Jumat, 13 September 2019

Menyampaikan permohonan kepada Allah

Apabila kita berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam hal duniawi maupun ukhrowi maka kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Jika usaha yang kita lakukan tidak mampu mewujudkannya, kita akan meminta pertolongan kepada orang lain yang kita anggap mampu. 

Jika mereka juga tidak mampu membantu kita untuk mendapatkan apa yang kita hajatkan, maka kita akan memohon pertolongan kepada Allah, mengangkat kedua tangan sambil merendahkan diri dengan air mata yang bercucuran, dan suara yang lembah lembut merayu-rayu menyatakan harapan kepada Allah. Selama hajat kita belum tercapai, selama itu pulalah kita tekun beribadah dan bermunajat dengan sepenuh hati.

Apa yang berada dalam kehendak milik Allah, tidak akan ada yang mampu menghalanginya. Begitu pun ketika apa yang kita munajatkan sampai kepada ketetapan milik Allah atas pengabulannya, maka dengan mudah akan terjadi begitu saja. Seandainya Allah mengaruniakan kepada kita semua khazanah atau kekayaan yang ada di bumi dan di langit, maka hal itu tidak sedikit pun mengurangi kekayaan milik-Nya. 

Seandainya Allah mengaruniakan ketetapan yang menahan semua karunia-Nya, maka hal itu tidak sedikit pun menambah kekayaan milik-Nya. Jadi, dalam hal mengaruniakan atau menahan, tidak sedikit pun memberi kesan atau berpengaruh kepada ketuhanan yang dialamatkan kepada Allah. Ketuhanan-Nya adalah mutlak, tidak sedikit pun terikat dengan kehendak, do’a dan amal hamba-hamba-Nya.

Keterangan Qur’an :
“dan kekuasaan untuk melakukan apa yang Dia kehendaki itu tetap (menjadi) milik-Nya” (Q.S Ibrahim : 27)
“semuanya itu tunduk kepada kekuasaan-Nya” ( Q.S Al Baqoroh : 116)
“Allah tidak dapat ditanyai tentang apa yang diperbuat-Nya, kalianlah yang kelak akan ditanyai” (Q.S Al Anbiya : 23)

Sebagian besar orang tidak menyadari bahwa seringkali mereka men-syirik-kan Allah dengan do’a dan amal. Mereka menjadikan do’a dan amal sebagai kuasa penentu atau setidak-tidaknya mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mempunyai daya untuk tawar menawar dengan Tuhan. 

Seolah-olah mereka berkata :
“wahai Tuhan! Aku sudah membuat tuntutan maka Engkau wajib memenuhinya. Aku sudah beramal maka Engkau wajib membayar upahnya!”

Siapakah sebenarnya yang berkedudukan sebagai Tuhan? Kita atau Allah?. Sekiranya kita tahu bahwa diri kita ini adalah hamba, maka berlagaklah sebagai hamba. Hak seorang hamba adalah ridho dengan apa pun ketetapan dan karunia milik Tuhannya. 

Do’a adalah penyerahan bukan tuntutan. Kita telah berusaha tetapi gagal. Kita pun telah meminta pertolongan makhluk tetapi itu juga gagal. Apa lagi pilihan yang masih ada, selain berserah diri kepada Allah atas segala urusan, termasuk dalam perkara yang kita hajatkan. Berserah diri artinya tetap sabar mengabdi dan ridho terhadap apa pun ketetapan milik Allah yang berlaku kepada kita.

Seringkali kita tergesa-gesa menjatuhkan penilaian terhadap ketetapan-ketetapan milik Allah yang berlaku kepada kita, tanpa perenungan dan penelaahan yang mendalam untuk mengetahui dan memahami maksud, tujuan, hikmah dan hakikat yang tersamarkan di balik ketetapan-ketetapan itu. 

Bukankah pengetahuan kita tentang perkara-perkara itu sangatlah sedikit, bahkan untuk menentukan apa yang baik untuk diri kita sendiri saja, apakah kita benar-benar mengetahuinya, siapakah yang paling mengetahui yang terbaik bagi diri kita, kita sendirikah ataukah Allah yang merupakan pencipta dan pemilik dari diri kita?

Keterangan Qur’an :
“Kepunyaan Allah lah pengetahuan tentang segala sesuatu yang diciptakan, dan Dia lah pemilik sifat maha lembut dan maha waspada” (Q.S Al Mulk : 14)
“Dialah pemilik pengetahuan tentang segala yang samar dan yang tampak dan pemilik kekuasaan dan kebijaksanaan” (Q.S At Taghaabun : 18)
“Apa saja yang Kami batalkan dari ayat-ayat Kami, atau yang Kami tangguhkan, maka Kami datangkan gantinya yang lebih baik daripadanya atau yang sepadan dengannya, apakah kamu tidak mengetahui bahwa segala sesuatu itu tunduk kepada kekuasaan Allah” (Q.S Al Baqoroh : 106)

Keterlambatan dalam pengabulan atas apa yang kita munajatkan kepada Allah, hendaknya jangan sampai mengecewakan kita, karena pengaruniaan terhadap apa yang kita munajatkan sesuai dengan ukuran niat kita. Kadang-kadang pengabulan atas suatu munajat tertunda dengan maksud agar menjadi suatu dasar bagi nilai kebaikan yang lebih besar dan dasar dari pengaruniaan-pengaruniaan yang lebih baik. 

Kadang-kadang kita mengajukan sesuatu tetapi tidak dikaruniakan kepada kita dan sesuatu yang lebih baik dikaruniakan kepada kita kemudian, atau sesuatu diambil dari kita demi suatu kebaikan yang lebih besar bagi kita, karena kadang-kadang kita mengajukan sesuatu yang mengandung keruntuhan bagi agama kita apabila dikaruniakan kepada kita

Kadang-kadang terjadi suatu perkara yang dimunajatkan sebelumnya berlawanan dengan apa yang dimunajatkan kemudian. Atau pengajuan atas suatu perkara berujung kepada pengajuan suatu perkara yang lain secara beruntun. Kita hanya melihat kepada satu perkara yang dimunajatkan, padahal kalau di ingat-ingat lagi sudah berapa banyak perkara yang kita munajatkan? Bukankah apa yang kita munajatkan itu kadang-kadang berubah-ubah? 

Jadi kalau kita gunakan kata “menerima”, kita hanya melihat kepada satu munajat tetapi Allah “menerima” kedatangan semua yang dimunajatkan oleh kita dari hal pertama yang kita munajatkan sampai hal yang terakhir kita munajatkan. Dengan demikian, dari semua munajat yang kita panjatkan, bisa jadi menginduk kepada satu munajat, yang dalam padangan hukum Allah merupakan munajat yang terbaik.

Misalnya, seseorang yang beriman bermunajat kepada Allah dengan salah satu kalimah munajat yang terdapat dalam Qur’an, seperti :
“ya Allah engkaulah Tuhan kami, mudah-mudahan Engkau mengaruniakan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan mudah-mudahan kami diselamatkan dari adzab neraka” (Q.S Al Baqoroh : 201)

Jika melalui munajat tersebut dia sampai kepada rahmat dan keridhoan Allah, atau dengan kata lain munajatnya dikabulkan, maka munajat tersebut menjadi induk atas semua munajat-munajat dia. Sehingga satu munajat yang dikabulkan dapat menepis munajat-munajat yang lain. 

Jika kemudian dia bermunajat tentang sesuatu yang hanya mendatangkan kebaikan di dunia saja, tidak untuk akhirat dan tidak menyelamatkannya dari adzab neraka, maka munajat yang induk itu menahan munajat yang datang kemudian. Jadi ketika suatu munajat yang datang kemudian tidak dikabulkan, maka sebenarnya dia sedang dipelihara dan dihindarkan dari kemudharatan melalui sesuatu yang menggerakkannya ke arah yang ditunjukkan oleh do’a induk tersebut.

Oleh sebab itu, do’a atau munajat adalah tanda keberserah-dirian kita sebagai hamba kepada sang khaliq. Dengan kata lain, do’a adalah tanda bahwa kita beriman kepada Allah, sebab kalau kita tidak mengetahui, tidak menyadari dan tidak mengimani bahwa seluruh perkara itu hanya tunduk kepada Allah, maka kita tidak akan berdo’a. Sehingga dengan demikian, maka keberserah-dirian kepada Allah itu harus muncul dalam kalimat munajat yang kita ucapkan. 

Misalnya :
“ya Allah, tuhanku, pemilik keagungan, kelembutan, pengetahuan dan kebijaksanaan, aku adalah hamba yang lemah dan bodoh, tidak berkekuatan dan tidak berpengetahuan selain dengan kekuatan dan pengetahuan milikMu, aku sedang berhajat kepada sesuatu tetapi aku tidak mengetahui akibatnya bagiku, Engkaulah dzat pemilik sifat maha mengetahui. 

Sekiranya apa yang aku hajatkan ini baik akibatnya bagiku di dunia dan di akhirat, mudah-mudahan hal itu dikaruniakan kepadaku dengan sebab usaha yang aku lakukan dalam rangka mengabdi kepada-Mu. 

Tapi sekiranya akibatnya buruk bagiku di dunia dan di akhirat, mudah-mudahan aku dikaruniakan pertolongan dari-Mu, sehingga dengan pertolongan itu aku dijauhkan dari hal itu dan hal itu dijauhkan dariku, dan mencabut keinginanku terhadap hal itu. Sesungguhnya Engkaulah pemilik kekuasaan dan segala sesuatu tunduk kepada kekuasaan-Mu, dengan rahmat-Mu wahai dzat pemilik seluruh kenikmatan di dunia dan di akhirat”

Satu hal lagi yang harus kita sadari yaitu kita telah diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, kita telah diciptakan untuk akhirat bukan untuk dunia ini, untuk kefanaan, bukan untuk kekal di dunia ini. 

Oleh karena itu, hendaknya apa yang kita munajatkan itu adalah hal-hal yang keindahan dan kenikmatannya bersifat langgeng serta yang tidak akan membebani kita di hari pengadilan kelak. Mengenai kekayaan, jabatan, popularitas dan yang semacamnya, itu tidak akan langgeng bagi kita, dan kita pun tak akan hidup untuk itu.
(baitulakhlaq.blogspot.com)

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...