Dalam rentang satu dekade terakhir, emas menghasilkan tingkat investasi terbaik seiring dengan lonjakan harga emas.
Simpanan emas perhiasan maupun emas batangan telah mampu mendorong menaikan nilai rupiah kekayaan orang yang memilih menyimpan dananya dalam bentuk investasi emas.
Sepuluh tahun lalu harga emas per gram masih berkisar Rp140.000. Bandingkan dengan harga emas awal 2012 yang sempat menyentuh Rp545.000 per gram. Ini era manis investasi emas yang mampu mendorong banyak pihak makin yakin dengan pilihan investasi di emas perhiasan maupun emas batangan.
Akan tetapi suasana bulan madu itu mulai antiklimaks menyusul munculnya tren penurunan harga emas pada kuartal I 2013 karena dipicu oleh faktor China dan Amerika Serikat yang menghadapi pelemahan perekonomian domestiknya.
Sebab itu, harga kontrak berjangka (futures) emas di dunia mengalami penurunan mingguan terbesar sejak 1,5 tahun lalu. Dampak lebih lanjutnya adalah para pengelola dana memangkas kelolaan dana investasi pada portofolio emas dengan nilai terbesar sejak 2007 dan menjadi paling bearish seperti yang pernah terjadi pada gula dan kopi.
Hal itu dilakukan seiring kekhawatiran bahwa the Fed- Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat yang sangat berpengaruh di seluruh dunia itu akan memperlambat program stimulus yang mendorong harga untuk bahan baku turun tajam pada tahun ini.
Harga emas memang belum turun secara ekstrem- paling tidak masih di atas Rp500.00 per gram, namun trennya terus turun dan menimbulkan dampak psikologis pada masyarakat investor yang cenderung menarik dari dari investasi emas.
Di Indonesia telah muncul gejala menurunnya kepercayaan terhadap investasi emas- bahkan dihebohkan oleh produk gadai emas di sejumlah perbankan yang merugikan banyak nasabah- yang juga menjadi korban dari tren penurunan harga emas.
Risiko Pengempisan Gelembung Harga Properti
Sebagaimana emas, properti adalah pilihan favorit lain bagi masyarakat investor untuk membiakkan dananya. Sifat properti yang memberikan kenaikan harga aset yang tinggi (capital gain) dan pendapatan hasil sewa (yield) menjadi daya tarik besar untuk berinvestasi produk properti.
Lalu bagaimanakah dengan investasi properti di Indonesia? Sudah sejauh mana tren pertumbuhan harga properti yang meroket dalam beberapa tahun belakangan ini- paskakrisis 1998- membentuk gelembung harga dan seberapa besar gelembungnya. Ini sangat mudah dilacak. Lakukan saja perbandingan harga rumah dalam lima tahun terakhir.
Rumah tipe 39/90 di Ciledug, Tangerang pada 2005 masih bisa dibeli seharga Rp135 juta- Rp150 juta. Kini untuk rumah tipe 36/78 saja di kawasan yang sama harus merogoh kocek hingga Rp350 juta- Rp400 juta. Perbandingan harga itu akan semakin drastis untuk daerah seperti Serpong dan Cibubur yang meruakan daerah yang paling intensif pertumbuhan pasar propertinya.
Lalu mungkinkah pergerakan harga itu akan terus menaik trennya? Kalau tren penaikan harga itu konsisten berjalan tentu investasi di properti akan menjadi primadona, bahkan berpotensi menguat karena akan ada peluang masyarakat beralih dari investasi emas ke investasi properti untuk yang memiliki dana investasi dalam jumlah yang memadai.
Dan sebaliknya, kalau tren pergerakan harga properti menjadi tertahan bahkan stagnan dalam jangka waktu lama, maka properti juga akan dihindari sebagai portofolio investasi seperti halnya investasi emas. Akan semakin berat lagi kalau harga properti malah turun sebagai akibat dari hukum besi gelembung harga properti.
Melihat seberapa besar gelembung harga itu ada baiknya kita melihat struktur pembangunan harga yang terjadi salam ini.
Pertama: Kalau harga properti merupakan harga kenaikan wajar yang muncul karena hukum pasok dan permintaan, maka niscaya tren kenaikan harga properti berada dalam zona yang sangat sehat. Ini sangat mungkin karena ada angka statistik masyarakat yang belum memiiki rumah yang diklaim mencapai 8 juta- bahkan angka terakhir BPS menyebutkan naik menjadi 13,6 juta unit/ atau tepatnya 13,6 juta keluarga yang belum memiliki rumah. Defisit itu bertambah pula 800.000 unit per tahun akibat kurangnya pasokan.
Kedua: Kalau tren kenaikan harga rumah atau properti merupakan proses dari kartel harga yang diciptakan oleh monopoli pengembang besra, maka harga properti pada saat ini ada pada zona kuning aalias awas. Ingat beberapa pengembang besar menjadi tuan tanah yang menguasai lahan perumahan hingga ratusan ribu hektar di sejumlah lokasi. Di wilayah Jakarta- Bogor- Bekasi, depok- Tangerang- Bekasi saja, pengembang seperti Sinar Mas Group, Ciputra Grup, Lippo Group, Summarecon Group, Metropolitan Land Group hingga Megapolitan Group memiliki sejumlah proyek dengan luas lahan per proyek mencapai hingga 6000 hektar.
Kalau ternyata listing harga properti saat ini merupakan harga yang terbangun yang lebih dominan akibat pembentukan harga oleh pengembang-pengembang besar ini, maka harga yang ada sangat mungkin harga gelembung. Artinya bersiap siap lah menunggu gelembung itu pecah dan kempes yang kemudian menyebabkan terjadi krisis ekonomi.
Menghadapi potensi kartel harga properti ini sebaiknya pemerintah melalui Menteri Perumahan Rakyat dan Kementerian Perdagangan perlu lebih memberi pengawasan atas perkembangan harga. Pemerintah harus mencegah pengembang terlalu kemaruk dalam menetapkan harga. Harus dicegah pengembang mengeruk untung terlalu besar dengan mengangkat harga terlau berlebihan.
Di sisi lain, Bank Indonesia harus lebih mengawasi perbakan sebagai lembaga pendukung dari sisi pembiayaan. Perbankan juga salah satu unsur penting dalam pembentukan harga properti melalui taksiran agunan aset properti maupun appraisal kredit.
Dengan begitu diharapkan pergerakan industri properti bisa berjalan dengan sehat dan tidak meninggalkan bom waktu yang bisa merusak perekonomian. Bahkan lebih dari itu, properti bisa terus dipercaya menjadi salah satu produk investasi yang paling menjanjikan dan aman bagi masyarakat investor. (La Coga/kreditproperty.com)