4809)

Maka, dapat kita simpulkan bahwa ma’rifat adalah asal dan puncak dari segala ilmu. Ia adalah asas ilmu hamba tentang kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatan dunia akhirat. Tidak adanya pengetahuan tentang Allah mengakibatkan ketidaktahuan tentang dirinya sendiri dan kemaslahatannya serta apa yang membersihkan dan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya di dunia dan di akhirat kelak. Oleh karenanya, pengetahuan tentang Allah adalah pangkal kebahagiaan seorang hamba sedangkan ketidaktahuan tentang Allah merupakan pangkal penderitaan.
Wallahu a’lam.
(republika.co.id/Ina Salma Febriany)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...