Minggu, 12 Mei 2019

Puasa Syariat, Tarekat dan Hakikat

ALKISAH seorang Muslim yang hidup setelah masa Khulafa Ar-Rasyidun. Ia pada masa itu dikenal ahli ibadah yang tinggal di serambi masjid nabawi. Ia hampir tiap hari melakukan itikaf, dzikir, shalat dan ibadah lainnya. Ia jarang ke luar karena penglihatannya tidak normal alias buta. Suatu hari datang kabar bahwa temannya sakit keras. Kemudian ia menengoknya dengan diantarkan sahabatnya yang lain. Ketika tiba temannya itu meminta ia untuk berdoa demi kesembuhannya. Karena itulah setiap selesai shalat ia mendoakannya. Ajaibnya, beberapa hari setelah kunjungan itu temannya sembuh.

Atas kesembuhan itulah ia dinilai sebagai wali yang dapat menyembuhkan orang dengan doa. Karena alasan itu pula banyak orang yang meminta didoakan olehnya. Tiap orang yang meminta doa kepadanya senantiasa terkabulkan. Sampailah suatu hari seorang teman bicara kepadanya, “Fulan, doa-doamu itu sangat mujarab dan benar-benar dikabulkan Allah. Tapi aku heran kenapa engkau tidak berdoa untuk kesembuhan matamu sendiri.”

Ditanya seperti itu Fulan menjawab, “Tidak, aku tidak ingin melakukan sesuatu yang menguntungkan diriku sendiri. Aku merasa beruntung karena kecacatanku ini telah mendekatkan aku kepada Allah. Dan kemungkinan besar bila mataku normal pasti akan lebih banyak terjerumus dalam kemaksiatan dibandingkan ketaatan.”

Demikian kisah yang cukup luar biasa. Sebab penderitaan yang ada pada kisah di atas menjadi salah satu alat untuk memasrahkan diri kepada Allah. Sebuah cara pandang yang muncul atas nurani yang jarang kita temukan di lingkungan masyarakat. Sebab di zaman modern ini sangat jarang orang yang mau bersyukur dengan ketentuan yang ditetapkan sebagai takdir Tuhan.

Banyak orang yang tidak bisa menerima keberadaan dirinya yang serba kurang, atau yang berbeda jauh dengan orang lain.Banyak orang normal, tapi lupa kepada Tuhan dan bahkan cenderung tidak menghiraukan perintah dan larangan-Nya. Kita juga sering melihat banyak orang Islam yang tidak mengikuti aturan-aturan Allah, tidak berpuasa misalnya. Mereka sering menganggap bahwa dengan puasa dirinya sedang diperas, dihambat dan diperdaya. Mereka tidak paham bahwa dengan puasa justru kita dibersihkan dan disehatkan dari berbagai penyakit lahir maupun batin. Dengan puasa kita dilatih jujur dan disiplin serta dilatih untuk peka terhadap sesama saudara kita yang mustadhafin.

Maka dengan menjalankan puasa secara sesungguhnya kita sedang dibina untuk menjadi manusia yang bertakwa. Untuk menjadi manusia yang bertakwa tentunya dilakukan dengan proses yang panjang. Ia diwajibkan berakhlak mulia, taat dan patuh terhadap perintah dan larangan agama. Hal ini termasuk menjalankan puasa. Apabila seorang Muslim menjalankannya dengan sebenar-benarnya maka ia disebut orang yang bersih sepeti bayi yang baru dilahirkan. Inilah sebabnya puasa Ramadhan diakhiri dengan idul fitri. Yakni perayaan atas kemenangan umat Islam yang berhasil mensucikan dirinya dari hal yang nista dan kotoran-kotoran jiwa. Sejatinya kesucian itu dipertahankan yang sekaligus menjadi “benteng” dari terpaan-terpaan negatif di bulan-bulan lain. Sehingga wajar bila Rasulullah saw merasa sedih bila di akhir hari-hari Ramadhan. Sebabnya adalah khawatir bila nanti jiwa yang bersih dan suci itu terkontaminasi dengan hal-hal yang nista.

Oleh karena itu, seorang Muslim dikatakan buruk bila hari ini lebih jelek dari kemarin. Dikatakan rugi jika kelak di pascaRamadhannya itu tidak meningkatkan kualitas hidup atau menurun dalam ibadahnya. Mereka inilah yang disebut tidak berhasil dan tidak berprestasi dalam puasa Ramadhannya. Ini yang dalam hadits dikatakan, banyak di antara orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan haus, dan banyak orang yang shalat malam (namun) yang didapatkannya itu hanya terjaga dari tidur (belaka) (HR Ahmad dan Hakim).

Bagaimana caranya supaya puasa kita mencapainya? Dalam literatur tasawuf, terutama al-Ghazali dan al-Qusyairi menyarankan berpuasa dalam tataran hakikat. Akan tetapi, tahapan hakikat ini tidak bisa begitu saja diraih, tapi harus bertahap dari fase syariat, tarekat, dan hakikat. Pada fase syariat ini seorang Muslim harus paham dalil-dalil syari` dan hukum batal dan sahnya puasa. Kemudian, ia diharuskan untuk meningkatkan ke tingkat selanjutnya, yaitu tarekat. Selain puasa secara lahiriah (syariat) juga harus mempuasakan aspek batinnya. Seperti puasa mencela, memaki, bohong, bertengkar, atau tidak berimajinasi maupun berpikir tentang yang porno dan hal-hal nista atau yang dapat membuat rusaknya nilai puasa, serta tidak meninggalkan ibadah-ibadah wajib dan sunah yang rutin dikerjakan.

Jadi, pada fase tarekat, seorang Muslim dituntut untuk lebih kreatif dan produktif dengan meningkatkan amalan-amalan lainnya. Apabila seorang Muslim tersebut tetap istiqamah dalam kedua fase tersebut maka ia sedang menuju tangga hakikat. Karena itu, seseorang yang sedang menuju fase hakikat harus mampu merasakan dengan kesadaran penuh bahwa dengan puasa ia sebenarnya sedang berhubungan dengan Allah Swt sehingga apa pun yang dikerjakan dan dilakukan, baik ketika berpuasa maupun saat di luar ibadah puasa, senantiasa merasa dijaga dan diawasi Allah. Inilah yang dimaksud berada dalam tataran hakikat.

Pendeknya, puasa secara syariat adalah khidmatullah. Secara tarekat adalah qurbatullah. Secara hakikat ialah penggabungan diri dengan Allah (wushlatullah). Mereka yang bisa bergabung dengan Allah adalah mereka yang suci dan kembali pada fitrah Ilahi. Orang yang termasuk kategori tersebut layak disebut muttaqin (orang bertaqwa). Bukankah tujuan puasa Ramadhan agar manusia menjadi bertaqwa? Karena itu, puasa Ramadhan bukan hanya menjalankan syariat, tetapi juga untuk mengembalikan kita pada fitrah, kesucian. Bagi mereka yang mensucikan diri (tazkiyatun nafs) adalah yang pantas untuk sampai pada idul fitri.

Menjalankan aturan Allah dengan penuh keikhlasan akan meninggikan kita menuju menjadi manusia yang sempurna. Yakni manusia yang tidak lagi bergantung kepada sesuatu yang lain—baik itu materi maupun jabatan sosial—karena segala keperluaannya telah dipenuhi dan dijamin Allah Yang Mahasempurna. Allah Swt berfirman, ”Dia telah memberikan kepadamu segala keperluan dari apa-apa yang kamu mohonkan. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah maka tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan ingkar.” (QS Ibrahim: 34).
(Ahmad Sahidin/Kompasiana)

Jumat, 10 Mei 2019

Makna Puasa menurut Imam Gazali

Di zaman sekarang ini, kita melihat banyak orang yang mengenakan simbol agama, namun tidak menghidupi makna simbol tersebut. Banyak orang berpeci dan berbaju koko, namun tidak mencerminkan akhlak Nabi yang diutus sebagai pendidik, penyempurna akhlak. orang berjilbab namun tidak mencerminkan sikap yang diteladankan para ummul mukminin.

Salah satu simbol agama yang juga rawan disalah gunakan adalah puasa. Tentang hal ini, Imam Al Ghazali memberikan beberapa penjelasan yang menuntun kita untuk mendapatkan keutamaan puasa seutuhnya. Hal yang paling awal beliau sampaikan adalah peringatan agar kita tidak membatasi puasa hanya sebatas puasa wajib di bulan Ramadan. Jika kita memiliki pemahaman yang demikian, kita akan kehilangan kesempatan untuk memperindah masa depan akhirat dengan berbagai hal sunah, termasuk puasa sunah. Jarak kita dengan mereka yang ahli berpuasa sunah diibaratkan seperti penduduk bumi dan bintang yang berpendar indah di langit.

Berpuasa tidaklah sebatas menjaga nafsu dan syahwat. Namun lebih dari itu berpuasa adalah menjaga diri agar tidak melakukan berbagai hal yang dibenci oleh Allah, baik yang bisa dilakukan oleh mata, lisan, telinga, atau bagian tubuh yang lain. Menjaga diri agar tidak berkata hal-hal yang sia-sia, juga agar tidak mendengar apa yang diharamkan oleh Allah untuk dilakukan termasuk dalam makna luas puasa.

Menjaga nafsu dan syahwat memang sudah cukup bagi ulama fiqh untuk memenuhi syarat sah puasa. Namun ulama ahli hikmah memaknai sahnya puasa lebih dari itu. Puasa yang sah adalah puasa yang diterima. Puasa yang diterima adalah puasa yang maksudnya tercapai. Lalu apa maksud dari berpuasa? Adalah berakhlak dengan akhlak terbaik, akhlak malaikat, akhlak para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW.

Sejalan dengan makna ini ada sebuah hadits dimana Rasulullah SAW bersabda “Lima hal ini bisa membuat puasa seseorang tidak sah: berbohong, menggunjing, mengadu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan syahwat”. Tidak satu pun dari lima hal ini menunjukkan perilaku makan, minum, atau berhubungan suami istri. Namun mengapa kelimanya bisa membuat puasa seseorang tidak sah? Ini tentu berkaitan dengan makna sah itu sendiri; terwujudnya maksud puasa, untuk berakhlak mulia, dalam diri sang sa’im (orang yang berpuasa).

Jika seseorang telah melakukan puasa dengan sah, maka ketika ia menghadapi orang lain yang mengajaknya bercekcok atau sekedar menghinanya, ia hanya akan mengatakan pada dirinya “aku sedang berpuasa”. Selanjutnya, ia akan menunjukkan akhlak mulia pada orang tersebut. Sebagaimana dikatakan dalam Al Qur’an : Wa iza khatabahumul jahilu qalu salama (dan ketika seorang bodoh berbicara pada mereka, kaum beriman, mereka hanya mengatakan ‘damai’, menunjukkan sikap-sikap/respon-respon yang mendamaikan).

Imam Al Ghazali juga mengingatkan kita tentang hadits-hadits yang menunjukkan betapa Allah memperlakukan puasa secara spesial. Dalam beberapa versi hadits dikatakan bahwa puasa adalah tameng, dan puasa adalah milik Allah sendiri, serta Allah sendiri lah yang nanti akan secara langsung membalasnya. Nabi juga pernah bersumpah bahwa bau mulut seorang yang berpuasa beraroma jauh lebih wangi di sisi Allah dibandingkan dengan minyak misik.

Satu hal menarik disampaikan oleh beliau terkait tata krama berbuka bagi orang yang berpuasa. Beliau mengatakan bahwa wadah yang paling dibenci oleh Allah adalah perut yang diisi oleh hal-hal halal, sampai tidak muat.

Imam Al Ghazali kemudian menjelaskan beberapa waktu yang diutamakan untuk berpuasa, dari level minggu, bulan, hingga tahun. Di antara sekian hari dalam seminggu, hari Senin, Kamis, dan Jum’at adalah hari yang diutamakan untuk berpuasa. Di antara sekian hari dalam sebulan, tanggal pertama, tanggal terakhir dan ayyamul bid (hari-hari putih yaitu tanggal 13, 14, dan 15) adalah hari-hari yang diutamakan untuk berpuasa.

Di antara sekian banyak bulan dalam setahun, empat bulan mulia (Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab) adalah bulan yang diutamakan untuk berpuasa di dalamnya. Waktu-waktu utama ini dijelaskan akan menjadi kaffarah (pembebas dosa) yang dilakukan selama seminggu, sebulan, dan setahun. Selain itu, ada beberapa hari yang disaksikan oleh hadits sebagai waktu yang memiliki keutamaan khusus. Waktu-waktu itu adalah hari Arafah, hari Asyura, sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah, sepuluh hari pertama bulan Muharram, Rajab, dan Sya’ban.

Tidak cukup sampai di situ. Dijelaskan pula oleh Imam Al Ghazali bahwa Allah telah menyediakan satu tempat khusus di surga, yang pintunya bertuliskan Al-Rayyan (kesegaran, kedamaian) dan hanya bisa dimasuki oleh mereka yang ahli berpuasa. Setelah semua ahli berpuasa telah masuk, pintu itu akan tertutup, dikunci, dan tidak membiarkan selain orang yang ahli berpuasa memasukinya. Semoga Allah membukakan pintu hidayah-Nya pada kita, sehingga kita digolongkan sebagai orang-orang yang ahli berpuasa.


Muhammad Nur Hayid, Pengurus LDNU PBNU dan Pengasuh Pondok pesantren Skill Jagakarsa, Jakarta

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...