Jumat, 15 Juli 2016

Meraih Keutamaan di Bulan Syawal

Kita baru saja melewati bulan Ramadhan, dan sekarang kita sudah berada di bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam penanggalan hijriyah. Nyaris tidak ada penyambutan terhadap datangnya bulan syawal. 

Berbeda dengan ketika menyambut Ramadhan, biasanya kita mengucapkan "Marhaban Ya Ramadhan." Tapi untuk bulan Syawal, tidak pernah kita mendengar orang mengucapkan Marhaban Ya Syawal!

Padahal, Syawal juga bulan istimewa dan memiliki keutamaan. Inilah beberapa keistimewaan bulan Syawal.

Bulan Kembali ke Fitrah

Syawal adalah bulan kembalinya umat Islam kepada fitrahnya, diampuni semua dosanya, setelah melakukan ibadah Ramadhan sebulan penuh. Paling tidak, tanggal 1 Syawal umat Islam “kembali makan pagi” dan diharamkan berpuasa pada hari itu.

Ketibaan Syawal membawa kemenangan bagi mereka yang berjaya menjalani ibadah puasa sepanjang Ramadan. Ia merupakan lambang kemenangan umat Islam hasil dari "peperangan" menentang musuh dalam jiwa yang terbesar, yaitu hawa nafsu.

Bulan Takbir

Tanggal 1 Syawal sebagai Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam di berbagai belahan dunia mengumandangkan takbir. Maka, bulan Syawal pun merupakan bulan dikumandangkannya takbir oleh seluruh umat Islam secara serentak, paling tidak satu malam, yakni begitu malam memasuki tanggal 1 Syawal atau Malam Takbiran, menjelang Shalat Idul Fitri.

Kumandang takbir merupakan ungkapan rasa syukur atas keberhasilan ibadah Ramadhan selama sebulan penuh. Kemenangan yang diraih itu tidak akan tercapai, kecuali dengan pertolongan-Nya. Maka umat Islam pun memperbanyakkan dzikir, takbir, tahmid, dan tasbih. “"Dan agar kamu membesarkan Allah atas apa-apa yang telah Ia memberi petunjuk kepada kamu, dan agar kamu bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan" (QS. Al-Baqarah: 185).

Bulan Silaturahmi

Dibandingkan bulan-bulan lainnya, pada bulan inilah umat Islam sangat banyak melakukan amaliah silaturahmi, mulai mudik ke kampung halaman, saling bermaafan dengan teman atau tetangga, hala bihalal, kirim SMS dan telepon, dan sebagainya. Betapa Syawal pun menjadi bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan Allah karena umat Islam menguatkan tali silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah.

Bulan Ceria

Syawal adalah bulan penuh ceria. Di Indonesia bahkan identik dengan hal yang serba baru –baju baru, sepatu baru, perabot rumah tangga baru, dan lain-lain. Orang-orang bersuka cita, bersalaman, berpelukan, bertangis bahagia, mengucap syukur yang agung, meminta maaf, memaafkan yang bersalah.

Begitu banyak doa terlempar di udara. Begitu banyak cinta kasih saling diberikan antar seluruh umat manusia. Aura maaf tersebar di seluruh penjuru bumi, nuansa peleburan dosa, nuansa pencarian makna baru dalam hidup.

Puasa Satu Tahun

Amaliah yang ditentukan Rasulullah Saw pada bulan Syawal adalah puasa sunah selama enam hari, sebagai kelanjutan puasa Ramadhan.

“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh” (H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

“Allah telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Puasa bulan Ramadhan setara dengan berpuasa sebanyak sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawal yang menggenapkannya satu tahun” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).

Bulan Nikah

Syawal adalah bulan yang baik untuk menikah. Hal ini sekaligus mendobrak khurafat, yakni pemikiran dan tradisi jahiliyah yang tidak mau melakukan pernikahan pada bulan Syawal karena takut terjadi malapetaka.

Budaya jahiliyah itu muncul disebabkan pada suatu tahun, tepatnya bulan Syawal, Allah Swt menurunkan wabah penyakit, sehingga banyak orang mati termasuk beberapa pasangan pengantin. Maka sejak itu, kaum jahiliah tidak mau melangsungkan pernikahan pada bulan Syawal.

Khurafat itu didobrak oleh Islam. Rasulullah Saw menunjukkan sendiri bahwa bulan Syawal baik untuk menikah. Siti Aisyah menegaskan: “Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah dari isteri beliau yang lebih beruntung daripada saya?”. Selain dengan Siti Aisyah, Rasul juga menikahi Ummu Salamah juga pada bulan Syawal.

Menurut Imam An-Nawawi, hadits tersebut berisi anjuran menikah pada bulan Syawal. ‘Aisyah bermaksud, dengan ucapannya ini, untuk menolak tradisi jahiliah dan anggapan mereka bahwa menikah pada bulan Syawal tidak baik.

Bulan Peningkatan

Inilah keistimewaan bulan Syawal yang paling utama. Syawal adalah bulan “peningkatan” kualitas dan kuantitas ibadah. Syawal sendiri, secara harfiyah, artinya “peningkatan”, yakni peningkatan ibadah sebagai hasil training selama bulan Ramadhan. Umat Islam diharapkan mampu meningkatkan amal kebaikannya pada bulan ini, bukannya malah menurun atau kembali ke “watak” semula yang jauh dari Islam. Na’udzubillah.

Bulan Pembuktian Takwa

Inilah makna terpenting bulan Syawal. Setelah Ramadhan berlalu, pada bulan Syawal-lah “pembuktian” berhasil-tidaknya ibadah Ramadhan, utamanya puasa, yang bertujuan meraih derajat takwa.

Jika tujuan itu tercapai, sudah tentu seorang Muslim menjadi lebih baik kehidupannya, lebih saleh perbuatannya, lebih dermawan, lebih bermanfaat bagi sesama, lebih khusyu’ ibadahnya, dan seterusnya. Paling tidak, semangat beribadah dan dakwah tidak menurun setelah Ramadhan. Amin Ya Rabbal Alamin. (Muhammad Yuliawan)

Senin, 11 Juli 2016

Idul Fitri Sebagai Perjalanan Spiritual

Setiap tanggal 1 Syawal seluruh umat Islam di Indonesia telah merayakan Hari Idul Fithri dengan penuh kegembiraan dan rasa syukur. 

Hari Raya Idul Fitri merupakan puncak dari seluruh rangkaian proses ibadah selama bulan Ramadhan dimana dalam bulan tersebut kita melakukan ibadah Shaum dengan penuh keimanan kepada Allah SWT.

Penetapan Hari Raya Idul Fitri oleh Rasulullah dimaksudkan untuk menggantikan Hari Raya yang biasa dilaksanakan orang-orang Madinah pada waktu itu. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yaitu:

“Jabir ra. Berkata : Rasulullah SAW datang ke Madinah sedangkan bagi penduduk Madinah ada dua hari yang mereka (bermain-main padanya dan merayakannya dengan berbagai permainan). Maka Rasulullah SAW bertanya : “Apakah hari yang dua ini?” penduduk Madinah menjawab : “Adalah kami dimasa jahiliyah bergembira ria padanya”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Allah telah menukar dua hari ini dengan lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri”. (HR Abu Daud).

Berdasarkan hadits di atas, kita lihat betapa pentingnya keberadaan Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam.

Pengertian Idul Fitri

Mayoritas umat Islam mengartikan Idul Fitri dengan arti “kembali menjadi suci”. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadits Rasulullah SAW yaitu :

“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah Shaum selama satu bulan penuh dengan penuh keimanan kepada Allah maka apabila ia memasuki Idul Fitri ia akan kembali menjadi fitrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya”. (HR Bukhari).

Menurut penulis pendapat yang mengartikan Idul Fitri dengan “kembali menjadi suci” tidak sepenuhnya benar karena kata “Fithri” apabila diartikan dengan “Suci” tidaklah tepat. Sebab kata “Suci” dalam bahasa Arabnya adalah “Al Qudus” atau “Subhana”. Jadi menurut penulis istilah Idul Fitri dapat diartikan sebagai berikut : kata “Id” berarti “kembali” sedangkan kata Fitri” berarti “Pencipta” atau “Ciptaan”. Dalam bahasa Arab akar kata Fitri berasal dari kata Al Fathir yang bisa berubah menjadi kata Al Fithrah, Al Fathrah atau Al Futhura, sebagai contoh lihat ayat di bawah ini :

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS Faathir 35 : 1).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa kata “Idul Fitri” mempunyai minimal dua pengertian yaitu :

1. Kembali ke Pencipta
2. Kembali ke awal Penciptaan

Dua pengertian Idul Fitri yang dikemukakan oleh penulis seperti tersebut di atas mungkin sangat asing dan juga mengherankan para pembaca. Oleh sebab itu penulis akan mencoba menjelaskan masalah tersebut berdasarkan ayat-ayat dalam Al Qur’an.

IDul Fithri Sebagai Proses Ke awal Penciptaan

Menurut ahli tasawuf hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama yaitu jasmani dan bangunan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan oleh Allah melalui enam proses kejadian yaitu :

1. Sari pati tanah
2. Nutfah
3. Segumpal darah
4. Segumpal daging
5. Pertumbuhan tulang belulang
6. Pembungkusan tulang belulang dengan daging
7. Peniupan Roh-Ku ke dalam janian

Proses tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, dari segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang. Kemudian tulang belulang itu kami bungkus dengan daging”. (QS Al Mu’minun 23 : 12 – 14).

“Kemudian Ia menyempurnakan penciptaan-Nya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Ia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”. (QS As Sajadah 32 : 9).

Berdasarkan firman Allah tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa setiap manusia lahir atau diciptakan pasti akan melalui proses kejadian bayi dalam kandungan yang mendapat tiupan Roh dari Allah (Roh-Ku).

Berdasarkan penyelidikan para ahli embriologi dapat diketahui fase-fase perkembangan seorang bayi seorang bayi dalam kandungan dan juga keadaan serta ciri-ciri dari bayi tersebut.

Berdasarkan yang dapat kita amati dan kita ketahui keadaan seorang bayi dalam kandungan yaitu :

1. Seorang bayi dalam kandungan selalu dibungkus oleh lapisan Amnion yang berisi air ketuban (Amnion water atau kakang kawah).

Karena seorang bayi berada dalam air ketuban maka sembilan lubang yang ada pada jasmamaninya secara otomatis tertutup dan tidak berfungsi. Kesembilan lubang itu adalah : dua lubang telinga, dua lubang mata, dua lubang hidung, satu lubang mulut, satu lubang anus, satu lubang kelamin. Tetapi ada satu lubang yang ke sepuluh justru terbuka yaitu lubang pusar yang dihubungkan oleh tali plasenta ke rahim ibu. Tali plasenta ini berfungsi sebagai alat untuk menyalurkan zat-zat makanan dari rahim ibu kepada bayi tersebut. Dalam bahsa Jawa tali plasenta tersebut dinamakan adik ari-ari.

2. Dengan tertutupnya sembilan lubang yang terdapat pada seorang bayi dalam kandungan rahim ibu, maka secara otomatis seluruh indera bayi belum berfungsi dengan kata lain bayi pada saat itu tidak bisa melihat, mendengar, berkata-kata, bernafas, serta tidak bisa buang air besar maupun air kecil. Tetapi rohani bayi tersebut pada saat itu sudah befungsi sifat ma’aninya.

3. Apa yang dirasakan oleh bayi pada saat berada dalam kandungan rahim ibu, tidak seorangpun mengetahuinya, kecuali bayi itu sendiri. Sayangnya setiap bayi yang telah tumbuh dewasa tidak dapat mengingat apa yang telah ia rasakan pada waktu ia berada dalam kandungan rahim ibunya.

Di dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam janin bayi ia telah berjanji kepada Allah SWT. Janji ini dalam bahasa agama disebut Syahadat Awal.

“Dia ingat ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiawa mereka seraya berfirman : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar, kami menyaksikan bahwa Engkau Tuhan kami ……” (QS Al A’raaf 7 : 172).

Berdasarkan ayat tersebut para ahli tasawuf berpendapat bahwa seorang bayi dalam kandungan sebenarnya sudah bersyahadah atau telah menyaksikan Wujud Tuhannya dengan mata rohaninya. Hal dikarenakan sifat ma’ani dan rohaninya masih berfungsi dengan baik, belum terpengaruh oleh hawa nafsu yang berada pada jasadnya. Sehingga seorang bayi yang masih berada dalam kandungan dapat dikategorikan masih suci baik lahir maupun batin. 

Tetapi sayangnya bayi tersebut belum mampu mengingat apa yang dirasakan dan dialaminya saat itu karena daya ingat akalnya belum berfungsi. Para ahli tasawuf mengatakan bahwa bayi dalam kandungan ibu sedang melakukan suatu Laku Islam Yang Sejati yaitu laku Musyahadah kepada Allah dengan berserah diri secara total kepada Allah SWT. Falsafah Jawa menyebut keadaan tersebut dengan istilah “mati Dalam Hidup” di alam suwung.

Idul Fithri Sebagai Proses Kembali Ke Pencipta

Setelah seorang bayi dalam kandungan telah cukup bulannya yaitu selama kurang lebih sembilan bulan berada dalam kandungan maka ia secara otomatis akan dilahirkan ke alam dunia ini oleh ibunya, inilah yang disebut dengan hari kelahiran seorang bayi, yang diistilahkan dalam dunia kedokteran dengan istilah “Natal”, sedang keadaan bayi dalam kandungan disebut masa “Pre-Natal”.

Setelah bayi lahir ke dunia sampai berusia lima tahun ia masih dikategorikan seorang manusia yang masih “suci” karena pengaruh-pengaruh hawa nafsunya belumlah berdampak negative terhadap kesucian rohaninya.

Tetapi ketika seorang manusia memasuki usia akil baligh sampai ia dewasa dan lanjut usia, maka mulailah lingkungan duniawi dan hawa nafsunya mempengaruhi kebersihan rohaninya, hal ini dikarenakan beberapa hal yaitu :

1. Ktika seorang bayi dilahirkan pertama kalinya dari rahim seseorang maka secara ototmatis kesembilan lubang yang terdapat pada jasmaninya mulai terbuka dan berinteraksi dengan hawa dunia tetapi selama masa balita alat-alat inderawinya masih sangat selektif dalam menerima rangsangan duniawi sehingga lingkungan dunianya belum berdampak terhadap perkembangan kapasitas rohaninya.

2. Ketika memasuki usia akil baligh dan usia selanjutnya mulailah lingkungan dunia dan hawa nafsunya memberikan dampak negatif. Tetapi setiap manusia telah dibekali oleh Allah perlengkapan yang lengkap baik yang lahir maupun yang batin, yaitu Jasad yang sempurna berikut perlengkapannya yaitu Panca Indera yang terdiri dari : Penglihatan, pendengaran, pengecapan/pengucapan, penciuman, serta rasa jasmani. 

Empat indera tersebut semuanya berada di kepala manusia sedang rasa jasmani tersebar di seluruh tubuh. Selain itu manusia juga dilengkapi oleh akal yang berpusat di kepala yang merupakan perpaduan antara Cipta, Rasa dan Karsa (Fikir, Qalbu, dan Kehendak). Sedangkan perlengkapan yang paling tinggi nilainya adalah Roh yang berasal dari Allah yang telah ditiupkan oleh Allah ketika bayi berusia kurang lebih tiga bulan. Roh manusia ini mempunyai wujud, ciri-ciri, kemampuan, dan kelebihan yang berbeda-beda dengan sifat jasmaninya.

Semua perlengkapan yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia dimaksudkan agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai utusan Allah atau Khalifah Allah di muka bumi tetapi sayangnya mayoritas manusia tidak dapat mengemban tugas tersebut bahkan yang lebih parah lagi kebanyakan manusia itu terbelit dengan hawa nafsunya dan dunianya sehingga lupa terhadap tugasnya, lupa terhadap Tuhannya, lupa terhadap syahadatnya, dan lupa terhadap asalnya. Dengan kata lain pada saat itu manusia buta mata hatinya terhadap Tuhannya dan tidak mengenal Asal muasalnya yaitu dari Allah SWT.

Padahal suatu saat setiap manusia akan mengalami kematian dan rohnya harus kembali kepada yang meniupkannya. Oleh sebab itu Allah memberitahukan kepada setiap manusia agar ia mencari Kampung Akhirat (kampong asalnya) dan juga harus berusaha mengenal dan menemui Allah (Liqa’Allah) ketika ia masih berasa dan hidup di aats bumi.

Dan carilah dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, kampong Akhirat dan janganlah kamu lupakan bagimu di dunia dan berbuat baiklah……” (QS Al Qashash 28 : 77).

“Hai manusia! Sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga engkau menemuiNya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 6)

Berdasarkan ayat tersebut, Allah memerintahkan agar manusia berusaha untuk kembali menemui Allah agar nantinya ketika wafat Rohnya dapat kembali ke asalnya yaitu Allah. Kembalinya seorang manusia kepada Allah sebagai Al Fathir, hal ini disebut dengan istilah Idul Fithri (Id = kembali, Fithri = Pencipta).

Proses kembalinya seorang manusia ke Pencipta dikiaskan dengan bahasa symbol sebagaimana awal mula kejadian manusia (yaitu keadaan seperti bayi dalam kandungan). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an yaitu :

“Dan sesungguhnya kamu dating kepada Kami sendirian sebagaimana kami ciptakan kamu pada mulanya (awal penciptaan)….” (QS Al An’am 6 : 94).

“Kamu akan kembali menemui-Nya, sebagaimana Ia menciptakan pada mulanya (bayi dalam kandungan)”. (QS Al A’raaf 7 : 29).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut setiap manusia akan kembali menemui Sang Pencipta (Al Fathir) sebagaimana ia diciptakan pada mulanya yaitu seorang bayi. Tetapi kata “bayi” di ayat tersebut bukanlah arti yang sesungguhnya melainkan kata mutasyabihat (symbol) yang maksudnya adalah setiap manusia yang ingin kembali menemui Sang Pencipta (Idul Fithri) maka ia harus melakukan suatu laku seperti seorang bayi dalam kandungan. 

Para ahli tasawuf menamakan laku tersebut dengan istilah Shaum Khawasul Khawas menjadi Bayi Ma’ani. Untuk mengetahui cara atau metode bertemu kembali dengan Sang Maha Pencipta (Idul Fithri), para pembaca dapat bertanya kepada Guru Mursyid atau juga membaca buku lain dari penulis yang berjudul KUNCI MEMAHAMI ILMU MA’RIFAT. Tetapi sebelum membaca buku tersebut sebaiknya para pembaca merenungkan ayat-ayat Al Qur’an dan hadits Rasulullah SAW di bawah ini :

“hai orang-orang yang BERIMAN, telah ditulis PUASA atas kamu sebagaimana telah ditulis PUASA atas orang-orang beriman sebelum kamu, agar kamu bertambah TAQWA”. (QS Al Baqarah 2 : 183).

“…. Dan berpuasa itu lebih baik bagi kamu, JIKA KAMU MENGETAHUI” (QS Al Baqarah 2 : 184)

“…. Dan hendaknya kamu MENYEMPURNAKAN BILANGAN BULAN ITU dan juga kamu hendaknya MENGAGUNGKAN ALLAH ATAS PETUNJUK-NYA ITU YANG TELAH DIBERIKAN KEPADAMU, supaya kamu BERSYUKUR”. (QS Al Baqarah : 185)

“Jika engkau ru’yah Hilal atau menyaksikan Bulan maka berpuasalah”. (Hadits)

“…… hendaklah kamu juga MENUTUP PANDANGANMU/PENGLIHATANMU”. (QS An Nuur 24 : 30).

“Kami TUTUP JUGA PENDENGARAN MEREKA beberapa lama di dalam GUA”. (QS Al Kahfi 18 : 11).

“Dan sesungguhnya kalau Kami memerintahkan kepada mereka : “Bunuhlah ANFUSMU atau keluarlah dari RUMAHMU (dirimu)!”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka MELAKSANAKAN pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan iman mereka, dan kalau demikian pasti Kami berikan kepada mereka KARUNIA YANG BESAR DARI SISI KAMI”. (QD An Nisaa 4 : 66-67).

“Ya itu kamu akan menyaksikan SINAR MATAHARI terbit dari sebelah kanan GUA dan terbenam di sebelah kiri GUA, sedangkan mereka ketika itu berada di TEMPAT YANG LUAS dalam Gua tersebut …..” (QS Al Kahfi 18 : 17).

“Sambil mereka berkata : “Ya Tuhan kami, SEMPURNAKANLAH BAGI KAMI CAHAYA KAMI dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At Tahrim 66 : 8)

Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka itu tidak sadar dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan  ke kiri, SEDANGKAN ANJING MEREKA MENJULURKAN KEDUA LENGANNYA KE MUKA PINTU GUA. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kalian akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan (tanda Tanya) terhadap mereka”. (QS Al Kahfi 18 : 18)

“Puasa adalah milikKu dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya”. (Al Shawm li wa-ana ajabihi) (Hadits Qudsi).

“Apabila engkau berpuasa, hendaklah telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu, dan mulutmu, tanganmu, dan setiap anggota tubuhmua”. (Hadits).

“Banyak orang berpuasa, hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu”. (Hadits).

“Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak memperoleh kebaikan dari puasanya kecuali lapar dan haus”. (Hadits).

“Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hatimu haus dan badanmu telanjang, mudah-mudahan mata hati kalian bisa melihat Allah di dunia ini” (Hadits).

Seorang sufi bernama Al Hujwiri dalam bukunya yang berjudul KASYFUL MAHJUB meriwayatkan : “Aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan memohon kepada beliau untuk memberikan nasehat kepadaku, dan beliau menjawab : “Tahanlan lidahmu dan tutuplah indera-inderamu”.

“Tatkala aku berada di sisi Rasululullah SAW tiba-tiba beliau bertanya “Adakah orang asing diantara kamu? Lantas beliau bersabda : “Angkat tangan kamu dan memerintahkan agar menutup Pintu”. (HR Al Hakim dari Ya’la bin Syidad).

Rasulullah SAW bersabda : “Lishaimi farhatthani, farhatun’ indal ifthari, wa farhatun’indal liqa’rabihi”. Artinya : bagi orang yang berpuasa pada saat kegembiraan, pertama di saat berbuka dan kedua disaat bertemu Tuhannya. Hadits).

Hai manusia! Sesungguhnya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, hingga kamu menemui-Nya”. (QS Al Insyiqaaq 84 : 64).

“Dan sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah (liman kaana yarjuloha)…” (QS Al Ahzab 33 : 21).

‘Barangsiapa yang mengharapkan bertemu dengan Allah, maka suatu saat waktu yang dijanjikan Allah akan tiba”. (QS Al Ankabuut 29 : 5).

“Barangsiapa yang bertemu dengan Allah, maka ia harus melakukan amal yang benar….” (QS Al Kahfi 18 : 110).

“… (yaitu) bunuhlah nafs-mu dan keluarlah dari rumahmu (anfus-mu) ani aqtuluu anfusakum awiakhrujuu min diyaarikum)…” (QS An Nisaa’ 4 : 66).

“… barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah menuju Allah dan Rasul-Nya…” (QS An Nisaa 4 : 1100).
“…maka masuklah ke dalam Qua, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan Rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang bermanfaat bagimu dalam urusan kamu, yaitu kamu akan melihat Cahaya MATAHARI bersinar dari sebelah kanan di dalam Gua, dan tenggelam di sebelah kiri kamu berada di tempat Yang luas dalam Gua tersebut. (Nurul Khatami)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...