Jumat, 21 September 2018

Penyelarasan Tasawuf dengan Syariat dalam Pemikiran Imam Ghazali


Oleh: M. Idsris Yusuf dan Hendriyanto al-Mandari

“Ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua maslah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.

A. Al-Ghazali dan Tasawuf

Bahwa Al-Ghazali adalah ulama’ besar yang sanggup menyusun kompromi antara syari’at dan hakikat atau tasawuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i ataupun lebih-lebih kalangan sufi.[1]

Berbagai macam buku yang membahas tentang sepak terjang Al-Ghazali yang tumbuh kembang pada masa dimana banyak muncul mazhab dan golongan. Ketika itu, beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi. Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran. Sehigga tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian;

“Ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, buka sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.[2]

Dengan demikian tidak ayal al-Ghazali merasakan dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat dahsyat dan dalam. Dia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira” yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu. Dia tidak merasa takut terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang. [3]

Dasar ajaranTasawuf adalah cinta rindu untuk berhubungan dengan kekasihnya Allah SWT, dan berasik-maksyuk dengan Dia.[4] Perkembangan yang cukup menarik adalah timbulnya kesadaran dari dalam untuk memoderasi ajaran Tasawuf, dan untuk mengeliminir konflik antara syari’at dan tasawuf atau hakikat. Upaya ini walaupun tidak akan berhasil memuaskan sepenuhnya, namun cukup konstruktif dan positif. Pertentangan antara hakikat dan syari’ah bisa diperkecil. 

Namun sebaliknya menimbulkan konflik ke dalam antara golongan yang lebih ortodoks dengan sufisme murni yang lebih heterodoks (pantheis). Disamping itu kelemahan yang mendasar dari kompromi ini, umumnya terletak pada penghargaan terhadap Tasawuf (hakikat) selalu dipandang lebih tinggi dari Syari’at. Al-Ghazali misalnya membagi iman menjadi tiga tingkat, dan yang paling tinggi adalah para arifin (sufi). Ajaran ini diterangkan sebagai berikut;

“Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.

Tingkat kedua, imannya para mutakallimin (teolog), atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil.

Tingkatan ini masih dekat dengan golongan awam.

Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar penyaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.(ihya’ ‘ulumuddin, III, hal. 15).[5]

Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum Batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf yang menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.”[6]

Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya. Namun, bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu yang didapatkan. Al-Ghazali mengatakan, “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”[7]

Jalan pertama, yaitu Ilmu. Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Al-Ghazali mengatakan, “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajtar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”

Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli(membersihkan firi dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Al-Ghazalai mengatakan, “Adapu manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.”[8]

Di dalam kitab-kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Al-Ghazali menulis, “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar; jarang sekali ada manusai yang sanggup melakukannya”[9]

Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan, “Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit”[10]

“Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus kembali kepada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah-yang menjawab doa yang terpaksa jika berdoa-mengabulkan niatku, sehinngga kini terasa mudah bagiku meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.”[11]

Sesudah mengalami masa-masa keraguan yang cukup rumit, baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam Ilmu Kalam, akhirnya justru mendapatkan kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam Sufisme, yakni mempercayai kemutlakan dalil kasyfi.[12]

Hal ini merupakan keunikan-keunikan atau keanehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya:

“Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci. 

Bahkan seandainya para ahli pikir dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka (para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31). [13]

Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. DenganIlmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah Tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[14]

Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkrompromikan tasawuf dengan syari’at? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromokan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukungnya. Persoalan inilah yang telah cukup lama diangan-angankan oleh para sufi sendiri, bagaimana cara menjembatani dua system yang tumbuh berdampingan yang sering memancing konflik yang cukup tajam.[15]

Adapun fungsi hakikat itu sendiri terhadap syari’at adalah sebagaimana digambarkan Imam Al-Qusyairi di dalam risalahnya yaitu;

“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat hakikat adalah tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberitakan ketentuan Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi Dia, hakikat meyaksikannya pada Dia. Syari’at melakukan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuannya, kadar-Nya, baik yang tersembunyi maupun yang di luar. (Risakah Qusyairiyah. Hal, 46)[16]

Disini, Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menolak paham Hulul dan Ittihad sebagaimana yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya. Al-Ghazali hanya menerima tasawuf Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber Islam. Semuanya itu harus mempunyai landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[17]

Satu hal mencolok yang dilakukan Al-Ghazali pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang peraktis. Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). “Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam.[18]

Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak akan muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. 

Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak melihat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[19]

Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”[20]

Bahkan dengan terang-terangan dia menolak dan melawan mereka deangan berbagai alasan dan dalil. Secara terus terang menyatakan seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[21]Al-Ghazali mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang diucapkan oleh kaum sufi itu boleh jadi masuk ke dalam kategori imajinasi (tawahhun) karena mereka kesulitan dengan kata-kata tentang kebersatuan yang telah mereka capai. Atau, boleh jadi, penggunaan istilah-istilah itu masuk kerangka pengembangan dan perluasan istilah yang sesuai dengan tradisi sufi dan para penyair. Mereka biasanya meminjam istilah yang paling mudah dipahami, seperti kata penyair berikut; “Aku adalah yang turun, dan yang turun adalah aku juga. Kami adalah ruh yang bersemayam dalam satu badan”.[22]

Lebih jauh, Al-Ghazali mengambil kesimpulan secara umum denga memberikan catatan penting yang menyatakan bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi. Dan Al-Ghazali tidak membahas lebih lanjut ihwal makrifat intuitif (al-ma’rifah adz-dzawiqiyyah), yang merupakan konsep utama tasawufnya. Sebab, Al-Ghazali, sebagaimana di katakana oleh Ibnu Thufail, telah terasah dengan berbagai ilmu dan terpoles dengan ma’rifat. Karena itu, pembahasan Al-Ghazali tentang konsep ma’rifat senantiasa berada dalam batas-batas agama. Ia tidak pernah membiarkan dirinya hanyut dalam ucapan orang lain.[23]

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf menurut Al-Ghazali adalah mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, menganggap rendah segala sesuatu selain Allah, dan akibat dari sikap itu mempengaruhi pekerjaan hati dan anggota badan.[24]

B. Al-Ghazali dan Syari’at

Sebagaimana dipaparkan di atas tentang kehidupan Al-Ghazali bahwa, kehidupannya diliputi gelombang pemikiran yang sangat dahsyat sehingga membuat Al-Ghazali terombang-ambing dengan keyakinannya, maka dengangan demikian terlontarlah kata-katanya yang bijak bahwa, “hingga akhirnya ia merasa dirinya tidak lagi harus memilih, tetapi harus dipakasa untuk meninggalkan Bagdad. Kini lidahnya menjadi berat dan dirinya merasa bosan mengajar. Keadaan ini membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan, “penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari faktor-faktor yang membu atnya sakit”[25]

Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang mengharuskan percaya kepada iman-iman yang dipandang ma’sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah.[26]

Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.[27]
C. Tasawuf dan Syari’at

Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). “Keadaan Mabuk” dikuasai oleh persaan kehadiran Tuhan: para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan makhluq-makhluq. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), kedekatan dengan Tuahn yang mencintai. “keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi oleh rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murkan dan jauh, derta tidak perduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.

Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyaatkan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yagn kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi yang, dalam ungkapan Ibn al-‘Arabi, “melkihat dengan kedua mata” selalu memelihara akal dan kasyf (penyingkakpan intuitif) dalam keseimbangan yang sempurna dengan tetap mengakui hak-hak “yang tidak-mabuk” dan “yang-mabuk.”

Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syari’at tidak dapkat diterima apabila ditujukan kepada tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”. Pasalnya, tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak dapat dipisahkan karena bagi para penganutnya syri’at adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.

Dalam suatu bagian Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan, “jika engkau betanya apa itu tasawuf? Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan disikuti oleh siapa saja yang mengigninkan keberhasialan tasawuf. Sebagai mana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”berulangkali menekankan bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at.

Iskam sebagai agama yang sngat menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuahan) dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila syari’ata adalah dimensi eksoteris Islam, yang kebih banyak berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah. Pentingnya menjaga keatuan syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu dialam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahitaiyah dan bathiniyah.

Islam adalah suatu Agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran Islam itu dinamakan Syari’at Islam. Syari’at Islam mencakup segenap peraturan-peraturan Allah SWT, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk untuk mensucikan jiwa manusia danmenghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf.[28]

Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid(aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang Islam, Iman dan Ihsan. [29]

Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud(Tuhan). Soal ini tidak dipelajari di dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dibicarakan di dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.[30]

Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubngan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh selain membahas tentang rukun Islam ia juga membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan-persoalan ini erat hubungannya dengan maslah pokok yang disebutkan Nabi diatas(Islam, Iman, Ihsan). Sebagai contoh adalah tentang penyakit dengki(hasad). Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seprti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan)dapat dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesame manusia juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang bertumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf denga rangkaian syari’at Islam.[31]

Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah dan RasulNya.[32]

Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini. Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan. Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para wali. Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu. Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal fikir manusia.[33]

Mereka tidak melakukan segala I’tiqad-I’tiqad kafir dan musyrik ini kurang mendalami jiwa Tauhid Islam yang murni/yang belum bercampur dengan filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatagkan pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid.[34]

Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf.[35]
D. Kodifikasi TASAWUF dengan SYARI’AT dalam Kacamata AL-GHAZALI

Imam Al-Ghazali (w, 111 M.) adalah ulama’ ahli syari’at penganut mazhab syafi’I dalam hukum fiqh, dan seorang teolog pendukung Asy’ari yang sangat kritis, namun sesudah lamjut usia ia mulai meragukan dalail akal yang menjadi tiang tegaknya mazhab asy’ariah di samping dalil wahyu. Sesudah mengalami keraguan terhadap kemampuan akal baik dalam filsafat ataupun penggunaannya dalam ilmu kalam, akhirnya justru mendapat kepuasan dalam penghayatan kejiwaan dalam sufisme, mempercayai kemutlakan dalail kasyf. Hal ini merupakan keunikan atau keanaehan al-Ghazali. Mungkin karena pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat Persi masa itu yang merupakan lahan yang subur bagi perkembangan pemikiran dan kehidupan sufisme. Agaknya beliau telah sejak kecil punya penilaian positif terhadap ajaran sufisme. Karena memang beliau melihat dan menghayati betapa institusi tasawuf dapat memperdalam keyakinan dan perasaan agama yang mendalam, serta dapat membina akhlaq yang luhur. Dan ternyata akhirnya Al-Ghazali jadi propagandis sufisme yang paling bersemangat dan paling sukses. Misalnya, tetntang kehidupan para sufi dan tasawuf yang digambarkannya:

“Sungguh aku mengetahui secara yakin bahwa para sufi itulah orang-orang yang benar-benar telah menempuh jalan Allah SWT, secara khusus. Dan bahwa jalan mereka tempuh adalah jalan yang sebaik-baiknya, dan laku hidup mereka adalah yang paling benar, dan akhlaq adalah yang paling suci. Bahkan seandainya para ahli piker dan para filosof yang bijak, dan ilmu para ulama yang berpegang pada rahasia syari’at berkumpul untuk menciptkan jalan dan akhlaq yang lebih baik dari apa yang ada pada mereka(para sufi) tidak mungkin bisa menemukannya. Lantaran gerak dan diam para sufi, baik lahir ataupun bathin, dituntun oleh cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya kenabian diatas dunia ini, cahaya lain yang bisa meneranginya.”(mungqidz min al-Dlalal, hal, 31). [36]

Kutipan di atas menunjukkan betapa tingginya nilai tasawuf di mata al-Ghazali. Dan memang hingga masa itu tasawuf masih dikelola oleh golongan elit (khawas), belum merakyat. Jadi kualitasnya masih bias terkendali. Hanya timbulnya kecenserungan kea rah phanteis atau union-mistik dan penyimpangan terhadap syari’at yang meulai memperihatinkan dan menimbulkan ketegangan. Hal ini tercermin dalam judul risalah otobiografi al-Ghazali al-Munqidz min ad-Dlalal, yang bias di terjemahkan pembebas dari kesesatan. Dari segi sufuisme buku tersebut mengkritik kesesatan peafsiran para penganut paham hulul, ittihad, dan wushul, dengan pernyataannya:

“ringkasnya, penghayatn makrifat itu memuncak sampai yang demikian dekatnya pada Allah sehingga ada segolongan mengatakan hulul, segolongan lagi mengatakan ittihad, dan ada pula yang mengatakan wushul, kesemua ini salah. Dan telah kujelaskan segi kesalahan mereka dalam maqshudu al-Aqsha(Tujuan yang Tinggi).Al-Munqidz min al-Dlala, hal. 32”[37]

Mengenai goncangan kepercayaan yang dipandang sesat dari ajaran Syi’ah Bathiniyah atau yang beliau sebut golongan Ta’limiyah, yang mengharuskan percaya kepada imam-imam yang dipandang ma’sum (terpelihara dari kesalahan), Al-Ghazali menganjurkan agar masyarakat muslim lebih baik beriman kepada Nabi Muhammad yang memang diwajibkan seluruh muslim langsung beriman kepada Nabi, dan bukannya iman-iman kepada penyebar bid’ah. .[38]

Sedang mengenai masalah ajaran-ajaran dalam sufisme, dalam munqidz telah ditunjikkan paham-paham yang sesat. Agar masyarakat tidak tersesat kepaham neka-neka al-Ghazali mencoba membatasi penghayatan makrifat dalam sufisme agar dimoderasi hanhya sampai ke penghayatan yang amat dekat dengan Tuhan, tidak terjerumus ke paham hulul, ittihad, dan whusul. Dengan demikian berarti al-Ghazali menolak penghayatan makrifat kea rah puncak, yaitu menolak fana’ al-fana’. Jadi dalam mengamalkan tasawuf dibatasi dan dimoderasi hanya kepada penghayatan fana’ (ecstasy) yang tengah-tengah, yang masih menyadari adanya perbedaan yang fundamental antara manusia dan Tuhan yang transenden, mengatasi alam semesta. Yaitu hanya samkpai penghayatan yang dekat (qurb) dengan Tuhan, sehingga kesadaran diri sebagai yang sedang makrifat tetap berbeda dengan Tuhan yang dimakrifatinya.[39]

Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[40] Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.?

Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan oleh para ulama’ sufi. Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya baru bisa merumuskan harapan sebagai berikut:

“Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at dating dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar. (Risalah Qusyairiyah, hal. 46)”[41]

Walaupun cita untuik menjalin keselarasan pengamalan taswuf dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi sebelumnya, namun baru al-Ghazali yang secara konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep al-Ghazali yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme denga syari’at disusun dalam karyanya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.[42]

Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf. Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa dan lain-lain, di dalam ihya’ diterangkan tingkatan, cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya p[ara penganut tasawuf dalam ihya’ dibedakan tingkatan orang shalat antara orang awam, orang khawas, dan yang lebih khusus lagi. Demikian juga puasa, dan sebagainya. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian lau wiridan dalam menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.[43]

Tema ilmu sufi menurut Al-Ghazali adalah Dzat, sifat da perbuatan Alah SWT. Adapun buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak aka muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat itu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak meluhat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah SWT. Imam Al-Ghazali menambahkan, “mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya. Sementara itu, tasawuf dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.[44]

Sehingga dalam perilaku dan ucapannya, Al-Ghazali teguh memegangi syari’at. Ia mengatakan, “seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.”[45]

Referensi:

ü Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Dr. Simuh. Jakarta. Rajawali Pers. Cet. II. Hal. Th. 2002.

ü Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad.Khalifah Jakarta. Cet I. Th. 2000 M.

ü Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I. Th. 2002.

ü Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. Th 1987 M.

[1]. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Dr. Simuh. Jakarta. Rajawali Pers. Cet. II. Hal. 151. Th. 2002.

[2]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta. Cet I. hal. 69. Th. 2000 M.

[3]. Ibid

[4]. Simuh. Hal. 152

[5]. Simuh. Hal. 153

[6]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 95

[7]. Ibid 96

[8]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96

[9]. Ibid 97

[10]. Ibid

[11]. Ibid

[12]. Simuh. Hal 154

[13]. Simuh. Hal 155

[14]. Ibid. hal 158

[15]. Ibid

[16]. Simuh. Hal 159

[17]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 234

[18]. Ibid. hal, 236

[19]. Ibid.

[20]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 234

[21]. Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I. hal. 89. Th. 2002.

[22]. Ibid. hal. 90

[23]. Ibid. hal 92.lihat juga ihya’ ‘ulumuddin, hal. 5, 25.

[24]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 104

[25]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 98

[26]. Simuh. Hal 157

[27]. Ibid. 160.

[28] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M.

[29] Ibid. hal. 30.

[30] Ibid. hal. 33.

[31]Drs. Yunasril Ali. Hal. 34

[32]Hal. 54

[33] Ibid.

[34] Ibid.

[35] Ibid. hal. 36.

[36]. Simuh. Hal 155

[37] Simuh. Hal. 156

[38]. Simuh. Hal 157

[39] Simuh. Hal. 158

[40]. Ibid. hal 158

[41] SIMUH. Hal. 159

[42] Ibid

[43]. Ibid. 160.

[44]. Ibid.

[45]. Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 234

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...