Kamis, 20 Oktober 2022

Kisah Sufi: Rentenir Jahat yang Jadi Kekasih Allah

Sumber foto:Sindonews.com
Habib bin Muhammad al-Ajami al-Basri nama lengkapnya. Jauh sebelum namanya ngetop karena kesalehannya, Habib al-Ajami adalah seorang rentenir yang amat tajir. Perjalanan tobat Habib al-Ajami dikisahkan oleh Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya’.

Seperti kematian yang datangnya tidak bisa diketahui pasti, begitu pula dengan keadaan hati, hidayah Allah datang kepada mereka yang memang telah Allah kehendaki.

Tidaklah aneh ketika kita membaca perjalanan hidup para kekasih Allah, maka akan ditemukan di antara mereka yang lebur dalam kegelapan, terlelap dalam jurang kejahilan, hingga akhirnya menjadi para salik yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Allah.

Habib Al 'Azami adalah salah satu dari para kekasih Allah yang mana sebelum ia mendapatkan maqam kemuliaan ia pernah hidup dalam kegelapan.

Biografi Habib Al 'Azami bisa dilihat dalam kitab Tarikh Al Kabir 2/326, Hilyatul Aulia 6/149, Siyar A'lam Annubala 6/143.

Syekh Fariduddin Attar dalam kitabnya Tadzkirotul Aulia halaman 81 Mengisahkan, Habib Al 'Azami adalah seorang kaya raya, ia tinggal di Kota Basrah.

Setiap hari ia berkeliling mendatangi satu persatu orang yang berhutang kepadanya untuk menagih, jika mereka belum bisa membayar maka Habib akan mengambil apa saja yang bisa mereka serahkan sebagai bunga atas hutang mereka. Dan seperti itulah cara yang dilakukan Habib untuk menghasilkan hal yang bisa menutupi kebutuhan sehari harinya.

Suatu hari ia mendatangi salah seorang yang berhutang kepadanya namun orang tersebut tidak ada di rumah. Akhirnya sang Habib meminta kepada istrinya bunga atas hutangnya yang belum bisa di bayar.

"Suamiku tidak ada di rumah, dan aku tidak memiliki apa-apa, sisa daging leher domba," kata perempuan itu.

Habib pun meminta kepada perempuan tersebut menyerahkan kan leher domba itu. Pada hari itu pun Habib pulang ke rumah dengan membawa kayu bakar, gula, dan rempah-rempah serta leher domba yang mana semuanya didapatkan dari orang yang belum bisa membayar hutangnya.

Sesampainya di rumah, Habib menyuruh istrinya memasak apa yang telah ia bawa. Ketika istrinya hendak membuka tutup ketel ia terhenti sejenak karena terdengar suara keras Habib kepada pengemis yang datang ke rumahnya.

"Jika aku bagikan makanan kepadamu, maka tidak akan ada yang tersisa untuk makan malamku, kamu mendatangi setiap pintu rumah apakah itu tidak membuatmu cukup?" ungkap Habib dengan nada keras.

Pengemis itu pun pergi dengan tangan kosong. Setelah itu ketika istri Habib hendak melihat masakan di wajannya itu, tidak ada yang dilihat kecuali darah hitam memenuhi ketel itu.

Si istri pun membawa Habib ke dapur untuk melihat apa yang terjadi.

"Ini semua karena buruknya akhlakmu, harta riba yang kau makan, pada pengemis kau menghardik, keadaan ini seperti gambaran keburukanmu itu. Apakah kau tak berpikir bagaimana pedihnya balasan di akhirat nanti," kata sang istri.

Mendengar itu, hati habib bergetar ia berpikir dan menyaksikan apa yang telah terjadi, "Wahai istriku mulai saat ini aku bertobat.”

Setelah itu, ia pun mengembalikan seluruh harta yang pernah ia dapatkan dengan cara haram itu. Sampai tidak ada lagi yang ia miliki. Dengan begitu, ia pun menjadi miskin sejadi-jadinya.

Kemudian, si Habib itu membangun gubuk di bantaran sungai Furat. Tempat baru itu ia pakai untuk terus beribadah tak kenal waktu. Ia juga mulai menuntut ilmu dan belajar Al-Quran kepada Hasan Bashri.

Saat dirinya belajar kepada tokoh sufi terkenal itu, si Habib dikenal sebagai orang yang kurang pintar. Maka itu, dirinya pun dijuluki Al ‘Azami, alias bodoh.

Suatu ketika, kala Habib pulang ke gubuknya, istrinya bertanya, "Dari mana engkau, suamiku? Apa yang engkau lakukan?"

"Aku bekerja pada seseorang," jawab Habib.
"Mana upahnya? "
"Orang tersebut sangat baik dan dermawan saya malu jika meminta upah. Tetapi kabarnya ia akan memberikan secara langsung setiap sepuluh hari," jawab Habib.

Syahdan, sepuluh hari berlalu. Tibalah hari itu, Habib sangat bingung di perjalanan menuju rumahnya ia banyak berpikir, apa yang harus ia katakan pada istrinya tetapi ia tetap bertawajuh dan memasrahkan semuanya kepada Allah.

Belum sampai masuk ke rumah, di luar ia mencium bau masakan dari rumahnya, benarlah ketika ia masuk ke rumah ia menyaksikan istrinya sedang memasak, kegembiraan yang diliputi dengan tanda tanya meliputi perasaan Habib.

Istrinya menjelaskan bahwa ini adalah pemberian dari seseorang yang engkau bekerja padanya. Para pemuda yang wajahnya terang seperti rembulan itu selain memberi semua bahan pokok ini dan seikat kantong yang berisi dirham, ia juga menitipkan pesan untukmu, perbanyaklah bekerja maka akan seimbang juga balasan upahnya.

Mendengar apa yang dituturkan istrinya, Habib pun menangis terharu, "Demi Allah wahai istriku, selama sepuluh hari ini tidak ada pekerjaan yang aku lakukan kecuali siang dan malam aku habiskan untuk beribadah kepada Dzat yang maha kaya yang telah memberikan segala anugerah ini."

Seperti itulah sekelumit risalah tentang kisah perjalanan kekasih Tuhan yang dalam beribadah selalu istiqomah dan penuh khidmah, sehingga Tuhan berikan kepada mereka anugerah dan karomah.//

Rabu, 19 Oktober 2022

Maulid Sang Guru Sufi

Sufi, bukanlah sosok yang eksklusif yang selalu tampil beda dengan saudara-saudara Muslim lainnya. Sufisme tidak akan pernah menjadi ad-Din atau diagamakan pengikutnya. 

Begitu pula kaum sufi, hanyalah sekelompok orang, baik dalam sebuah ikatan maupun secara sendiri-sendiri, yang menjaga konsistensi dan kejernihan berpikir, bersikap, serta bertindak berdasarakan iman, Islam, dan ihsan yang murni dan konsekuen. 

Seseorang dijuluki sufi, apabila dia seorang mukmin, Muslim, muhsin, yang sungguh-sungguh dengan jujur mengaktualisasi iman, Islam, dan ihsannya, dengan menggunakan tolok ukur keteladanan Rasulullah SAW.

Menurut KH Abdurrahim Radjiun, ulama sufi Betawi terkemuka, sufisme bukan ditandai dengan kekumuhan, kelusuhan, tarian, lirik syair, serta sikap kontroversial dan kontraproduktif yang dituduhkan kebanyakan orang. 

Seorang kepala negara, sultan, raja, perdana menteri, menteri, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, mandor, konglomerat, pengusaha, kiai, ustaz, mubaligh, sopir, kernet, pedagang kaki lima, asongan, pengamen, ibu rumah tangga, mahasiswa, pelajar, atau siapa saja, mereka dapat menjadi seorang sufi yang baik. Sejauh mereka mengimani dan membuktikan keimanannya bahwa jiwa dan harta mereka adalah dari Allah.

Ini diperoleh karena rahmat Allah dan bermanfaat di jalan Allah dan mereka telah berada di Wilayah Quraniyah dengan memedomani Alquran surat at-Taubah ayat 111, "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan jannah untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Alquran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar."

Kaum sufi yang oleh dunia Barat disebut sebagai sophists, orang yang berbicara, berpikir, dan berperilaku tidak lazim, sesungguhnya adalah sekelompok manusia yang memiliki sophistic quotion (SQ), kecerdasan sufistik, dalam menyikapi dan memberi solusi pasti, terhadap ketidakpastian suatu keadaan. 

Mereka juga bukan ahlus shuffah seperti yang dianggap oleh pendapat umum sebagai sekelompok orang yang mendiami emperan masjid Nabawi. Kezuhudan kaum sufi bukanlah kezuhudan yang melemahkan, tetapi memuat semangat berjuang, berkurban, dan bekerja serta peduli terhadap persoalan umat. 

Para sufi adalah ummatan wasathan, umat penengah, adil, dan pilihan, yang menjadi saksi bagi hiruk pikuk kehidupan duniawi, selaras dengan firman Allah dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 143, "Dan demikianlah Kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan."

Lalu, siapakah guru dari kaum sufi ini? Di dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern, Buya Hamka menyatakan bahwa pada zaman Nabi Muhammad SAW hidup, semua orang menjadi "sufi", yaitu sufi sepanjang artian dari Syaikh Junaid al-Baghdadi, orang yang yang keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji. Dengan demikian, guru kaum sufi dari zaman para sahabat, sampai saat ini dan sampai dunia kiamat adalah Rasulullah Muhammad SAW.

Salah satu ciri utama dari seorang sufi adalah pada keadabannya yang berpedoman kepada keadaban Sang Guru Sufi, Rasulullah Muhammad SAW. Keadaban Rasulullah SAW tidak hanya dengan menggunakan ukuran kemuliaan akhlak atau perilaku keseharian. Keadaban beliau lebih kepada perspektif sikap, ucapan, pandangan dalam membimbing, membentuk, menggerakkan, serta mengarahkan umat jauh ke masa depan.

Dengan pengertian demikian, dapat dipilah dan dibedakan antara orang-orang yang berperilaku baik secara normatif, tapi tidak memberi arti dan nilai tambah bagi suatu perjuangan, perbaikan, serta pencapaian target ideal, dan orang-orang atau kaum beradab yang tidak pernah lelah berpikir, bersikap, bergerak dinamik untuk pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan suatu kaum dalam mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. 

Keadaban Rasulullah SAW sendiri adalah keadaban Islami yang sepenuhnya bermuara kepada keluhuran serta kekayaan pesan-pesan Qurani, dengan contoh aktual dari keseharian Rasulullah SAW yang diabadikan melalui Sirah Nabawiyah, alur hidup kenabian, telah mendarah daging dalam kisi-kisi kehidupan kaum sufi dari masa ke masa.

Maka, sebagai pihak yang berdiri tegak di tengah, para sufi dengan konsisten tidak akan pernah menyatakan keberpihakan kepada apa pun dan dengan siapa pun, sejauh hal itu berseberangan dengan Alquran dan sunah. Karena mereka berkeyakinan sepenuhnya bahwa guru besar mereka adalah Rasulullah SAW, sebagai insan kamil yang telah mengubah peta sejarah dan keadaban dunia. 

Tak salah, bila kaum ini menyimpan kecerdasan sufistik, itu semata-mata karena mereka berjuang keras untuk menjaga diri berselaras dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, sesuai dengan Alquran dan sunah. Sebab, kitab manakah yang lebih mulia dari Kitabullah? Dan bukankah Rasulullah Muhammad SAW adalah kota ilmu, muara kecerdasan, yang dengan ilmu dan kecerdasannya sejak 1400-an tahun lalu, tetap dapat kita rasakan hingga saat ini, dan terus merayapi punggung bumi sampai ujung zaman?

Akhir kalam, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW sejatinya menjadi peringatan untuk memandang Rasulullah SAW sebagai Sang Guru Sufi yang dilahirkan ke dunia ini untuk membimbing umatnya menjadi umat yang berkeadaban seperti yang telah dia contohkan. 

Keadaban Rasulullah SAW dengan kesufiannya menjadi pedoman dan penggerak yang melintasi semua alam, ruang, dan waktu. Dan kita semua hendaknya menjadi sufi yang meneruskan kesufian beliau dengan keadabannya yang paripurna. Shallu 'alannabi. ***

(Rakhmad Zailani Kiki/Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre/Republika)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...