Rabu, 14 Januari 2009

Revolusi Berpikir Bukan Dongeng


Seorang Luis Echeverria pernah mengungkapkan:
“Kita hidup dalam masa krisis. Oleh karena itu kata-kata
mesti diisi dengan makna nyata. Sebuah kata harus
dapat menemukan tenaga kreatif dan kemampuannya
untuk menyatukan dan membebaskan manusia."


Secara filosofis dan politis, kata dan perbuatan harus selaras dan
menyatu. Bagai api dan udara, dalam perbuatan pada umumnya.”

Boleh jadi pendapat Echeverria itu bukan sekedar sebuah karya sastra. Tapi menguak makna sesungguhnya, yang tidak terbantah lagi. Sebab kita pun sadar, nilai-nilai hidup dan kehidupan semakin menusuk pada permasalahan “super jlimet”. Tak mudah dijamah atau diatasi oleh kemampuan nalar, indrawi, ragawi, bahkan materi.

Apa pasal? Berangkat dari fakta sejarah, hingga kini ratusan juta jiwa manusia masih hidup dalam belenggu kebodohan, kemelaratan dan keterbelakangan. Penghamburan sumber kekayaan alam yang semakin memprihatinkan. Pencarian keadilan dan kebenaran telah dirasionalisasi dengan menghalalkan segala cara. Pelanggaran HAM, terorisme, pemerkosaan hak azasi, penindasan individu dan bangsa yang semakin terang-terangan di depan mata. Kesenjangan yang kian menjorok, antara yang punya apa-apa dan yang tidak punya apa-apa (antara kemakmuran dan kemelaratan). Serta masalah-masalah akbar lainnya yang tengah mendera planet bumi kita.

Satu hal yang sangat memprihatinkan kita adalah soal sikap dan prilaku manusia. Kecenderungan petualangan manusia semakin hari semakin menjauh dari koridor moral dan patokan nilai. Mereka yang hidup di negara besar yang semakin mengacu pada rasio-monopolitis. Para elit intelektual lebih suka berbuat dan berkutat demi keuntungan kelompoknya, yang seringkali dilakukan dengan cara licik dan mencolok mata. Sebuah tanggung jawab, tak lagi menjadi bagian beban moral, malah menjadi tidak berkutik dan bertekuk lutut di bawah tekanan-tekanan. Tingkah polah manusia, kini semakin “antik” dan susah difahami.

Fenomena seperti itu muncrat ke permukaan, acapkali dilakukan dengan cara-cara yang kasar dan mencolok. Contohnya, tak terhitung, dapat kita amati setiap hari pada koran-koran, majalah, radio, televisi, internet dan pelbagai media lainnya pada hampir seluruh bidang kehidupan.

Fenomena seperti muncul, bukan semata-mata dunia yang tengah dihadapkan pada krisis enerji, pangan atau sumber alam. Bukan karena ancaman nuklir atau teroris yang kerap mengintai nyawa manusia. Tak sepenuhnya akibat degradasi moral dan sebangsanya. Tapi boleh jadi, diawali oleh revolusi berpikir yang kurang terorganisasi secara pas, runtut dan dalam. Teori-teori dan buah pikir para elit intelektual, baik sebagai hasil renungan, penelitian atau perbincangan tingkat tinggi, tampak jelas kurang dimanfaatkan secara bertanggung jawab, konsisten dan rapih. Sehingga kata-kata harus terpasang sebagai slogan dan iming-iming yang acapkali harus berbeda haluan dengan kenyataan dan perbuatan.

Kita yakin benar, bahwa apa yang dihasilkan kaum elit intelektual adalah demi survival kehidupan manusia dan atau bangsa. Karena itu, baginya, berpikir tetap bukanlah sebuah kejahatan. Hasil olah-pikirnya, tentu diharapkan mampu menjawab permasalahan masa kini dan masa depan manusia dan bangsa. Sehinga setiap manusia dan bangsa memiliki sadar arah dan sadar tujuan. Agar pada gilirannya tidak saling menindas antar manusia dan bangsa.

Namun kenyataan berbeda. Penindasan sering terjadi, justru dari bangsa yang memiliki hak-hak istimewa. Jadi harapan antara kata dan perbuatan akan berjalan rapi dan sinkron adanya, menjadi sebuah “an-sich nonsense”, omong kosong belaka.

Apa lacur, rebutan sumberdaya alam lah yang kerap dijadikan dalih penekanan terhadap suatu negara. Akibatnya penguasaan sumberdaya menjadi kian jomplang. Diperkirakan 19% penduduk dunia yang lebih kaya menguasai 64,5% produk kotor nasional (GNP) dunia. Di pihak lain sekitar 2,8 miliar penduduk dunia yang mewakili 70 negara dunia ketiga, dengan 32,6% penduduknya hanya menguasai 8,8% dari seluruh kekayaan dunia.

Gambaran seperti itu, sesungguhnya membuktikan watak dasar manusia yang cenderung egois yang lebih suka mementingkan diri dan kelompoknya. Karena itu, tampaknya menuntut suatu revolusi berpikir yang mengarah pada penggunaan secara rasional sumberdaya alam (natural resource), sumberdaya manusia (human resources), serta sains dan teknologi, yang diharapkan mampu sebagai sarana perubahan yang kualitatif dan revolusioner.

Terlebih terhadap negara-negara dunia ketiga, yang menurut catatan resmi tahun 1990 merupakan 3/4 umat manusia. Berdasarkan hipotesa dalam tahun 2002 ini seluruh penduduk dunia mencapai 6,9 miliar penduduk, maka 5,4 miliar akan menempati negara dunia ketiga. Kira-kira pada tahun 2012 penduduk dunia diperkirakan akan berjumlah 9,17 milyar, maka 7,73 milyar diantaranya berada pada dunia ketiga.

Ledakan demografi disertai dengan munculnya benih-benih baru krisis ekonomi, akan membawa pada suatu peradaban yang menjadikan kelaparan, kemelaratan, dan kemiskinan sosial sebagai ciri umum sebagian besar penghuni dunia.

Oleh karena itu dalam menjawab tantangan jaman yang semakin merontokan harapan itu, paling tidak harus dimulai dari revolusi mental dan revolusi berpikir dari kalangan cendekiawan setiap bangsa yang mengarah pada mewujudkan aspirasi pencerdasan kehidupan bangsa. Tujuan utama revolusi perlu senantiasa dilandaskan pada pembentukan potensi manusia seutuhnya, agar manusia dan bangsa itu mampu mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang lebih layak, terhormat dan lebih memanusia. Sehingga perlu didukung oleh komitmen politik, kebijakan ekonomi, penerimaan sosial, serta tumpuan ilmu dan teknologi.

Antara kata dan perbuatan

Ada suatu indikasi menarik dari seorang pakar komunikasi, Marshal McLuhan, dalam “The Medium is the Message”, yang mengungkapkan : Dunia kita saat ini adalah dunia baru yang meliputi segala hal. Waktu telah terhenti, ruang telah lenyap. Kita hidup sekarang di desa yang amat besar, kejadian yang simultan. Malangnya kita menghadapi situasi yang baru ini dengan tumpukan besar masalah dan berondongan mental. Kata-kata dan nalar kita yang paling mengesankan, seringkali menghianati kita. Semua ini mengingatkan kita pada masa silam dan bukan sekarang…”

McLuhan, sesungguhnya ingin menyentil kita untuk menyadari pentingnya kata dan perbuatan. Sebuah kata akan mampu menjamin, bahwa semua faktor lingkungan dan pengalaman akan berdampingan dalam suatu keadaan saling mempengaruhi secara aktif. Namun sayang, banyak kata-kata hasil olah pikir brilian kaum elit dan cendekiawan, harus terbuang percuma dan luput dari upaya perbuatan.

Telah sering kaum cendekiawan dan elit dunia berembuk mengupas soal manusia dan masalah dunia. Mulai dari diskusi, lokakarya, seminar, konferensi, studi banding hingga penelitian-penelitian. Namun seringkali pula hasilnya sebatas hitam diatas putih. Menjadi lembaran-lembaran mati yang tak punya arti. Beberapa KTT sering diselenggarakan, diantaranya di bawah pengawasan PBB. Misalnya terhadap masalah pencemaran udara dan lingkungan di berbagai negara. Mulai dari KTT di Caracas tahun 1973, di Jenewa tahun 1975, di Prancis tahun 1977, dan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Hasilnya? Masalah pencemaran udara dan lingkungan hidup malah kian mendongak ke permukaan, menjadi semacam momok yang kian menakutkan.

Pada tahun 1968 ada suatu “Kelompok 30” terdiri dari ilmuwan, ekonom, guru, industrialis, birokrat mengadakan pertemuan di Roma untuk memperbincangkan dan mencari solusi terhadap masalah-masalah dunia. Konsepnya begitu hebat dan brilian. Namun dalam pelaksanaannya begitu kering, tak bernyawa dan tak berdaya. Dalihnya macam-macam, mulai dari keterbatasan dana, ketatnya birokrasi, iklim politik tidak kondusif, dan alasan-alasan lainnya, yang pada gilirannya nihil untuk diterapkan di lapangan.

Contoh lain seperti pertemuan Meja Bundar tentang kerjasama kebudayaan dan intelektual serta Tata Ekonomi Dunia Baru yang diadakan UNESCO tahun 1976. Kemudian Konferensi Keuangan dan Moneter oleh PBB yang berkelanjutan dengan didirikannya Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington 27 Desember 1945. Hasilnya, kebodohan dan keterbelakangan tetap menghantui negara-negara dunia ketiga. Sementara lembaga internasional yang disebut terakhir, malah menjadi semacam penjajah ekonomi versi terbaru, lengkap dengan penekanan dan penindasannya.

Kurangnya keseimbangan antara visi, misi dan tujuan obyektif serta ketimpangan maksud dari yang telah ditentukan, menjadikan sebagian permasalahan yang terpecahkan dan terumuskan tidak mampu dilaksanakan secara konsisten dan lurus. Kegagalan-kegagalan dan penyimpangan itu terjadi, bukan berarti terlepas dari keinginan untuk melakukan perubahan revolusioner.

Namun justru celakanya, bahwa sistem-sistem dan terori-teori yang ditelurkan kaum cendekiawan yang teroganisasi itu, lebih banyak dimanfaatkan sebagai alat untuk melayani politik ekonomi. Serta guna merebut kekuasaan yang didasarkan pada akumulasi bahan primer, kekuasaan angkatan bersenjata, dan kekuasaan terhadap pemuasan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya menjadi lupa pada tujuan utamanya sebagai alat pembebas manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemelaratan.

Oleh karena itu yang dibutuhkan kini adalah revolusi dalam lapangan pemikiran yang mengarah pada upaya mengatasi problema-problema dasar manusia. Bagaimana agar manusia yang bernasib kurang baik dapat terangkat harkat, martabat dan kehormatannya menjadi manusia yang wajar. Terlepas dari himpitan kemiskinan dan terbebas dari keterbelakangan, terutama pada mereka yang hidup pada negara-negara dunia ketiga.

Jika pun jangkauan revolusi ini terlalu luas dan sulit dijangkau, maka cukup lah kita tengok lingkungan di sekitar kita, yang ternyata masih banyak yang membutuhkan uluran tangan dan jamahan pemikiran kita. Sebab kita tidak membutuhkan suatu revolusi berpikir yang penuh dengan cerita fiktif bagai sebuah dongeng. Tapi membutuhkan revolusi berpikir yang realistis dan membumi yang mampu memberikan pencerahan dan solusi terhadap setiap problema yang mendongak di depan mata kita. Dengan demikian, setidaknya, kaum cendekiawan sejati, kaum elit dan pemikir tingkat bangsa dan dunia, tidak frustasi dibuatnya. Nah, bagaimana ! (masnana60@gmail.com)

SEPULUH ARGUMENTASI BAHWA MALAM KE-27 ADALAH LAILATUL QODAR

Apakah bisa dipastikan tanggal 27 Ramadan adalah lailatul qodar? Untuk memastikan, barangkali lebih berhati-hati jangan. Tetapi bahwa mayori...