"Jika kau melakukan ibadah dengan motivasi agar dilihat manusia, itu namanya syirik. Sebaliknya, jika kau meninggalkan sebuah ibadah juga karena manusia, maka itulah yang disebut riya,” ujar seorang sufi menasihati murid-muridnya.
Tidak ada yang paham apa yang dimaksud oleh guru itu. Para murid terdiam dan kebingungan.
“Mudahnya begini: kalau kau pergi ke Masjid untuk salat Jumat di awal waktu, dan berada di saf depan dengan motivasi agar nampak alim dan mendapat pahala berupa onta, itu namanya syirik. Sebab kau beribadah dengan motivasi selain Allah. Sebaliknya, jika kau sengaja mengakhirkan datang ke Masjid untuk salat Jumat agar berada di saf belakang dan supaya tidak tampak alim di mata manusia lain, maka itu namanya riya,” imbuh sang guru.
“Berarti kita tidak usah datang ke Masjid, Maulana?” tanya seorang murid.
Guru itu tersenyum. “Bukan itu maksudku. Kalian harus sadar bahwa menata niat untuk ibadah sangat sulit,” terangnya.
Demikian para sufi memberikan pelajaran. Mereka tidak main-main dengan kualitas ibadah kepada Allah. Mereka selalu menjaga hati agar tetap bersih dan suci sehingga tidak kehilangan koneksi dengan Allah.
Kaidah di atas merupakan aplikasi dari adagium yang dicetuskan oleh Abu Hasyim yang di kemudian hari membuat Sufyan Ats-Tsauri bergidik, dan menggelengkan kepala merasa seluruh amalnya habis dilahap satu kaidah itu.
Ia mengatakan bahwa “adaul amali laijlin naasi syirkun, wa tarkuhu liajlinnasi riyaun". Keduanya, terutama syirik, adalah dosanya dosa. Namun, kadang kita dengan mudah dan lumrah melakukannya tanpa disadari.
Ibnu Atholillah As-Sakandary, seorang sufi dari Alexandria penyusun kitab Syarah Hikam mengatakan, ketika seorang hamba merasa dirinya tidak sombong, maka saat itulah justru puncak kesombongan telah dilakukannya. Perasaan tidak sombong merupakan kesombongan itu sendiri.
Menurut Said Aqil Siroj, tasawuf adalah sebuah disiplin keilmuan sekaligus praktik spiritual yang dilengkapi dengan leksikon-leksikon teknis, termasuk wacana dan teori di dalamnya. Tasawuf utamanya menyasar dimensi relasi spiritual seorang hamba dengan Tuhannya.
Pandapat Said Aqil Siroj itu jauh lebih komprehensif dan modern dibandingkan dengan beberapa definisi yang diungkapkan oleh ulama-ulama klasik, seperti Ma’ruf Al-Karkhi yang menyatakan “tasawuf adalah sebuah usaha untuk meraih hakikat dan meninggalkan segala hal yang berada di tangan Makhluk Allah”.
Atau seperti diungkapkan oleh Junaid Al-Baghdadi dalam Risalah Qusayriyyah Vol. 2 (1985) yang menyatakan “tasawuf adalah ibadah kepada Allah dan hanya karena Allah semata, bukan karena mengharap pahala atau menghindari siksa".
Sebagai sebuah disiplin keilmuan yang mapan dan mandiri, kemunculan tasawuf tergolong lambat, yakni baru dikenal sekitar abad kedua hijriah. Kendati demikian, bukan berarti sebelum itu tidak dikenal nilai-nilai ketasawufan. Banyak kajian dan hasil studi mendalam menyebutkan bahwa nilai-nilai dan praktik tasawuf sudah diajarkan sejak zaman Rasulullah.
Salah satu ulama yang berpendapat seperti itu adalah Abu Nashr As-Sarraj dalam Al-Luma. Argumentasi yang diajukan olehnya adalah pernyataan Hasal-Al-Bahsri sebagai bagian dari golongan generasi Sahabat yang berkata:
“Pada suatu hari aku melihat seseorang sedang tawaf. Aku mencoba memberikan sesuatu kepadanya, tapi ia menolak pemberianku."
Perkataan Hasan Al-Bashri tersebut dipandang sebagai indikasi yang sangat kuat bahwa pada zaman sahabat sudah ada seseorang yang disebut sebagai sufi.
Asal usul Tasawuf dan Perannya dalam Kehidupan Sosial
Ada beberapa pendapat tentang sejarah kemunculan istilah tasawuf. At-Thusi mengatakan istilah tasawuf dinisbatkan kepada komunitas sahabat dari golongan Muhajirin yang memiliki sifat khas seperti zuhud, itsar (mendahulukan orang lain dalam kepentingan sosial), suka menyepi, dan lain sebagainya. Komunitas itu disebut dengan komunitas ahlus suffah. Mereka menjalani hidup sehari-hari dengan manghabiskan waktu beriktikaf di sisi kiri serambi Masjid Madinah.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata ash-shuf yang memiliki arti "kain wol yang kasar". Pendapat ini disandarkan pada kenyataan bahwa orang-orang yang disebut dengan sufi selalu memakai pakaian berbahan kain wol kasar.
Ada pula yang mengatakan bahwa akar kata tasawuf berasal dari as-Shaff yang berarti barisan atau saf, seperti diungkapkan oleh Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiah (1998). Pendapat ini berdasarkan argumen filosofis bahwa kaum sufi adalah mereka yang berada di garda depan pejuang yang manjaga kemurnian hati untuk menjalankan segala perintah Allah.
Tasawuf belakangan sudah berkembang dan bahkan dilembagakan. Gerakan-gerakan perlawanan kepada penjajahan di Nusantara, misalnya, tercatat sering diinisiasi oleh penganut tasawuf yang mengorganisasi gerakannya melalui tarekat tempat mereka berserikat. Gerak langkahnya bukan hanya urusan ubudiyah, tapi juga urusan lain seperti gerakan sosial dan kemanusiaan.
(tirto.id/Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM).
Pendapat lain mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari kata ash-shuf yang memiliki arti "kain wol yang kasar". Pendapat ini disandarkan pada kenyataan bahwa orang-orang yang disebut dengan sufi selalu memakai pakaian berbahan kain wol kasar.
Ada pula yang mengatakan bahwa akar kata tasawuf berasal dari as-Shaff yang berarti barisan atau saf, seperti diungkapkan oleh Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiah (1998). Pendapat ini berdasarkan argumen filosofis bahwa kaum sufi adalah mereka yang berada di garda depan pejuang yang manjaga kemurnian hati untuk menjalankan segala perintah Allah.
Tasawuf belakangan sudah berkembang dan bahkan dilembagakan. Gerakan-gerakan perlawanan kepada penjajahan di Nusantara, misalnya, tercatat sering diinisiasi oleh penganut tasawuf yang mengorganisasi gerakannya melalui tarekat tempat mereka berserikat. Gerak langkahnya bukan hanya urusan ubudiyah, tapi juga urusan lain seperti gerakan sosial dan kemanusiaan.
(tirto.id/Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM).