Jumat, 01 September 2017

Tawassul dengan Shalawat

Sunnah Rasulullah agar doa inti yang kita panjatkan kepada Allah lebih mustajab maka kita disunnahkan diawali bertawasul dengan amal kebaikan berupa memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawasul dengan amal kebaikan berupa sholawat (menghadiahkan doa selamat bagi Rasulullah) sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Azza wa Jalla

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“.

Bersholawat adalah salah satu contoh bertawassul dengan Rasulullah yang telah wafat.

Kita dianjurkan berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan sholawat bukan berarti Rasulullah membutuhkan sholawat dari umatnya namun kita mendapatkan balasan doa (salam) dari Rasulullah dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) di sisi Allah.

Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seseorang mengucapkan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku sehingga aku membalas salam.(HR. An-Nasa’i Al-Hakim 2/421)

Begitupula sejak dahulu kala, para Sahabat bertawasul dengan penduduk langit yakni para malaikat dan kaum muslim yang meraih manzilah (maqom/derajat) disisiNya yakni orang-orang sholeh yang sudah wafat maupun yang masih hidup

Pada awalnya para Sahabat bertawasul dengan ucapan salam seperti

ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN
(Semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan)

Namun kemudian Rasulullah menyederhanakan ucapan tawasulnya dengan ucapan

“ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN”
(Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih)

Kemudian Rasulullah menjelaskan

“Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“

Berikut riwayat selengkapnya,

Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh telah menceritakan kepada kami Ayahku telah menceritakan kepada kami Al A’masy dia berkata; telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Abdullah dia berkata; Ketika kami membaca shalawat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami mengucapkan: ASSALAAMU ‘ALALLAHI QABLA ‘IBAADIHI, ASSALAAMU ‘ALAA JIBRIIL, ASSSALAAMU ‘ALAA MIKAA`IIL, ASSALAAMU ‘ALAA FULAAN WA FULAAN (Semoga keselamatan terlimpahkan kepada Allah, semoga keselamatan terlimpah kepada Jibril, Mika’il, kepada fulan dan fulan). 

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selesai melaksanakan shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan bersabda: Sesungguhnya Allah adalah As salam, apabila salah seorang dari kalian duduk dalam shalat (tahiyyat), hendaknya mengucapkan; AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH SHAALIHIIN, (penghormatan, rahmat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat, dan keberkahan tetap ada pada engkau wahai Nabi. 

Keselamatan juga semoga ada pada hamba-hamba Allah yang shalih). Sesungguhnya jika ia mengucapkannya, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi, lalu melanjutkan; ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASUULUH (Aku bersaksi bahwa tiada Dzat yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya). Setelah itu ia boleh memilih do’a yang ia kehendaki. (HR Bukhari 5762)

Oleh karenanya berdoa setelah sholat. lebih mustajab karena sholat berisikan pujian kepada Allah, bertawasul dengan bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam dan tawasul dengan hamba-hamba yang sholeh baik di langit maupun di bumi, yang hidup maupun yang telah wafat.

Begitupula dalam susunan doa setelah sholat, sebelum doa inti kita panjatkan kepada Allah Ta’ala, kita bertawasul dengan amal kebaikan yakni memohonkan ampunan kepada kaum muslim yang telah wafat.

“Astaghfirullahalazim li wali waa lidaiya wali jami il muslimina wal muslimat wal mukminina wal mukminat al ahya immin hum wal amwat”

“Ampunilah aku ya Allah yang Maha Besar, kedua ibu bapaku, semua muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang masih hidup dan yang telah mati.”

Sebaliknya penduduk langit, jika mereka menginginkan dapat mendoakan kepada Allah Ta’ala bagi penduduk dunia yang menjalin tali silaturahmi dengan mereka

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).

Jadi jika seseorang melakukan ziarah kubur dalam rangka silaturahmi dan berbicara hajatnya dengan ahli kubur bukan berarti ahli kubur yang mengabulkan atau mewujudkan hajat pemohon melainkan ahli kubur dengan maqamnya (manzilah, kedudukan, derajat) disisi Allah mendoakan hajat pemohon kepada Allah Azza wa Jalla.

Berikut contoh salah satu ulama panutan mereka menyampaikan pendapat ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa umat Islam yang berdoa kepada Allah Ta’ala diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang telah wafat dianggap atau dituduh SYIRIK AKBAR, sebagaimana yang dapat disaksikan dalam sebuah video pada menit 13:47 yang diupload pada http://www.youtube.com/watch?v=MnW6wJYjIlU

Berikut kutipan dari hal 44, kitab yang ditulis oleh salah satu pengikut Wahabisme yakni kitab penjelasan (syarah) Qawa’idul ‘Arba (Empat kaidah Tauhid) karya ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab yang dapat diunduh (download) dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf

** awal kutipan **
Adapun tawassul dengan makhluk kepada Allah, maka hal ini adalah wasilah yang dilarang dan syirik, dan itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dahulu
** akhir kutipan ***

Bahkan mereka menghalalkan darah umat Islam yang berdoa kepada Allah Ta’ala diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang telah wafat sebagaimana yang tercantum pada hal 36

** awal kutipan **
Kami katakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membedakan mereka, bahkan menganggap mereka seluruhnya musyrik, sehingga halal darah serta harta mereka.
**** akhir kutipan ****

Dari dalil-dalil yang mereka salah gunakan dan salah pahami untuk mengkafirkan umat Islam, tampak jelas mengikuti orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim yakni orang-orang yang suka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]

Mereka terjerumus mengkafirkan umat Islam salah satunya adalah akibat mereka belum dapat membedakan antara tawassul umat Islam dengan tawassul kaum musyrik sebagaimana yang termuat dalam firman Allah yang diturunkan bagi orang-orang kafir seperti yang artinya,

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (QS Az Zumar [39]:3)

“Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan kaum musyrik berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah” (QS Yunus [10]:18)

Jadi dari kedua firman Allah Ta’ala tersebut dapat kita ketahui bahwa,

Kaum musyrik bertawassul DENGAN MENYEMBAH BERHALA yang diyakini (dianggap) oleh mereka akan mendekatkan mereka kepada Allah Ta’ala.

Kaum musyrik bertawassul DENGAN MENYEMBAH BERHALA yang diyakini (dianggap) oleh mereka akan memperoleh syafa’at di sisi Allah Ta’ala.

Jadi kaum musyrik bertawassul dengan SESUATU YANG DIBENCI oleh Allah Ta’ala yakni BERTAWASUL dengan MENYEMBAH BERHALA

Sedangkan umat Islam bertawassul dengan SESUATU YANG DICINTAI oleh Allah Ta’ala yakni BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Begitupula pada hakikatnya berdoa kepada Allah diawali bertawassul dengan Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah) yang telah wafat adalah termasuk BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni rasa cinta kepada Rasulullah maupun para kekasih Allah (Wali Allah)

Berikut kutipan penjelasan Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki

****** awal kutipan *******
Tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan.

Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.

Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.

Saya katakan : Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah SWT, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah SWT mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah : يحبّونهم ويحبّونه atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.

Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.

Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridlo terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.

Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemaha-tahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.

Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, itu sama dengan orang yang mengatakan : Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan rasa cintaku kepada Nabi-Mu. Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
****** akhir kutipan ******

Ulama panutan mereka, ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab dinasehati oleh salah satu gurunya yakni Syaikh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i agar dia tidak mengkafirkan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)

***** awal kutipan *****
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
***** akhir kutipan ******

Mereka yang berkeyakinan ada perbedaan antara yang masih hidup dengan yang sudah wafat atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan mereka dalam kemusyrikan yang nyata. karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka yang masih hidup dengan yang sudah wafat tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap yang masih hidup adalah sumber manfaat dan yang sudah mati adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian.

Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa bertawasul dengan Rasulullah tidak terputus dengan wafatnya Rasulullah.

Beliau menyampaikan firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )

Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar al-Haitami berkata bahwa ayat ini (QS An-Nisa [4]: 64) menjadi petunjuk dianjurkan datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk minta ampun dosa kepada Allah di sisi Beliau dan Beliau minta ampun dosa umatnya. Dan ini (bertawasul dengan Rasulullah) tidak terputus dengan wafat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham, Dar al-Jawami’ al-Kalam, Kairo, Hal. 12)

Contoh Salafush Sholeh di sisi kuburan Rasulullah yang berdoa kepada Allah MENGAWALINYA BERTAWASSUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni dengan memuji Rasulullah sebelum doa inti dipanjatkan kepada Allah Ta’ala untuk ahli kubur atau kepentingan sendiri.

Pujiannya adalah,

“Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“

Salafush Sholeh tersebut berdoa kepada Allah MENGAWALINYA BERTAWASSUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni dengan memuji Rasulullah berdalilkan firman Allah Ta’ala yang artinya

‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa [4]: 64),

Doa inti Salafush Sholeh tersebut adalah memohonkan ampun bagi dosa-dosanya kepada Allah dan meminta syafaat kepada Rasulullah (agar Rasulullah memohonkan ampunan baginya) kepada Allah.

Perbuatan Salafush Sholeh tersebut disaksikan oleh Al-Atabi ra sehingga tertidur.

Dalam tidurnya Al Atabi ra bermimpi berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu Beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”

Riwayat ini disampaikan oleh banyak ulama terdahulu bahkan termuat pula dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir. Contohnya terbitan Sinar Baru Algensindo, th 2000, juz 5, hal 283-284https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf

Begitupula Al Imam Al Hafizh An Nawawi, ulama dari kalangan Syafi’iyah, ketika menerangkan mengenai adab ziarah makam Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata “Kemudian ia (peziarah) kembali ke tempat awalnya (setelah bergerak satu hasta ke kanan untuk menyalami Abu Bakar dan satu hasta yang lain menyalami Umar) sambil menghadap ke arah wajah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Lalu ia bertawassul dari beliau kepada Allah. Sebaik-baik dalil dalam masalah ini adalah atsar yang diceritakan oleh Imam al Mawardi al Qadhi, Abu ath-Thayyib dan ulama lainnya (An Nawawi, Al Majmuu’, 8/256)

Imam Ibnu al-Hajj al-Abdari, ulama dari mazhab Maliki berkata,

***** awal kutipan *****
“Tawasul dengan beliau merupakan media yang akan menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan. Karena keberkahan dan keagungan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam di sisi Allah itu tidak bisa disandingi oleh dosa apapun. Syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam lebih agung dibandingkan dengan semua dosa, maka hendaklah orang menziarahi (makam) nya bergembira.

Dan hendaklah orang tidak mau menziarahinya, mau kembali kepada Allah Ta’ala dengan tetap meminta syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam.

Barangsiapa yang mempunyai keyakinan yang bertentangan dengan hal ini, maka ia adalah orang yang terhalang (dari syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam).

Apakah ia tidak pernah mendengar firman Allah yang berbunyi:

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk dita’ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )

Oleh karena itu, barang siapa yang mendatangi beliau, berdiri di depan pintu beliau, dan bertawassul dengan beliau, maka ia akan mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan pernah ingkar janji.

Allah Ta’ala telah berjanji untuk menerima tobat orang yang datang, berdiri di depan pintu beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) dan meminta ampunan kepada Tuhannya.

Hal ini sama sekali tidak diragukan lagi, kecuali oleh orang yang menyimpang dari agama dan durhaka kepada Allah dan RasulNya. “Kami berlindung diri kepada Allah dari halangan mendapatkan syafaat Nabi shallallahu alaihi wasallam” (Ibnu al Hajj, Al Madkhal, 1/260)
****** akhir kutipan ******

Sedangkan Imam Ibnu Qudamah dari kalangan mazhab Hanbali juga memberikan petunjuk di dalam adab ziarah ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, agar peziarah membaca ayat di atas, mengajak bicara Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan memakai ayat tersebut dan meminta kepada beliau untuk dimintakan ampunan kepada Allah.

***** awal kutipan ******
Maka setelah peziarah membaca salam, doa dan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam hendaknya ia berdoa,

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah berfirman, sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. ( QS An Nisaa [4] : 64 )

Aku datang kepadamu (Nabi shallallahu alaihi wasallam) sebagai orang yang meminta ampunan atas dosa-dosaku, dan sebagai orang yang meminta syafaat melaluimu kepada Tuhanku. Aku memohon kepadaMu , wahai Tuhanku, berilah ampunan kepadaku, sebagaimana Engkau berikan kepada orang yang menemui beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) ketika masih hidup.”

Setelah itu, peziarah berdoa untuk kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh kaum muslimin
****** akhir kutipan *******

Mereka yang menganggap bertawassul dengan Rasulullah maupun para Wali Allah (kekasih Allah) yang telah wafat adalah syirik akbar berpendapat bahwa firman Allah dalam (QS An-Nisa [4]: 64) hanya berlaku ketika Rasulullah masih hidup.

Berikut kutipan penjelas Prof, DR Ali Jum’ah tentang (QS An-Nisa [4]: 64) dalam kitab berjudul ”Al Mutasyaddidun, manhajuhum wa munaqasyatu ahammi qadlayahum” telah diterbitkan kitab terjemahannya dengan judul ” Menjawab Dakwah Kaum ‘Salafi’ ” diterbitkan oleh penerbit Khatulistiwa Press

***** awal kutipan *****
Adapun ayat ketiga ini (QS An-Nisa [4] : 64) berlaku secara umum (mutlak), tidak ada sesuatupun yang mengikatnya, baik dari nash maupun akal. Di sini tidak ada sesuatu makna yang mengikatnya dengan masa hidup Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di dunia. Karena itu akan tetap ada hingga hari kiamat.

Di dalam Al Qur’an, yang menjadi barometer hukum adalah umumnya lafaz, bukan berdasarkan khususnya sebab. Oleh karena itu, barang siapa yang mengkhususkan ayat ini hanya ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masih hidup, maka wajib baginya untuk mendatangkan dalil yang menunjukkan hal itu.

Keumuman (kemutlakan) makna suatu ayat tidak membutuhkan dalil, karena ‘keumuman’ itu adalah asal. Sedangkan taqyid (mengikat ayat dengan keadaan tertentu) membutuhkan dalil yang menunjukkannya.

Ini adalah pemahaman ulama ahli tafsir, bahkan mereka yang sangat disiplin dengan atsar seperti Imam Ibnu Katsir. Dalam tafsirnya, setelah menyebutkan ayat di atas, Ibnu Katsir lalu mengomentarinya dengan berkata “Banyak ulama dalam kitab Asy Syaamil menyebutkan kisah yang sangat masyur ini”
***** akhir kutipan *****

Oleh karena kisah tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bagi mereka adalah kisah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah sehingga ada pula pihak yang pada saat menerbitkan ulang kitab tafsir Ibnu Katsir menghilangkan kisah tersebut.

Terjadi pula upaya pemalsuan kitab Al Adzkar karya Al Imam Al Hafizh An Nawawi dengan mengubah isinya dan menghilangkan kisah tentang Arab Badui yang bertawassul ke makam Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.

Kabar upaya pemalsuan kitab Al Adzkar disampaikan langsung oleh pentahqiq kitab tersebut yakni Syeikh Abdul Qadir Al Arnauth sebagaimana yang dikabarkan pada http://kitabkita.blogspot.co.id/2010/09/tentang-pemalsuan-al-adzkar.html

Berikut kutipan pengakuannya

***** awal kutipan *****
“Sesungguhnya kitab yang berada di tangan kita (Al Adzkar) Imam An Nawawi Rahimahullah telah dicetak dengan tahqiq saya di penerbitan Al Mallah Damaskus tahun 1391 H, bertepatan tahun 1971 H. Kemudian saya mentahqiqnya kembali, dan yang menerbitkannya adalah Dar Al Huda Riyadh, Al Ustadz Ahmad An Nuhas.

Ia telah mengajukannya kepada Idarah Al Ammah li Syu’un Al Masahif wa Muraqabah Al Mathbu’at (Bagian Administrasi Umum untuk Urusan Mashaf-mushaf dan Buku-buku) yang berada di bawah Al Buhuts Al Ilmiyah wa Ad Dakwah wa Al Irsyad Riyadh (Badan Penelitian Ilmiyah, Dakwah dan Penyuluhan Riyadh).”

Setelah itu Syeikh Abdul Qadir menyebutkan bahwa seorang asatidz menemukan adanya penghilangan dan penggantian kalimat penulis, sebagaimana yang diterangkan di atas. Lalu beliau menulis,

“Dan perbuatan yang menimpa kitab ini bukan dari saya. Saya hamba yang faqir dan bukan dari pemilik Dar Al Huda, Al Ustadz Ahmad An Nuhas.

Namun dari Hai’ah Al Muraqabah Al Muthbu’at (Badan Pengawasan Buku-buku).

Pemilik Dar Al Huda dan muhaqqiq kitab tidak bertanggung jawab tentang hal ini. Yang bertanggung jawab atas hal ini adalah Hai’ah Muraqabah Al Mathbu’at.”

Beliau kemudian mengatakan, “Tidak diragukan lagi, bahwa mengubah tulisan para penulis tidak diperbolehkan. Ini adalah amanah ilmiah. Muhaqqiq atau mudaqqiq membiarkannya apa adanya…”
***** akhir kutipan *****

Sebagai bukti otentik penulis blog tersebut menyertakan hasil scan pernyataan Syeikh Abdul Qadir tersebut.





Begitupula mereka yang mencela dan memperolok-olok umat Islam yang ziarah kubur dan mengucapkan salam kepada ahli kubur dengan celaan seperti “curhat dengan kuburan” atau “berdialog dengan tengkorak” karena pemahaman mereka selalu dengan makna dzahir sehingga mereka salah memahami seperti firman Allah Ta’ala yang artinya,

“dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar” (QS Faathir [35]:22)

Berikut contoh penjelasan dari kitab tafsir Jalalain penerbit Sinar Baru Algensindo jilid 2 halaman 574

(dan tidak pula sama “orang-orang yang hidup” dan “orang-orang yang mati”) orang-orang beriman dengan orang-orang kafir; ditambahkan lafaz la pada ketiga ayat di atas untuk mengukuhkan makna tidak sama.

(Sesungguhnya Allah memberikan “pendengaran” kepada siapa yang dikehendaki-Nya) untuk mendapat hidayah lalu ia menerimanya dengan penuh keimanan

(dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan “orang yang di dalam kubur” dapat “mendengar”) yakni orang-orang kafir; mereka diserupakan dengan orang-orang yang telah mati, maksudnya kamu tidak akan sanggup menjadikan mereka “mendengar”, kemudian mereka mau menerima seruanmu. (QS Faathir [35]:22)

Jadi para mufassir (ahli tafsir) menjelaskan bahwa kamu (Rasulullah) tidak akan sanggup menjadikan “orang-orang yang mati” atau “orang yang di dalam kubur” dalam makna majaz (makna kiasan atau metaforis) yang artinya “orang-orang kafir” mau menerima seruanmu (seruan Rasulullah) karena sesungguhnya Allah memberikan “pendengaran” dalam makna majaz (makna kiasan atau metaforis) yang artinya memberikan petunjuk atau hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Jadi firman Allah Ta’ala tersebut tidak ada kaitannya dengan ahli kubur dalam makna dzahir.

Allah Ta’ala mengibaratkan orang-orang kafir seperti “orang-orang yang mati” karena orang-orang kafir dapat mendengar seruan namun tidak mau menerima ajakan atau menjawab seruan yakni melaksanakan apa yang diperintahkanNya dan menjauhi apa yang dilarangNya.

Begitupula Allah Ta’ala mengibaratkan “orang-orang kafir” seperti orang-orang tuli yang tidak bisa “mendengar” (menerima ajakan atau menjawab seruan) sama sekali apabila mereka sedang membelakangi kita.

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Maka Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar, dan menjadikan orang-orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka itu berpaling membelakang* (Q.S Ar Ruum: [30]: 52)

“Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. dan Jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu). (Q.S Al Anfaal [8] :23)

Jadi akibat mereka secara otodidak (shahafi) menterjemahkan dan memahami nash (dalil) selalu dengan makna dzahir sehingga menganggap ahli kubur tidak dapat mendengar maka secara tidak langsung mereka mencela atau memperolok-olok Rasulullah “berdialog dengan tengkorak”

Rasulullah bersabda bahwa ahli kubur dapat mendengar namun mereka tidak dapat menjawab secara langsung.

Dari Tsabit Al Bunani dari Anas bin Malik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggalkan jenazah perang Badar tiga kali, setelah itu beliau mendatangi mereka, beliau berdiri dan memanggil-manggil mereka, beliau bersabda: Hai Abu Jahal bin Hisyam, hai Umaiyah bin Khalaf, hai Utbah bin Rabi’ah, hai Syaibah bin Rabi’ah, bukankah kalian telah menemukan kebenaran janji Rabb kalian, sesungguhnya aku telah menemukan kebenaran janji Rabbku yang dijanjikan padaku. Umar mendengar ucapan nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana mereka mendengar dan bagaimana mereka menjawab, mereka telah menjadi bangkai? Beliau bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada ditanganNya, kalian tidak lebih mendengar ucapanku melebihi mereka, hanya saja mereka tidak bisa menjawab (secara langsung) (HR Muslim 5121)

Rasulullah bersabda, “Tidak seorangpun yang mengunjungi kuburan saudaranya dan duduk kepadanya (untuk mendoakannya) kecuali dia merasa bahagia dan menemaninya hingga dia berdiri meninggalkan kuburan itu.” (HR. Ibnu Abu Dunya dari Aisyah dalam kitab Al-Qubûr).

Rasulullah bersabda, “Tidak seorang pun melewati kuburan saudaranya yang mukmin yang dia kenal selama hidup di dunia, lalu orang yang lewat itu mengucapkan salam untuknya, kecuali dia mengetahuinya dan menjawab salamnya itu.” (Hadis Shahih riwayat Ibnu Abdul Bar dari Ibnu Abbas di dalam kitab Al-Istidzkar dan At-Tamhid).

Pada suatu waktu Hasan al Qassab dan kawannya datang berziarah ke kuburan muslimin. Setelah mereka memberi salam kepada ahli kubur dan mendoakannya, mereka kembali pulang. Di perjalanan ia bertemu dengan salah satu temannya dan berkata kepada Hasan al-Qassab : “Ini hari adalah hari Senin. Coba kamu bersabar, karena menurut Salaf bahwa ahli kubur mengetahui kedatangan kita di hari Jumat dan sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya”

al-Imam Sofyan al-Tsauri.rhm telah diberitahukan dari al-Dhohhak bahwa siapa yang berziarah kuburan pada hari Juma’t dan Sabtu sebelum terbit matahari maka ahli kubur mengetahui kedatangannya. Hal itu karena kebesaran dan kemuliaan hari Juma’t.

Diriwayatkan salah satu dari keluarga Asem al Jahdari pernah bermimpi melihatnya dan berkata kepadanya : “ Bukankan kamu telah meninggal dunia? Dan dimana kamu sekarang? “ Asem berkata : “ Saya berada di antara kebun-kebun sorga. Saya bersama teman-teman saya selalu berkumpul setiap malam Juma’t dan pagi hari Juma’t di tempat Abu Bakar bin Abdullah al Muzni. Di sana kita mendapatkan berita-berita tentang kamu di dunia. Kemudian saudaranya yang bermimpi bertanya : “Apakan kalian berkumpul dengan jasad-jasad kalian atau dengan ruh-ruh kalian? “ Maka mayyit itu ( Asem al-Jahdari ) berkata : “ Tidak mungkin kami berkumpul dengan jasad-jasad kami karena jasad- jasad kami telah usang. Akan tetapi kami berkumpul dengan ruh-ruh kami “.. Kemudian ditanya : “Apakah kalian mengetahui kedatangan kami ? “. Maka dijawab : “ Ya!.. Kami mengetahui kedatangan kamu pada hari Juma’t dan pagi hari Sabtu sampai terbit matahari “. Kemudan ditanya : “ Kenapa tidak semua hari-hari kamu mengetahui kedatangan kami? “. Ia (mayyit) pun menjawab : “ Ini adalah dari kebesaran dan keafdholan hari Juma’t “.

Ibunya Utsman al Tofawi disaat datang sakaratul maut, berwasiat kepada anaknya : “Wahai anakku yang menjadi simpananku di saat datang hajatku kepadamu. Wahai anakku yang menjadi sandaranku disaat hidupku dan matiku. Wahai anakku janganlah kamu lupa padaku menziarahiku setelah wafatku“. Setelah ibunya meninggal dunia, ia selalu datang setiap hari Juma’t kekuburannya, berdoa dan beristighfar bagi arwahnya dan bagi arwah semua ahli kubur. Pernah suatu hari Utsman al Tofawi bermimpi melihat ibunya dan berkata : “Wahai anakku sesunggunya kematian itu suatu bencana yang sangat besar. Akan tetapi, Alhamdulillah, aku bersyukur kepada-Nya sesungguhnya aku sekarang berada di Barzakh yang penuh dengan kenikmatan. Aku duduk di tikar permadani yang penuh dengan dengan sandaran dipan-dipan yang dibuat dari sutera halus dan sutera tebal. Demikianlah keadaanku sampai datangnya hari kebangkitan”..
Utsman al Tofawi bertanya : “ Ibu!.. Apakah kamu perlu sesuatu dari ku ? “
Ibunya pun menjawab : “Ya!..Kamu jangan putuskan apa yang kamu telah lakukan untuk menziarahiku dan berdoa bagiku. Sesungguhnya aku selalu mendapat kegembiraan dengan kedatanganmu setiap hari Juma’t. Jika kamu datang ke kuburanku semua ahli kubur menyambut kedatanganmu dengan gembira“.

al-Fadhel bin Muaffaq disaat ayahnya meninggal dunia, sangat sedih sekali dan menyesalkan kematiannya. Setelah dikubur, ia selalu menziarahinya hampir setiap hari. Kemudian setelah itu mulai berkurang dan malas karena kesibukannya. Pada suatu hari dia teringat kepada ayahnya dan segera menziarahinya. Disaat ia duduk disisi kuburan ayahnya, ia tertidur dan melihat seolah-olah ayahnya bangun kembali dari kuburan dengan kafannya. Ia menangis saat melihatnya. Ayahnya berkata : “wahai anakku kenapa kamu lalai tidak menziarahiku? Al-Fadhel berkata : “ Apakah kamu mengetahui kedatanganku? ” Ayahnya pun menjawab : “ Kamu pernah datang setelah aku dikubur dan aku mendapatkan ketenangan dan sangat gembira dengan kedatanganmu begitu pula teman-temanku yang di sekitarku sangat gembira dengan kedatanganmu dan mendapatkan rahmah dengan doa-doamu”. Mulai saat itu ia tidak pernah lepas lagi untuk menziarahi ayahnya.

Oleh karenanya bagi umat Islam yang tidak lagi memiliki waktu untuk menziarahi ahli kubur setiap hari Jum’at maka untuk menjaga tali silaturahmi dapat mengirimi hadiah bacaan Yasin setiap malam Jum’at.

Jadi mereka yang melarang (mengharamkan) hadiah bacaan Yasin setiap malam Jum’at maka ketika mereka di alam barzakh (alam penantian) yang sangat lebih lama dari alam dunia dalam kesendirian karena tidak ada yang bersilaturahmi.

Berikut ceramah Syaikh KH. Muhyiddin Abdul Qadir al-Manafi yang dikabarkan pada http://talimulquranalasror.blogspot.com/2014/03/rasulullah-pernah-menyebut-bangsa.html

******* awal kutipan *******
Tatkala salah satu guru Prof. DR. al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dan Al-‘Allamah al-‘Arif billah Syaikh Utsman bersama rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke Makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba beliau diberikan kasyaf (tersingkapnya hijab) oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. dapat berjumpa dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Di belakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sangat banyak orang yang berkerumunan. Ketika ditanya oleh guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu: “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu?”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun menjawab: “Mereka adalah umatku yang sangat aku cintai.”

Dan diantara sekumpulan orang yang banyak itu ada sebagian kelompok yang sangat banyak jumlahnya. Lalu guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki bertanya lagi: “Ya Rasulullah, siapakah mereka yang berkelompok sangat banyak itu?”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian menjawab: “Mereka adalah bangsa Indonesia yang sangat banyak mencintaiku dan aku mencintai mereka.”

Akhirnya, guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu menangis terharu dan terkejut. Lalu beliau keluar dan bertanya kepada jama’ah: “Mana orang Indonesia? Aku sangat cinta kepada Indonesia.”
****** akhir kutipan ******

Rasulullah merindukan, mencintai dan mengenal umatnya walaupun belum bertemu karena tidak hidup pada zaman Salafush Sholeh namun banyak bersholawat.

Abu Ubaidah bin Jarrah ra bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”.

Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadis no 17017. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ad Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398 hadis no 2744 dengan sanad yang shahih.)

Rasulullah merindukan, mencintai dan mengenal umat yang merindukan dan mencintainya walaupun belum bertemu karena tidak hidup pada zaman Salafush Sholeh namun banyak bersholawat.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Al Habib Umar bin Hafidz menasehatkan bahwa “tanda kerinduan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang sungguh-sungguh di dalam diri seseorang akan menjadikannya benar-benar mengikuti Rasulullah dan banyak bersholawat padanya”

Rasulullah bersabda “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya (pada hari kiamat)”. (HR Bukhari 5702)

Jadi amat merugilah bagi mereka yang mengaku mencintai Rasulullah namun bersholawat hanya pada saat sholat wajib maupun sholat sunnah saja.

Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : ”Orang yang paling dekat denganku nanti pada hari kiamat, adalah mereka yang paling banyak membaca shalawat untukku” (HR. Turmudzi)

Ubayy bin Ka’ab Al-Anshary ra bertanya, “Ya Rasulullah, aku senantiasa membaca shalawat untukmu. Sebaiknya, berapa banyak lagi aku membaca shalawat untukmu? Nabi menjawab, “Terserah kamu.” Ubay bertanya lagi, “Bagaimana kalau seperempat waktu dari setiap hariku?” Nabi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay melanjutkan bertanya, “Sepertiga?” Nabi lagi-lagi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah, itu lebih baik.” Ubay kembali bertanya, “Setengah?” Nabi menjawab, “Sesukamu, jika ditambah akan lebih baik.” Ubay bertanya lagi, “Bagaimana jika kutambah dua pertiga?” Nabi menjawab, “Terserah. Jika kamu tambah lebih baik.” Ubay melanjutkan, “Ya Rasulullah, akan kugunakan seluruh hariku untuk bershalawat kepadamu.” Nabi menjawab, “Kalau begitu, keinginanmu akan dicukupi dan dosamu akan diampuni Allah Subhanau wa Ta’ala.”

Cara mendatangi Rasulullah, selain menziarahi Beliau ke Madinah bagi yang mampu adalah bertawassul dengan bersholawat kepadanya di mana pun berada sehingga kita dikenal oleh Rasulullah.

Hujjatul Islam Al Ghazali meriwayatkan

***** awal kutipan *****
Ada seorang laki-laki yang lupa membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Lalu pada suatu malam ia bermimpi melihat Rasulullah tidak mau menoleh kepadanya, dia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau marah kepadaku?”

Beliau menjawab, “Tidak.”

Dia bertanya lagi, “Lalu sebab apakah engkau tidak memandang kepadaku?”

Beliau menjawab, “Karena aku tidak mengenalmu.”

Laki-laki itu bertanya, “Bagaimana engkau tidak mengenaliku, sedang aku adalah salah satu dari umatmu? Para ulama meriwayatkan bahwa sesungguhnya engkau lebih mengenali umatmu dibanding seorang ibu mengenali anaknya?”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Mereka benar, tetapi engkau tidak pernah mengingat aku dengan shalawat. Padahal kenalku dengan umatku adalah menurut kadar bacaan shalawat mereka kepadaku.”

Terbangunlah laki-laki itu dan mengharuskan dirinya untuk bershalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, setiap hari 100 kali.

Dia selalu melakukan itu, hingga dia melihat Rasululah lagi dalam mimpinya.

Dalam mimpinya tersebut Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sekarang aku mengenalmu dan akan memberi syafa’at kepadamu.” Yakni karena orang tersebut telah menjadi orang yang cinta kepada Rasulullah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau…
***** akhir kutipan *****

Jadi wujud dari merindukan dan mencintai Rasulullah sehingga dikenal oleh Rasulullah adalah dengan memperbanyak shalawat kepada Beliau dan salah satunya dalam acara peringatan Maulid Nabi.

Dalam riwayat yang lain , dari Ahmad dari Anas r.a, katanya : Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , “Aku sangat suka untuk bertemu dengan saudara-saudaraku yang beriman denganku walaupun mereka tidak pernah melihatku”

Siapakah saudara-saudara dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam ?

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi pekuburan lalu bersabda: “Semoga keselamatan terlimpahkah atas kalian penghuni kuburan kaum mukminin, dan sesungguhnya insya Allah kami akan bertemu kalian, sungguh aku sangat gembira seandainya kita dapat melihat saudara-saudara kita”.

Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kami semua saudara-saudaramu wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab dengan bersabda: “Kamu semua adalah sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita ialah mereka yang belum berwujud”.

Sahabat bertanya lagi, “Bagaimana kamu dapat mengenali mereka yang belum berwujud dari kalangan umatmu wahai Rasulullah? “

Beliau menjawab dengan bersabda: “Apa pendapat kalian, seandainya seorang lelaki mempunyai seekor kuda yang berbulu putih di dahi serta di kakinya, dan kuda itu berada di tengah-tengah sekelompok kuda yang hitam legam. Apakah dia akan mengenali kudanya itu?”

Para Sahabat menjawab, “Sudah tentu wahai Rasulullah.’

Beliau bersabda lagi: ‘Maka mereka datang dalam keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu. Aku mendahului mereka ke telaga. Ingatlah! Ada golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku sebagaimana dihalaunya unta-unta sesat‘. Aku memanggil mereka, ‘Kemarilah kamu semua‘. Maka dikatakan, ‘Sesungguhnya mereka telah menukar ajaranmu selepas kamu wafat‘. Maka aku bersabda: Pergilah jauh-jauh dari sini. (HR Muslim 367)

Dalam salam sabda Rasulullah di atas, hal yang dimaksud dengan “golongan lelaki yang dihalangi dari datang ke telagaku” adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim walaupun termasuk Sahabat Nabi karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga mereka kelak akan dihalau dari telaga Rasulullah karena mereka telah ditetapkan murtad, pelaku dosa besar yakni bid’ah dalam urusan agama dan membunuh umat Islam.

Dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya Rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar. (HR Bukhari 6097).

Dalam riwayat di atas jelas bahwa Rasulullah bersabda “ya Rabbi, mereka sahabatku” artinya mereka bertemu Rasulullah namun mereka tidak mengikuti Rasulullah melainkan mereka mengikuti pemahaman atau akal pikirannya sendiri sehingga mereka suka mencela, menyalahkan dan bahkan mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka sehingga mereka melakukan dosa besar, menghalalkan darah atau membunuhnya.

Selain dosa besar mereka menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka, dosa besar orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij adalah mereka tidak menepati janjinya “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya” yakni mereka melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’aa dan RasulNya dan mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya sebagaimana yang telah disampaikan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2016/09/23/tidak-menepati-janjinya/

Rasulullah telah bersabda bahwa kejahatan paling besar dosanya terhadap kaum muslimin lainnya adalah melarang atau mengharamkan hanya karena pertanyaan saja bukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Rasulullah bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)

Sedangkan dalam hadits di atas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencirikan kaum muslim yang dianggap sebagai saudara-saudara Beliau maupun para Sahabat dan kelak bergabung di telaganya adalah kaum muslim yang keadaan muka dan kaki mereka putih bercahaya karena bekas wudlu artinya kaum muslim yang dengan sholatnya terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.

Rasulullah bersabda bahwa tanda amal ibadah sholat yang diterima oleh Allah Ta’ala adalah tercegahnya dari perbuatan keji dan mungkar atau menjadikannya muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, maka ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya” (diriwayatkan oleh ath Thabarani dalam al-Kabir nomor 11025, 11/46)

Orang-orang yang sholat namun masih terus menerus melakukan perbuatan maksiat atau perbuatan keji dan mungkar menandakan shalatnya lalai

Firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya

`…. maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)

“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai“(QS Al A’raaf 7: 205)

“Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” (QS al Ankabut [29]:45).

Orang-orang yang shalatnya lalai atau tidak khusyuk karena sekedar “melepaskan” kewajibannya atau sekedar upacara keagamaan (ritual) atau gerakan-gerakan yang bersifat mekanis (amal) yang sesuai syarat dan rukun-rukunnya (ilmu), sebagaimana robot sesuai programnya namun tidak mempunyai hati sehingga pengawasan Allah tidak tertanam dalam jiwanya atau qalbunya, maka ia telah bermaksiat dan berhak mendapatkan siksa Allah Ta’ala. Ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh dariNya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian (gerak dan perbuatan kalian), tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” (HR Muslim)

Tidaklah mereka mencapai shalat yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa “Ash-shalatul mi’rajul mu’minin“, “shalat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“. yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah

Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Sesungguhnya shalat itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu’ yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah [ 2] : 45).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kalian apabila shalat maka sesungguhnya ia sedang bermunajat (bertemu) dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerti bagaimana bermunajat dengan Tuhan”

Imam Al Ghazali pernah ditanya, “bagaimana cara mengetahui, apakah shalat kita khusyuk atau tidak?”

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali menjawab, “tanda shalat yang khusyuk adalah tercegahnya pelaku shalat dari perbuatan keji dan mungkar hingga ke shalat berikutnya. Jika shalat Subuh seseorang khusyuk maka dia akan terjaga dari perbuatan nista dan jahat antara Subuh dan Dzuhur. Terus seperti itu sepanjang hari”
Wassalam
(Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830/mutiarazuhud.wordpress.com)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...