Jumat, 20 Oktober 2023

Tasawuf Rasa Abu Yazid Al-Busthami

Untuk memahami konsep "Al-Ittihad" dalam perjalanan rohani Abu Yazid al-Busthami, kita bisa meneliti konsep-konsep ketuhanannya yang terangkum dalam peristilahan (syatahat) yang sering disampaikannya. 

Misalnya, kata-kata Ana al-Haqq (Akulah Kebenaran). Ketika membawa rombongan haji ke tanah suci, para jamaah harus mengikuti dan menuruti apa yang dilakukan sang mursyid selaku pembimbingnya. Seketika itu, berucaplah Abu Yazid: "Tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku". Bahkan, ada beberapa syatahat yang sulit dipahami orang-orang biasa, namun hanya dapat ditangkap oleh pemahaman orang yang kualitas kesufiannya sudah tinggi. 

Ketika Abu Yazid ditanya oleh salah seorang sahabatnya, ia hanya mengatakan: "Bukan aku yang mengucapkan, tetapi Tuhan berbicara melalui lidahku dalam keadaan fana." Jadi, kata-kata yang terucap itu dalam keadaan dirinya mengalami "ittihad" atau penyatuan diri dengan Sang Khalik. 

Tetapi, sebagian ahli fiqih tak bisa menerima pernyataan itu secara hukum syariat, karena diibaratkan orang yang sedang mengkhayal, mengigau atau mabuk. Di sisi lain, Abu Yazid sendiri mengaku dalam keadaan "fana" dan tenggelam dalam diri-Nya. Dalam hubungannya dengan Sang Khalik, Abu Yazid juga memakai istilah al-isyq (rindu berat), bahkan juga as-sakar (dimabuk cinta). 

Menurut Abu Yazid, karena Tuhan itu Maha Suci, maka unsur dari manusia yang dapat berjumpa dengan-Nya haruslah disucikan terlebih dahulu. Untuk itu, ia akan dapat bersatu hanya dalam keadaan suci, setelah menyucikan dirinya. "Ruh manusia harus suci. Karena yang dapat mendekati Yang Maha Suci adalah yang suci pula. Ruh yang memasuki tubuh yang bernafsu, bisa dibuat kotor oleh hawa nafsu. 

Karenanya, ruh harus disucikan dahulu dari kotoran-kotoran yang melekat pada dirinya," demikian ujar Abu Yazid. Diskursus kesufian Menurut Abu Bakar Atjeh, ada tahapan-tahapan tersendiri untuk memuluskan rohani hingga mencapai derajat kesufian, di antaranya mempelajari pengetahuan dan pendalaman akan ilmu tasawuf, mencari mursyid atau bersahabat dengan teman-teman sependirian, rajin melakukan zikir dan wirid untuk mewujudkan hudlur (kehadiran), mengekang diri dari kecenderungan nafsu duniawi, serta konsisten untuk menjaga diri dari ketersestan. 

Adapun jalan yang ditempuh Abu Yazid adalah pelatihan dan riyadlah selama puluhan tahun hingga mencapai kefanaan dan penyatuan diri dengan Sang Khalik, bahkan merasa diri hancur-lebur (fana) untuk bersatu dengan-Nya. 

Dalam konteks kehilangan akan kesadaran diri, hingga melebur dalam kesadan-Nya, seorang analis sufi William James pernah menulis dalam bukunya The Varieties of Religion Experience sebagai berikut: "Pengalaman mistis Abu Yazid al-Bustami sulit diuraikan dengan kata-kata yang memadai untuk bisa mengisahkannya. 

Kualitas kesufian semacam itu harus dialami secara langsung, karena pengertian cinta dan rindu yang dialaminya sulit terjamah oleh cinta manusia biasa. Jadi, ada semacam perasaan yang sulit diungkap dengan kata-kata, kecuali oleh orang yang mendapatkan wawasan tentang kedalaman hakikat kebenaran. 

Hal tersebut sulit termaknai oleh kemampuan intelektual yang bersifat diskursus. William James memknai proses kefanaan Abu Yazid, dikondisikan oleh faktor kesengajaan dan penuh kesadaran. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan dengan pemusatan pikiran yang fokus dalam konsentrasi tinggi. 

Ia memerlukan gerakan tubuh atau bacaan-bacaan tertentu. Kemudian, saat kesadaran akan penyatuan dirinya muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang, dan ia merasa dikuasai oleh Kekuatan Yang Maha Tinggi. Secara teoritis, sebenarnya Abu Yazid sendiri tak pernah menggunakan istilah "al-ittihad" melalui konsep sufistik yang dipraktikkannya. Ia hanya menjalani amalan yang disukainya dalam praktek kesufian, hingga kemudian membentuk ajaran yang dinamakan "al-ittihad". 

Jadi, sulit untuk ditemukan kalimat yang menjelaskan bahwa Abu Yazid adalah pelopor yang menunjukkan jalan "al-ittihad" secara teoritis. Adapun mengenai turunnya wahyu sebagai kalam ilahi, hal tersebut hanya dialami oleh para nabi dan rasul pilihan-Nya. Apabila sampai seseorang berkat karunia Allah pada tingkatan pewahyuan, inilah yang disebut "ittihad" sebagai wahyu Allah yang disampaikan melalui perantaraan hamba yang dicintai-Nya. 

Sedangkan yang diajarkan Abu Yazid kelak akan membentuk thariqoh atau jalan yang dilalui olehnya, untuk dapat mencapai kebenaran-Nya. Jadi, konsep "ittihad" itu dimunculkan oleh para sufi generasi sesudahnya, yang diilhami dari ucapan-ucapan alam bawah sadar (syatahat) yang dialami Abu Yazid sendiri. 

Rasa bertasawuf "Siapa yang tidak mengalaminya secara langsung, maka sulit baginya untuk mengerti," demikian ungkapan sebagian ahli tasawuf mengenai teori dan praktek mistisisme dalam dunia tasawuf. Karena biasanya sang guru (mursyid) hanya akan menunjukkan jalan dan tempatnya, adapun perkara pengalaman yang dirasakannya sulit terbahasakan, kecuali jika dijalani dan dirasakan langsung oleh para muridnya. 

Abdurrahman Siddiq Safat mengungkap jalan yang ditempuh Abu Yazid, konon ia sering merasakan adanya ikat pinggang yang melilit di tubuhnya, hingga ketika tiba saatnya berjumpa dengan Allah, maka ikat pinggang itu terputus dari lilitan tubuhnya. Oleh karena itu, menjelang akhir hayatnya Abu Yazid melaksanakan salat dengan ikat pinggang dan baju wol yang terbalik dikenakan dalam tubuhnya. 

Kemudian, ia bermunajat dan menyampaikan kata-kata terakhirnya: "Ya Allah, aku tidak membanggakan kesalehanku selama ini. Aku tidak membanggakan puasa, tahajud, bahkan seberapa kali aku mengkhatamkan Alquran sepanjang hidupku. Aku tak pernah mengatakan pengalaman spiritualku sebagai unik dan langka yang tak pernah dialami oleh orang lain. Aku tak mau membanggakan doa, munajat dan kedekatanku dengan-Mu. Saat ini, kukatakan pada-Mu bahwa aku malu dengan segala perbuatanku. Semua yang kulakukan itu semata-mata karena rahmat dan kasih sayang-Mu kepadaku sebagai hamba yang hina dina ini. Aku telah menapaki jalan berliku selama 70 tahun sehingga rambut memutih karena kebodohan dan kejahilanku. Di sepanjang padang pasir aku tertatih-tatih dengan ikat pinggang terlilit di tubuhku. Namun, baru saat inilah aku memahami apa yang disebut Islam dan kepasrahan diriku kepada-Mu. Baru sekarang inilah aku dapat mengucapkan syadahat di hadapan-Mu."

Di akhir hayatnya, Abu Yazid al-Busthami mulai menyadari bahwa Allah dapat melakukan dan memutuskan segala perkara tanpa memerlukan sebab apapun. Allah tidak menjadikan kekasih-Nya disebabkan ketaatan dan kepatuhannya. Juga Allah tidak menjauhi hamba lantaran kekufuran dan keingkarannya. Abu Yazid menyadari bahwa segala daya-upaya yang dilakukannya selama ini hanyalah noktah debu belaka. 

"Untuk setiap kelakuan dan kesombonganku selama ini," ujar Abu Yazid, "aku mohon dilimpahkan ampunan-Mu, ya Allah. Basuhlah debu keingkaran di dalam diriku, karena aku pun telah membasuh debu keangkuhan dan kesombongan, lantaran mengaku telah mematuhi segala perintah-Mu, ya Allah, Allah, Allah...." Setelah mengucap lafadz "Allah" tiga kali, Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 261 Hijriyah. 

Makamnya terletak di tengah kota Bustam (Iran) dan menarik banyak pengunjung dari berbagai pelosok negeri. Pada prinsipnya, ia menyadari bahwa kehidupan Rasulullah sebagai pengemban risalah, adalah teladan bagi semua kalangan, baik tua maupun muda, kaya maupun miskin, bahkan dapat menjadi cermin bagi semua mazhab dan aliran keagamaan, baik yang konservatif, modern, hingga kaum sufistik sekalipun.

(Sumber:nu.or.id/penulis:Hafis Azhari/Penulis buku Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten)

SEPULUH ARGUMENTASI BAHWA MALAM KE-27 ADALAH LAILATUL QODAR

Apakah bisa dipastikan tanggal 27 Ramadan adalah lailatul qodar? Untuk memastikan, barangkali lebih berhati-hati jangan. Tetapi bahwa mayori...