Jumat, 09 Desember 2022

Belajar Hakikat Cinta kepada Allah melalui Kisah Laila & Majnun

Kisah ini ditulis oleh Nizami Ganjavi (nama pena) karena berasal dari daerah Gans, Azerbaijan. Nama aslinya adalah Jamaluddin Ilyas bin Yusuf bin Zakky. Ia merupakan ahli hikmah (Hakim Nizami), sejak kecil yatim dan dibesarkan pamannya dan disekolahkan. Ia dikenal sangat pintar dan menguasai banyak ilmu agama.

Hal yang menarik dari hidupnya, Nizami yaitu merupakan seorang sastrawan dan banyak menulis kisah cinta, salah satunya Laila & Majnun. 

Dalam kesempatan kali ini merupakan cerita rakyat/lisan, orang Arab sebelumnya sudah masyhur mengenal kisah Laila & Majnun. Namun ada beberapa yang kontroversial, bahwa ada yang menganggap cerita ini ini nyata apa cuma rekaan.

Dalam riwayat, Majnun bernama asli Qais begitu dikenal begitu tampan, pintar, dan terpandang di sukunya, sedangkan Laila bernama asli Ibnu ‘Aamir yang begitu cantik berasal dari suku sebelah. Dalam kisahnya karena dalam lingkup satu sekolah yang sama, ketika Majnun pertama kali melihat paras Laila yang cantik rupawan, seketika ia jatuh cinta. Pemuda-pemudi nusantara kerap menyebutnya “Jatuh cinta pada pandangan pertama.”

Seketika Majnun kehilangan kesadaran karena tumbuh benih-benih cinta yang tak ia sangka. Begitu pun Layla ketika untuk pertama kalinya menatap wajah Qays, langsung terpikat. Dua orang anak muda itu sama-sama jatuh cinta. Bahkan keduanya digambarkan sedang “Mabuk” (Cinta).

…….., “Wahai Laila, Cinta telah membuatku lemah tak berdaya // Seperti anak hilang, jauh dari keluarga dan tidak memiliki apa-apa //

Mereka mengatakan aku telah tersesat // Wahai, mana mungkin cinta menyesatkan // Jiwa mereka sebenarnya kering, laksana dedaunan // Diterpa panas mentari siang //

Bagiku cinta adalah keindahan // yang membuat mata tak bisa terpejam // Pemuda mana yang bisa selamat dari api cinta? //”

Majnun ketika gila sering dikerumuni orang karena ia kerap kali menggubah syair, begitu ditunggu-tunggu karena keindahannya. Setelah beberapa lama, ia seperti orang tidak terawat tidak pakai baju dan rambutnya gondrong. Begitu pun Laila yang dalam beberapa bagian ceritanya, kerap kali mengeluarkan puisi. Dan pada akhirnya puisi-puisi Laila dikirim melalui surat untuk Majnun.

Dalam waktu yang tidak begitu lama, tersebarlah gosip tentang kedua anak muda yang tengah dimabuk cinta tersebut. Dari berita itu, ayah Layla merasa hal itu merupakan pencemaran nama baik yang dianggap meruntuhkan kehormatan suku. Maka supaya tidak menjadi bahan omongan terus menerus, kemudian Laila tidak lagi diperbolehkan sekolah kembali. (Dua anak muda yang sedang mabuk-mabuknya sekarang dipisah). Kemudian dimulailah babak pertama kegilaan Qais.

Majnun berusaha dengan berbagai cara untuk bertemu Laila, akan tetapi tidak bisa. Lalu mulailah muncul syair-syair, tangisan-tangisan rindu Majnun. Kemana-mana hanya menyebut nama Laila…Laila…Laila..dan Laila. Bahkan ia rela menyamar sebagai kambing, dan berjalan diantara kambing-kambing tersebut ketika melintasi kediaman Laila. Dalam riwayat lain, Majnun rela menyamar sebagai pengemis yang hina ke desa Laila dan menyamar sebagai pembantu perempuan, yang tak lain supaya kembali bisa menatap kekasihnya.

Singkat cerita, karena Laila juga sangat merindukan Majnun, ia pun kerap kali merenung dan mengharap kembali kedatangan Majnun. Ia kerap setiap saat menyeru nama Majnun di penjara kamarnya, begitupun di taman kediamannya. Hanya Majnun yang tertulis dalam lubuk hatinya, hanya Allah dan Laila yang tahu betapa cintanya ia terhadap Majnun.

Namun, apalah daya sang ayah tidak tega melihatnya dan ia pun dinikahkan dengan Ibn Salam, yang merupakan seorang bangsawan. Lantas Laila pun menolaknya, akan tetapi ponolakannya tidak digubris oleh pihak keluarganya, dan pernikahanpun berlangsung.

Kabar itu sampai kepada Majnun, dan ia semakin gila, menangis, meratap berhari-hari dan memilih menyendiri di dalam gubuk kecilnya di atas bukit. Setelah bertahun-tahun menyendiri dan hidup bersama binatang buas, akhirnya Majnun pun rela melepas Laila dan menemukan kedamaian.

Sejak pernikahannya dengan Ibn Salam, Laila sama sekali belum pernah berhubungan suami istri dengannya, ia masih tetap mengharap kehadiran Majnun di sisinya. Selang beberapa lama, Ibn Salam pun dikabarkan meninggal di waktu musim panas. Laila pun terisak tangi tersedu-sedu, bukan karena menangisi kepergian Ibn Salam, akan tetapi ia menangis kerinduan akan bertemu Majnun dan sangat mencintainya.

Tak lama kemudian ketika Laila kembali ke rumah ayahnya, Ia dikabarkan jatuh sakit batuk parah dan tidak memikirkan kesehatannya. Ia hanya memikirkan Majnun setiap saat, bahkan ketika maut menjemput pun ia tetap memikirkan Majnun. Pada akhirnya, ketika gelapnya malam, Laila seperti biasa menatap pinti dan ia pun menghembuskan nafas terakhirnya dan bergumam “Majnun….Majnun….Majnun….Majnun.”

Kematian gadis si cantik jelita tersebut tersebar ke seluruh penjuru negeri, dan sampai pula kepada Majnun. Ia pun seketika pingsan di tengah padang gurun. Ketika kembali sadar, ia pun langsung bergegas menuju desa Laila dan berkunjung ke makam Laila. Ketika tidak sanggup jalan, ia pun menyeret tubuhnya untuk sampai ke makam Laila. Ia pun meletakkan tubuhnya di atas makam Laila dan diriwayatkan setelah beberapa hari Majnun pun turut meninggal. Jasad Majnun pun baru ditemukan satu tahun setelahnya.

Di akhir kisahnya, seorang Sufi dalam mimpinya melihat Majnun tengah dibelai dengan penuh rasa cinta dan sayang oleh Allah SWT, kemudian ia pun mendudukkan Majnun disamping-Nya. Kemudian berkata lah Allah SWT kepada Majnun “apakah engkau tidak malu wahai Qais memanggil-manggil nama-Ku dengan sebutan Laila, setelah kau meminum minum anggur Cintaku?”

Tak begitu lama sang sufi pun terbangun dan berangan-angan: “Jikalau Majnun begitu diperlakukan demikian (penuh kasih sayang) oleh Allah SWT, lantas bagaimana dengan Laila?”. Seketika Allah memberikan ilham kepadanya bahwa kedudukan Laila jauh lebih agung dan tinggi daripada Majnun, karena ia menyembunyikan segala rahasia cintanya dalam diri dan hidupnya sendiri.

Pelajaran yang dapat kita petik yaitu, jika seseorang sudah jatuh/dimabuk cinta kepada Allah, maka akan keluar secara otomatis dari mulutnya nama Allah Allah Allah, baik sengaja atau tidak pasti itu akan keluar dan tidak aka nada bosannya. “Cinta adalah pondasi dalam beribadah”. Bahkan para wali Allah lupa terhadap dirinya dan rela melakukan apa saja untuk beribadah kepada Allah. Seperti kisah di atas, begitu ketika cinta kepada Allah SWT, maka dunia dan segala isinya tidak berarti.

Dalam konteks hablun min Allah dan hablun min An-Naas, orang yang menyembunyikan amal perbuatannya dari orang lain maka akan mendapat sisi yang tinggi dihadapan-Nya. Karena hanya ia dan Tuhannya yang tahu. (AMA/Alif.id).

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...