Senin, 03 Desember 2012

Mendidik Anak: Right to Fight


by: Jemy V Confido

Setiap anak terlahir dengan hak istimewa untuk berjuang dan setiap orang tua bertanggung jawab agar mereka tidak kehilangan haknya saat kelak tumbuh dewasa. (JVC)

Suatu ketika seorang anak menyaksikan sebuah kepompong sedang bergerak-gerak. Tak lama kemudian, sesosok bentuk yang lucu dan mengibakan muncul dari dalam kepompong tersebut. Ternyata makhluk mungil itu adalah kepala seekor ulat yang tengah berubah menjadi seekor kupu-kupu.

Sang ulat kemudian bergulat dengan balutan kepompong, berusaha melepaskan diri. Perlahan-lahan, sang ulat pun berhasil mengeluarkan sebagian tubuhnya. Sang anak tadi kemudian segera sadar apa yang sedang dilakukan sang ulat yaitu membebaskan diri dari balutan kepompong tersebut. Ia pun kemudian mengulurkan tangannya dan membukakan balutan kepompong tersebut. Singkat cerita, sang ulat pun kemudian terbebas dari balutan kepompong berkat bantuan sang bocah.

Di bagian punggung sang ulat tampak sepasang sayap kupu-kupu yang indah. Sang ulat yang kini sudah menjadi kupu-kupu itu pun kemudian membentangkan kedua sayapnya. Ia bersiap-siap untuk mengepakkan sayapnya dan terbang untuk pertama kalinya. Namun apa daya, sayapnya tidak bisa mengepak dengan sempurna dan sang kupu-kupu baru itu pun tidak bisa terbang. Rupanya, niat baik sang bocah telah menimbulkan akibat yang buruk terhadap perkembangan sang kupu-kupu.

Proses yang sejatinya berlangsung berjam-jam, telah diubah menjadi beberapa menit saja oleh sang anak. Hal ini menyebabkan sang kupu-kupu kehilangan kesempatan terbaiknya untuk melatih otot-ototnya sehingga otot-ototnya tidak cukup kuat untuk terbang. Kondisi ini sulit untuk diperbaiki kemudian selain karena tidak tersedia fasilitas khusus untuk melatih otot-ototnya, elastisitas otot-ototnya juga sudah berkurang seiring pertambahan usia kupu-kupu ini.

Sebagai orang tua, saya juga pernah merasakan situasi serupa. Kehadiran putri kami yang merupakan anak pertama sungguh memberikan kebahagiaan. Terlebih lagi kelucuan dan kadang kehebohan yang diciptakannya sungguh memberikan kegembiraan tersendiri bagi kami. Semua ini membuat kami berusaha memberikan yang terbaik dan terkadang agak memanjakan putri kami tersebut. Setelah melalui masa-masa yang penuh dengan keceriaan tersebut, maka tibalah putri kami untuk memasuki masa-masa persiapan sekolah. Setelah melalui masa pra sekolah dengan baik, tahun ini putri kami pun masuk ke kelas TK Kecil. Di tahap ini, putri kami sudah dituntut untuk mulai menulis huruf dan angka.

Tak ayal, saya dan istri pun mulai mengajarinya. Pertama-tama kami berusaha mengajarinya dengan sabar namun lambat laun kesabaran kami semakin berkurang karena melihat putri kami tidak cukup tertarik untuk belajar. Kami pun mulai mendidiknya dengan keras. Untuk beberapa saat, putri kami seperti terkejut dan protes terhadap tindakan kami. Matanya seolah bertanya mengapa kelemahlembutan ibu dan kebersamaan ayah berubah menjadi kemarahan? Mengapa saya tidak bisa dibebaskan saja dari tuntutan untuk belajar ini dan bisa bermain dengan gembira?

Saya dan istri pun berdiskusi. Putri kami rasanya masih terlalu kecil untuk diberi tugas menulis. Apakah kami terjebak dalam ambisi orang tua dan kemudian merampas kegembiraan putri kami ataukah kami benar-benar sedang mendidiknya agar ia kelak bisa menggunakan salah satu hak istimewa yang dimilikinya yaitu hak untuk berjuang. Dalam hal ini, kami sadar bahwa bukan hasil tulisannya yang penting bagi kami tapi keinginan untuk mencoba menulis itu yang kami coba timbulkan dalam diri putri kami. Setelah melalui berbagai upaya, dalam beberapa minggu berikutnya, putri kami terlihat semakin tertarik mencoba menulis. Meskipun awalnya berat, namun pada akhirnya kami semua sangat bergembira karena kemajuan yang diperlihatkan oleh putri kami tersebut.

Tanpa disadari oleh setiap anak yang terlahir ke dunia ini dan juga tanpa disadari oleh kebanyakan orang tuanya, sesungguhnya setiap anak memiliki hak untuk berjuang agar ia mampu menghadapi kerasnya kehidupan ini dan menjadi orang yang berhasil. Hak ini seringkali dirampas tanpa disadari oleh orang-orang di sekitarnya terutama orang tuanya sendiri dengan alasan tidak ingin mengambil kebahagiaan anak-anak mereka. Sungguh suatu perbedaan yang tipis sepertinya namun dengan pikiran yang jernih dan hati nurani yang ikhlas, setiap orang tua bisa dengan bijak membedakannya. Ketika kita membuat anak-anak kita tertawa bahagia, maka kita sedang memberikan kebahagiaan kepada mereka. Kecuali, bila kebahagiaan tersebut membuat mereka tidak mau berusaha, maka kita sesungguhnya sedang mengambil hak mereka untuk dapat berjuang.

Agar kita tidak merampas hak anak-anak kita untuk berjuang, berikut tiga tips sederhana yang bisa saya bagikan kepada para pembaca:

1. Didiklah anak untuk terbiasa bertanggung jawab sejak dini.

Hal-hal kecil seperti memasang sepatu dan kaos kaki sendiri akan melatih anak untuk bisa mandiri dan lebih siap untuk berjuang nantinya. Biasakan juga anak untuk menerima kenyataan bila ia memang melakukan kesalahan dalam proses memikul tanggung jawab ini. Hindari kebiasaan buruk seperti menyalahkan lantai bila anak terjatuh karena ia kurang berhati-hati. Beri pengertian kepadanya bahwa bila ia kurang berhati-hati maka ia bisa terjatuh.

2. Hargailah setiap usaha yang diperlihatkan oleh anak.

Para orang tua tentu berharap bahwa anak-anak mereka akan berhasil nantinya. Namun hasil tidak selalu tercapai seketika. Karena itu, beri perhatian pada usaha yang dilakukan oleh sang anak, bukan kepada hasil yang diperolehnya. Bila sang anak sudah belajar keras namun nilai ujiannya belum memuaskan, beri penghargaan kepada usahanya. Terus beri semangat bahwa hasil yang baik akan datang dari usaha yang baik pula. Bantu sang anak untuk menemukan usaha yang lebih efektif serta beri dukungan yang diperlukan terutama dukungan moril.

3. Rangsang anak untuk memiliki tujuan dan yakinkan bahwa ia harus berjuang untuk mencapainya.

Setiap orang tua selalu tertarik untuk mendengar cita-cita para anaknya. Bahkan tidak jarang justru orang yang memberikan cita-cita kepada anakn-anak mereka. Namun kegairahan untuk meraih cita-cita harus dibarengi juga dengan kesediaan untuk memperjuangkannya. Sambil menunggu tercapainya cita-cita yang besar, akan sangat membantu bila anak-anak juga memiliki tujuan-tujuan antara. Misalnya menjadi juara kelas atau memiliki tas sekolah baru. Ajak mereka untuk berjuang mencapai tujuan-tujuan tersebut seperti belajar dengan lebih tekun atau menabung. Ciptakan simulasi-simulasi yang menarik dan menantang bagi mereka untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Dalam memberikan hak bagi anak-anak untuk berjuang tersebut, kita harus selalu ingat bahwa semakin awal kita mengajarkannya kepada mereka maka akan semakin baik hasilnya. Sebaliknya, semakin terlambat kita mengajarkannya, maka akan semakin sulit bagi mereka untuk menerimanya. Hal ini terutama disebabkan oleh terbentuknya kebiasaan kontra produktif yang justru membuat mereka lebih memilih untuk menghidari tantangan dan tanggung jawab.

Sang bocah dalam kisah di atas mungkin merasa iba melihat sang ulat yang kesulitan keluar dari balutan kepompong. Namun ia tentunya akan merasa lebih iba manakala melihat sang ulat yang telah menjelma menjadi kupu-kupu tidak memiliki saya yang dapat berfungsi dengan baik. Demikian pula sebagai orang tua, mungkin kita akan sedih bila melihat anak kita mengalami kesulitan. Namun kita akan lebih bersedih lagi bila melihat mereka tidak memiliki kesiapan sama sekali untuk menghadapi kesulitan tersebut.
(Catatan: Artikel ini dimuat di Lionmag edisi September 2012.)

SEPULUH ARGUMENTASI BAHWA MALAM KE-27 ADALAH LAILATUL QODAR

Apakah bisa dipastikan tanggal 27 Ramadan adalah lailatul qodar? Untuk memastikan, barangkali lebih berhati-hati jangan. Tetapi bahwa mayori...