Jumat, 22 Oktober 2021

Bahaya Islamphobia Robohkan Keharmonisan Rusak Citra Islam

(Tulisan ini  dibuat dalam rangka Memperingati Hari Santri Nasional 22 Oktober 2021)


By : Nana Suryana

Sungguh sangat menyedihkan ketika umat muslim diperlakukan sebagai ancaman. Hal ini sesungguhnya menunjukkan betapa sangat minimnya informasi dan pemahaman mengenai budaya, cara hidup, dan ajaran Islam yang sebenarnya. Kekerasan yang dilakukan ekstremis menjadi penyebab anggapan bahwa semua muslim adalah ekstremis. Ironis...sungguh ironis...!!

Menyeruaknya isu Islamophobia memang tak dapat dipisahkan begitu saja dari kisah tragedi WTC di New York pada 11 September 2011. Tragedi ini telah memicu berondongan tuduhan pada umat Islam. Umat Islam tercengang. Bingung, terkesima. Tak tahu apa yang harus diperbuat.

Syahdan, seruan peperangan terhadap Islam yang distigma sebagai kaum teroris itu mulai mendengung. Komunitas umat Islam semakin tersudut karena dipandang sebagai penyebab kekisruhan di Amerika. Sejak 1 Oktober 2002, upaya mendiskresditkan umat Islam itu bahkan sampai pada adanya kecurigaan kepada kaum pendatang muslim di Amerika yang berpotensi sebagai teroris. Alamaak..!!

Tidak sampai disitu. Pasca terjadinya bom Bali 12 Oktober 2002, Pemerintah Australia pun melakukan tindakan serupa. Serangkaian aturan anti-terorisme dikeluarkan. Tindakan penggeledahan dilakukan terhadap beberapa rumah muslim. Tidak terkecuali kepada mahasiswa dan warga negara Indonesia yang bermukim di Australia. Pemerintahan Australia mengira jaringan terorisme Al Qaidah memiliki hubungan erat dengan muslim radikal di Indonesia..

Inggris pun tak mau ketinggalan dengan menunjukkan kecemasannya terhadap ancaman terorisme. Pasca robohnya Menara Kembar di New York itu, kaum muslim yang bermukim di Inggris wajib diwaspadai dan dikait-kaitkan dengan terorisme.

Lalu bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Pasca terjadinya ledakan bom Bali, kekhawatiran mulai merasuk masyarakat Indonesia. Penangkapan terhadap beberapa orang yang dicurigai sebagai teroris mulai dilakukan. Sebut saja Amrozi, Ali Imron, dan Imam Samudra. Bahkan pak tua Abu Bakar Baasyir pun tak luput dari pencokokan. Ditengarai merekah lah sebagai biang kekacauan di negeri ini.

Pemilik rumah sewa atau kos-kosan mulai gusar. Terutama terhadap penghuninya yang berjenggot panjang dan bercelana cingkrang. Pemerintah melalui aparat kepolisian Densus-88 Anti teror semakin aktif bergerak menangkapi yang diduga anggota jaringan teroris di Indonesia. Terutama bagi orang-orang yang terindikasi sebagai anggota Jaringan Islamiah dan organisasi ekstrim lainnya.

Berbagai peristiwa seperti itulah yang semakin meresahkan dan mengancam keharmonisan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keharmonisan NKRI pada gilirannya memang menjadi taruhannya.

Muncul pertanyaan. Keharmonisan seperti apa yang diharapkan? Mengapa Islamophobia dianggap sebagai salah satu ancaman dalam mewujudkan kehamonisan berbangsa dan bernegara itu? Bagaimana cara Islam memandang harmonisasi? Bagaimana cara memaknai Islamophobia? Apa bahayanya bagi masyarakat, bangsa dan negara? Bagaimana strategi untuk meredamnya? Pihak-pihak mana saja yang bertanggung jawab untuk meredamnya?

Harmonisasi sebagai kebutuhan

Kita mafhum, keharmonisan pada hakekatnya merupakan harapan setiap individu dan masyarakat, serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada satu pun negara pun di dunia yang dalam menjalani kehidupannya dengan kecemasan, kekhawatiran, dan kacau balau. Apalagi jika dikaitkan dengan ancaman terorisme yang dalam aksinya terkadang sangat ekstrim. Tak hanya mengancam jiwa manusia, namun juga bisa meluluh-lantakan sarana dan prasarana.

Bangsa Indonesia terlahir dengan ragam tradisi, bahasa, kebudayaan, ras, etnis, agama dan keyakinan. Keanekaragaman sosial budaya ini tentu bisa bernilai positif sebagai salah satu modal utama bagi bangsa. Namun juga sekaligus menyimpan berbagai tantangannya. Karena ternyata juga mengandung kerawanan-kerawanan yang dapat menimbulkan konflik-konflik kepentingan antar kelompok, antar etnis, antar agama. Bahkan bisa menimbulkan konflik antar wilayah.

Itulah sebabnya mengapa kita membutuhkan harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Secara etimologi keharmonisan berasal dari kata harmonis yang berarti serasi atau selaras. Dari aspek terminologi, keharmonisan bisa bermakna sebagai kondisi yang selaras, tenang atau rukun tanpa adanya permusuhan atau pertentangan. Harmoni dapat diartikan juga sebagai kondisi yang saling membantu dan bersatu. Dengan demikian hubungan sosial, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dapat berlangsung dengan damai, tenang dan tenteram.

Ancaman Islamophobia

Namun demikian untuk mewujudkan kerukunan dan persatuan yang diharapkan bagi seluruh bangsa Indonesia kerap mengalami gangguan. Salah satu penyebabnya masih tersimpan rasa kekhawatiran munculnya gangguan-gangguan radikalisme terhadap agama tertentu, terutama Islam. Kekhawatiran atau ketakutan itu tidak hanya menimpa yang berlainan agama, namun juga terhadap pemeluk agama yang sama. Kondisi yang kita kenal dengan Islamophobia itu efeknya memang sangat mengacam keharmonisan, selain merugikan citra Islam itu sendiri.

Berbagai upaya kriminalisasi dan upaya penekanan yang menyudutkan para tokoh agama atau para ulama merupakan salah satu bukti bahwa Islamophobia memang masih tumbuh subur di Indonesia.

Tindakan dan penilaian seperti itu jelas keliru. Mungkin saja karena kurangnya referensi tentang Islam. Atau bahkan minimnya pengetahuan kesejarahan. Mereka kurang mengetahui betapa besar pengorbanan dan keterlibatan ulama serta umat Islam dalam perjuangan Indonesia.

Menurut Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, bahwa ketidaktahuan terhadap sejarah perjuangan para tokoh Islam perlu diangkat ke permukaan. Peran dan jasa para ulama pada NKRI harus segera diluruskan. Sebab jika dibiarkan akan semakin berbahaya. Akan menjadi semacam bara dalam sekam.

Sejumlah serangan yang terjadi di beberapa negara menjadikan Islam sebagai kambing hitam. Hal ini pun mendapatkan respons dari negara-negara Islam serta ulama-ulama besar. Salah satunya Imam besar yang juga ulama paling senior di Al-Azhar Sheikh Ahmed Al-Tayyeb, yang meminta agar setiap orang berhenti menggambarkan terorisme sebagai Islam.

"Setiap orang harus segera berhenti menggunakan deskripsi itu (terorisme sebagai Islam) karena itu menyakiti perasaan Muslim di seluruh dunia, dan itu adalah deskripsi yang bertentangan dengan kebenaran yang diketahui semua orang," kata Sheikh Ahmed Al-Thayyeb.

Respon serupa disampaikan juga oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang mengajak umat Islam untuk melawan pandangan dunia barat yang menggeneralisasi Islam dengan negatif. Ia menyarankan salah satu cara melawan pandangan negatif itu dengan memperkenalkan ajaran Islam sesungguhnya yang rahmatan lil-alamin. Menurutnya, sumber utama kebencian dunia Barat terhadap Islam adalah ketidaktahuan atau ketidakpahaman terhadap Islam.

Cara pandang yang selalu mengeneralisasi dan negatif, menurut Ma'ruf, harus dilawan. Namun disaat yang sama umat juga perlu introspeksi.

Islamophobia sebagai ketakutan irrasional

Menurut etimologis Islamophobia terdiri dari kata Islam & Phobia. Menurut College Dictionary, phobia merupakan rasa takut yang tidak memiliki referensi, tidak masuk akal atas sebuah objek, tingkah laku, atau pada kejadian tertentu, yang memotivasi individu untuk menghindar atau takut pada situsi tersebut.

Dengan penjelasan ini, Islamophobia dapat diartikan sebagai ketakutan yang irasional, tidak masuk akal atau tidak beralasan terhadap agama Islam sehingga aktivitas yang bernuansa Islami harus dihilangkan.

Ironisnya warga muslim pun acapkali mengalami tindakan intoleransi Mulai dari perkataan kotor hingga tindakan kriminal. Katakanlah sering terjadinya perusakan tempat ibadah warga Muslim, penembakan dengan senjata api, penistaan terhadap ulama, penghinaan terhadap Nabi Muhammad Rasulullah Shallallalhu Alaihi Wasallam, sampai pada penghinaan terhadap Islam-nya sendiri.

Islamophobia di berbagai negara

Islamophobia terjadi di berbagai negara. Namun efeknya sangat berpengaruh terhadap keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebagaimana dilansir Media Umum Republika, berbagai peristiwa Islamophobia di berbagai negara sebagai berikut:

Di London, Ontario, Kanada empat orang Muslim meninggal karena dengan sengaja ditabrak saat sedang berjalan kaki. Insiden ini mengguncang komunitas di London. Bukan hanya bagi warga Muslim, warga setempat pun tidak menyangka aksi teroris ini terjadi di lingkungan mereka.

Di Las Vegas, seorang pria mengoleskan daging babi asap ke tembok rumah tetangga Muslimnya. Saat ditanya polisi, dia tanpa ragu mengatakan alasan tindakannya karena membenci Muslim.

Di New York, dua wanita dan pria Muslim tiba-tiba dipukul saat sedang berjalan kaki. Muslimah kerap menjadi korban karena mudah diidentifikasi dari jilbabnya.

Di Alberta, Kanada kasus penyerangan terhadap Muslimah juga terjadi. Tanpa alasan, seorang pria, menurut Royal Canadian Mounted Police, mendekati para wanita di St. Albert, kemudian meneriakkan hinaan rasial dan menodongkan pisau. Seringnya perempuan Muslim Kanada menjadi korban serangan Islamofobia kemudian mendorong ratusan warga di Edmonton berunjuk rasa menuntut tindakan melindungi wanita Muslim.

Di Austria dibuatnya peta Islam yang melibatkan 623 organisasi muslim, masjid dan asosiasinya. Serta data pribadi individu yang bertanggung jawab atas sejumlah asosiasi di Austria secara rinci. Peluncuran peta ini berpotensi memicu Islamophobia dan penyerangan terhadap Muslim. Peta ini diskriminatif karena hanya menyasar Muslim. Gereja Katolik Austria bahkan mengkritik peta ini. Karena banyak mendapatkan penolakan dan dianggap kontroversial, peta itu kini tidak bisa lagi diakses.

Insiden-insiden itu menjadi gambaran betapa semakin parahnya Islamophobia. Islamofobia mewujud dalam bentuknya yang paling sederhana, yaitu serangan fisik terhadap kaum Muslim.

Di level tinggi, Islamophobia misalnya dalam bentuk kebijakan pelarangan jilbab di tempat umum yang dianut Prancis. Agak aneh sebenarnya mengingat umat Muslim di Prancis justru terbanyak di Eropa.

Hasil penelitian Kelompok Lintas Partai (CPG) Parlemen Skotlandia mengungkap empat dari lima Muslim di Skotlandia secara langsung mengalami serangan islamophobia. Sebanyak 83 persen responden Muslim mengatakan mengalami islamophobia secara langsung dan paling banyak dialami Muslimah.

Di Jerman, Islamophobia meningkat sejak 2009. Laporan Kejahatan Politik yang disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri Jerman dan Kantor Kriminal Federal mencatat kejahatan Islamophobia pada 2020 meningkat delapan persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Islam pembawa berkah dan keharmonisan


Islam sebagai agama mempunyai misi rahmatan lil âlâmîn. Dalam arti membawa keberanekaragaman sebagai salah satu dimensinya. Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pluralitas atau taaddudiyah itu sendiri merupakan fitrah dan pemberian dari Allah Subhanu Wata'ala.

Dalam prakteknya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menjadikan faham pluralitas ini sebagai dasar dalam membangun masyarakat Madinah yang kemudian pada dekade terakhir ini menjadi rujukan bagi masyarakat madani.

Bagaimana tidak, latar sosial-budaya masyarakat Madinah saat itu yang sangat plural, penduduknya terbagi ke dalam kelompok-kelompok etnik, ras, dan agama yang berbeda, mampu disatukan oleh Rasulullah saw. dibawa bendera Piagam Madinah.

Melihat proses penyusunannya, Piagam Madinah adalah dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai perjanjian antara golongan Muhajirin, Anshar, dan Yahudi serta sekutunya. Dokumen itu mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka sebagai dasar bagi kehidupan bersama dalam kehidupan sosial politik.

Oleh karena itu, diakui agama Islam mampu membawa keharmonisan sehingga bangunan masyarakat yang bersatu dari berbagai multi-etnik, multi-agama dan multi-kultural dapat terbangun. Hal Itu tidak lain karena nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam ketika membangun masyarakat tersebut tidak hanya memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat Muslim, melainkan juga memperhatikan masyarakat non-Muslim.

Bahaya Islamophobia Terhadap Keharmonisan NKRI

Islamophobia memang tidak dapat dipisahkan dari problema prasangka terhadap orang muslim dan orang yang dipersepsi sebagai muslim. Prasangka anti muslim didasarkan pada sebuah klaim bahwa Islam adalah agama “inferior” dan merupakan ancaman terhadap nilai-nilai yang dominan pada sebuah masyarakat (Abdel-Hady, 2004).

Phobia dan ketakutan terhadap Islam yang terjadi merupakan karakteristik dari pandangan yang tertutup terhadap Islam (closed views), sementara ketidaksetujuan yang logis dan kritik serta apresiasi maupun pernghormatan merupakan pandangan yang terbuka terhadap Islam (open views).

Dari beberapa deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa Islamophobia adalah bentuk ketakutan berupa kecemasan yang dialami seseorang maupun kelompok sosial terhadap Islam dan orang-orang Muslim yang bersumber dari pandangan yang tertutup tentang Islam serta disertai prasangka bahwa Islam sebagai agama yang “inferior” tidak pantas untuk berpengaruh terhadap nilai-nilai yang telah ada di masyarakat.

Solusi Meredam Islamophobia untuk Keharmonisan

Dalam sudut pandang berbeda, bahwa keharmonisan di dunia ini tercermin pada keharmonisan tata alam semesta yang dalam terminologi Al-Qur'an di sebut dengan al-Mizân. Allah Subahanahu Wata'ala sebagai khalik Yang Agung adalah Zat yang Maha Indah dan mencintai segala yang indah. Semua itu dapat diamati pada setiap ciptaanNya.

Di antara keagungan dan keindahan ciptaan tersebut, teramati dalam keharmonisan tatanan alam semesta serta kemajemukan kehidupan yang dijumpai di dalamnya. Semuanya terjamin dalam pemeliharaanNya. Apabila terjadi kerusakan dan terjadi perubahan dari tatanan aslinya, maka semuanya itu disebabkan oleh intervensi dan ulah tangan manusia.

Realitas menunjukkan, bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan berbagai agama, etnik, dan kelompok-kelompok sosial yang dimiliki. Heldred Geerts, sebagaimana yang dikutip Khamami Zada secara amat menyakinkan telah menggambarkan kemajemukan bangsa Indonesia, bahwa “Terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang berbeda-beda di Indonesia, masing-masing kelompok mempunyai identitas budayanya sendiri-sendiri, dan lebih dua ratus lima puluh bahasa yang berbeda-beda dipakai. Hampir semua agama besar diwakili.”

Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 256: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

Menurut Quraish Shihab, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah dalam hal menganut akidahnya. Karena itu, jika seseorang telah menetapkan satu akidah, maka dia akan terikat dengan segala aturan dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Dan dia akan terancam sanksi bila melanggar ketetapannya.

Dari penjelasan ayat di atas dapat dipahami bahwa Al-Qur'an telah menjamin kebebasan individu untuk memilih agamanya masingmasing tanpa boleh ada seseorang yang menekannya. Kebebasan memilih suatu agama yang dianut merupakan kebebasan manusia yang sedemikian tinggi tingkatannya dalam pandangan AlQur'an.

Dalam upaya menciptakan keharmonisan umat, sikap lapang dada merupakan sikap batin yang perlu dilahirkan dalam diri, dan sikap ini lahir dari rasa kebebasan dan kesabaran. Filosofi dan watak tersimpan berada di balik lapang dada adalah untuk menciptakan keselamatan dan kerukunan antar pemeluk agama hingga tercapai kehidupan yang harmoni.

Untuk itu, dengan meminjam beberapa kaidah ushul, yakni Dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-maşâlih, yakni mencegah (menghalangi) kemudharatan, kerusakan, huru hara, lebih diutamakan dari pada meraih kemashlahatan.

Dalam kaitan ini, umat Islam mampu menghidupkan kehidupan yang harmonis di antara sesama bahkan antara umat beragama lainnya. Dalam konteks problematika sosial, kaidah itu berarti lebih baik mencegah konflik, perselisihan dan pertentangan, pertengkaran dan permusuhan daripada secara bersikeras meraih kemanfaatan dan kegunaan. Kedua, kaidah al-dhararu yuzâl yakni kemudharatan harus selalu dihindari. Kaidah ini akan selalu menuntut umat Islam menjalani kehidupannya dalam konteks pribadi dan berbangsa, sehingga kekacauan atau kegiatan yang sifatnya mengancam ketidak harmonisan hubungan, dapat dihindari.

Dengan demikian, beragama bertujuan untuk menciptakan sikap saling menghormati dan menghargai bukan untuk memaksa kehendak. Ini merupakan prinsip dalam beragama, yakni kebebasan memeluk agama, memuliakannya, menghargai kehendaknya, pemikirannya dan perasaannya, serta membiarkannya mengurus urusannya sendiri. Prinsip kebebasan merupakan ciri manusia yang paling spesifik dan asasi Islam mengutamakan kebebsan dan melindungi haknya sebagai manusia. Agama boleh menawarkan jalan kebenaran, tapi tidak boleh merasa paling benar, agama boleh menawarkan kemenangan, tapi tidak boleh cenderung ingin menang sendiri.

Selanjutnya, Al-‘Adâlah (Keadilan). Dalam konsep Islam, merupakan keharusan dalam menetapkan keputusan hukum diantara manusia. Menegakkan keadilan adalah kemestian yang merupakan hukum objektif, tidak tergantung kepada kemauan pribadi manusia.

Menurut Quraish Shihab, terdapat empat macam makna adil, seperti yang dikutip oleh Achmad Abubakar. Pertama, adil dalam arti sama, yaitu adil yang dimaknai secara proporsional dengan tidak melihat bagian-bagian yang harus sama. Adil dalam pengertian ini tidak mengandung makna persamaan mutlak terhadap semua orang secara sempit tanpa memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas, dan fungsi seseorang.

Kedua, adil dalam arti seimbang, yakni perimbangan atau dalam keadaan seimbang, tidak pincang. Intinya satu kesatuan yang harus seimbang menuju tujuan yang sama, ukuran yang tepat, persyaratan yang sama, sehingga dapat bertahan sesuai fungsinya. Keadilan dengan makna keseimbangan adalah lawan dari kekacauan atau ketidakserasian. Demikian juga halnya keserasian sosial, harmonisasi kehidupan bermasyarakat, keamanan dan ketertiban bisa terwujud melalui sistem politik yang adil.

Makna ketiga adil, adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak itu kepada pemiliknya. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Lawannya adalah kezaliman, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian ,menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbahkan kepada Allah swt. dalam artian bahwa kemurahan Allah Subhanahu Wata'ala dalam melimpahkan rahmatNya kepada sesuatu atau seseorang.

Dalam konteks masyarakat harmonis, prinsip keadilan merupakan dasar yang perlu ditegakkan. Prinsip ini memberikan motivasi hidup rukun dan damai diantara warga masyarakat, karena mereka akan hidup tanpa saling curiga mencurigai atau saling hakim menghakimi jika saja prinsip ini dapat terealisasi dengan baik.

Pentingnya Peranan MUI

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, mengungkapkan solusi atas permasalahan yang dihadapi dunia Islam, termasuk Islamophobia bisa dilakukan melalui Wasathiyah Islam.

Menurut Amirsyah di internal umat Islam tengah berusaha mempromosikan Wasathiyah Islam. Secara eksternal, kaitannya dengan saudara kita agama lain, kita ingin menampilkan Islam yang ramah, santun dan bisa menjadi wasit, sehingga memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi dunia Islam, termasuk di berbagai negara.

Ia menyebut konsep wasathiyah Islam ini telah dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 143:“Dan yang demikian ini Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian.”

Dari berbagai tafsir yang ada atas ayat tersebut, salah satunya menjelaskan bahwa umat Islam harus mampu menegakkan nilai-nilai keadilan. Menjadi seorang wasit bukanlah perkara mudah. Unsur penting yang harus diperhatikan adalah keadilan yang mampu menjadi penengah dari pemikiran ektrem, baik ekstrim kanan maupun kiri.

Amirsyah Tambunan lantas menyebut tidak ada perintah dalam Alquran yang menyebut mendirikan sebuah negara yang bernama negara Islam. Yang ada, adalah bagaimana bernegara dengan prinsip dasar ajaran Islam. "Kita (Muslim) harus bisa mengambil jalan tengah. Ketika ada ekstrem kanan atau kiri, maka Islam harus bisa memberikan solusi," kata dia.

Pentingnya peranan media

Penguasaan media yang baik dan kemampuan berkomunikasi yang prima menjadi kata kunci dalam membentuk persepsi publik tentang suatu masalah. Hal itu dialami umat Islam di AS dan sejumlah negara Barat lain yang menghadapi apa yang disebut sebagai Islamophobia.
Stigma buruk tentang Islam yang dibangun pihak barat selama ini tidak terlepas dari konstruksi yang dibangun sejak lama di masyarakat barat. Hal itu diperkuat dengan pemberitaan media yang banyak merugikan umat Islam, terutama terkait kekerasan atau peperangan yang terjadi di Timur Tengah. "Kebenaran tidak pernah berubah, tapi cara menyampaikan harus dengan cara yang benar. Menghadapi media perlu kejelian, ini public relations yang baik di AS," kata Dr Imam Shamsi Ali, Lc MA Presiden Nusantara Foundation AS.

Kekuatan yahudi dengan lobinya dan uang bisa menguasai media. Melalui media mereka bisa merubah keadaan yang hitam menjadi putih dan sebaliknya. Peran media dan Islamophobia bukanlah barang baru. Sikap ini akan selalu hadir dalam setiap dakwah yang dilakukan umat islam dimanapun berada. Kebencian pada Islam bagian integral dakwah. Jangan berfikir Islamophobia akan selesai, karena sifatnya naik turun. Islamophobia bagian dari gerakan dakwah Islam dimana ada dakwah disitu ada sikap Islamophobia. Semua perang selalu dikaitkan dengan Islam sebagai agama identik dengan teroris. "Building image yang dilakukan sitematis," kata Imam Shamsi.

Melihat kondisi tersebut peran media menjadi suatu yang strategis dalam membangun persepsi publik. Media adalah kekuatan politik, sehingga mereka yang berkepentingan akan memanfaatkan media. Umat Islam perlu manfaatkan media seoptimal mungkin untuk kepentingan dakwah Islam.

Dengan memiliki media, ada kekuatan untuk melawan Islamophobia. Apablia tidak memiliki media, bisa dilakukan dengan membangun relasi dengan media dan kalangan politik. Media dan sistem poltik ada keterkaitan satu dengan lainnya sehingga bagi Islam perlu untuk menguasai media. "Kita harus bersahabat dengan media sehingga gagasan yang dibangun tentang Islam tidak akan merugikan umat Islam itu sendiri. Adanya pemikiran Islamophobia bisa diatasi atau diluruskan," kata Harmonis.

Media memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi, mengedukasi masyarakat, alat kontrol sosial bagi eksekutif, yudikatif dan legislatif dibanyak negara. Peran media yang begitu masif mampu menciptakan satu perspektif tertentu yang membentuk pandangan masyarakat. Apapun yang disajikan media dipastikan akan memberikan pengaruh.

Sekelompok ahli hubungan antar ras atau suku bangsa di Inggris mulai membentuk sebuah komisi khusus dan mempelajari serta menganalisis Islamophobia. Komisi yang meneliti tentang muslim di Inggris dan Islamophobia melaporkan bahwa Islam dipersepsikan sebagai sebuah ancaman, baik di dunia maupun secara khusus di Inggris.

Islam disebut sebagai pengganti kekuatan Nazi maupun komunis yang mengandung gambaran tentang invasi dan infiltrasi. Hal ini mengacu pada ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan berlanjut pada ketakutan serta rasa tidak suka kepada sebagian besar orang-orang Islam. Kebencian dan rasa tidak suka ini berlangsung di beberapa negara barat dan sebagian budaya di beberapa negara.

Dua puluh tahun terakhir ini rasa tidak suka tersebut makin ditampakkan, lebih ekstrim dan lebih berbahaya (Runnymede Trust, 1997). Istilah Islamophobia muncul karena ada fenomena baru yang membutuhkan penamaan. Prasangka anti muslim berkembang begitu cepat pada beberapa tahun terakhir ini sehingga membutuhkan kosa kata baru untuk mengidentifikasikan. Penggunaan istilah baru yaitu Islamophobia tidak akan menimbulkan konflik namun dipercaya akan lebih memainkan peranan dalam usaha untuk mengoreksi persepsi dan membangun hubungan yang lebih baik (Young European Muslims, 2002; Islamophobia dan Strategi Mengatasinya ISSN : 0854 – 7108 Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004 75).

Mengapa orang benci atau takut kepada komunitas Islam? Sebuah jawaban sederhana yang dapat menjelaskan mengapa orang membenci fihak lain adalah perasaan kalah dan tidak mengetahui bagaimana cara untuk menang. Prasangka sosial akan muncul ketika seseorang berperilaku dan bersikap negatif terhadap seseorang karena keanggotaannya pada kelompok.
Memiliki penduduk mayoritas muslim, fenomena terjadinya Islamophobia menjadi suatu hal yang menarik karena dalam komunitas Islam juga terjadi ketakutan terhadap Islam tersebut. Budaya Indonesia yang relatif condong pada kolektivitas, interdependensi antar individu, serta menjaga keharmonisan, umumnya menghindari konflik yang terbuka. Dengan demikian, konflik yang laten antar kelompok dapat menjadi suatu potensi masalah yang berbahaya, seperti halnya kasus di Ambon dan Poso.

Implikasi lain juga akan muncul pada bidang politik, keamanan, dan kesempatan kerja. Inti kedatangan Islam adalah menyempurnakan pendekatan etik (kasih sayang) dengan pendekatan penegakan hukum atau aturan, sehingga hubungan antar manusia pun ada aturan yang melindungi agar tidak terjadi ketidakadilan. Prasangka atau sikap negatif terhadap Islam muncul karena beberapa sebab. Secara individual ketika anak-anak ditanamkan kebencian atau ketidaksukaan kepada Islam akan menjadi benih munculnya prasangka, dan ini akan menyebabkan individu memiliki perasaan ketakutan akan munculnya Islam sebagai suatu kekuatan.

Dari aspek kognitif, prasangka muncul karena kekeliruan atau ketertutupan informasi tentang Islam. Pandangan seperti ini, yaitu pandangan yang tertutup terhadap Islam, akan memudahkan munculnya fenomena Islamophobia.

Sebongkah harapan

Islamophobia sejatinya pembahasan tentang ketakutan yang irasional terhadap Islam. Keberadaannya harus dijauhi atau disingkirkan. Islamophobia tidak hanya mengkaji masalah anggapan dan prasangka yang muncul akibat tragedi Menara Kembar, tapi lebih dari itu Islamophobia berakar pada masalah paradigma ideologi yang dianut oleh pemerintahan AS, aliansinya di dalam negeri dalam menyebarkan sentimen, isu-isu & tingkah laku Islamophobia.

Oleh karena itu pemahaman mengenai Islam harus terus digencarkan. Caranya dengan membuka diri dan informasi seluas-luasnya. Tunjukkan juga bahwa Islam adalah agama damai. Bahwa Muslim bisa bersosialisasi dan berkontribusi dengan baik di masyarakat. Media pun memainkan peran penting dengan menyajikan berita tanpa bias terhadap Muslim. Inilah tantangan yang dihadapi Muslim yang menjadi minoritas.
Islamofobia yang sedang berkembang saat ini justru semakin kompleks dan semakin dahsyat. Terutama didukung oleh kekuatan yang sangat modern seperti media massa, media sosial, politik dan ekonomi. Islomophobia terjadi memang sebagai akibat masih adanya ketidaktahuan dan ketidafahaman tentang Islam.

Tampaknya, kita harus berbuat dan bertindak lebih gencar, terukur dan elegan. Turut berperan memberikan solusi dalam meredam Islamophobia. Anda siap ?!!///**n425

(Catatan: Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Ustadz Adi Hidayat 2021 dalam rangka Memperingati Hari Santri Nasional 22 Oktober 2021)




Senin, 18 Oktober 2021

Nasihat Imam Asy-Syafi’I tentang Tasawuf

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yg mempelajari ilmu fiqih; juga menjalani tasawwuf; janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.

Orang yag hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawwuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan taqwa. Sedangkan orang yg hanya menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik.

[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Sayang bait dari diwan ini telah dihilangkan oleh wahabi dalam kitab diwan syafi’i yg dicetak oleh percetakan wahabi, sungguh jahat para perampok aqidah. Na’udzu Billahi min dzalik…..

Tasawwuf menurut 4 madzhab

Imam Abu Hanifah (Pendiri Mazhab Hanafi) berkata : “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar” (Kitab Durr al Mantsur)

Imam Maliki (Pendiri Mazhab Maliki) berkata “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelajari tasawwuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.

(’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

Imam Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i) berkata,

Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu: Mereka mengajariku bagaimana berbicara, Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati, Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawwuf.”

(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz. 1, hal. 341)

Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri mazhab Hambali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka

(Ghiza al Albab, juz. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)

Berikut adalah pendapat para ulama terdahulu yang sholeh tentang tasawwuf.

Imam Nawawi Rahimahullah berkata :

أصول طريق التصوف خمسة: تقوى الله في السر والعلانية. اتباع السنة في الأقوال والأفعال. الإِعراض عن الخلق في الإِقبال والإِدبار. الرضى عن الله في القليل والكثير.الرجوع إِلى الله في السراء والضراء.

Pokok pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridlo kepada Allah dari pemberianNya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka.

(Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)

Al’Allamah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitami berkata :

إياك أن تنتقد على السادة الصوفية : وينبغي للإنسان حيثُ أمكنه عدم الانتقاد على السادة الصوفية نفعنا الله بمعارفهم، وأفاض علينا بواسطة مَحبتَّنا لهم ما أفاض على خواصِّهم، ونظمنا في سلك أتباعهم، ومَنَّ علينا بسوابغ عوارفهم، أنْ يُسَلِّم لهم أحوالهم ما وجد لهم محملاً صحيحاً يُخْرِجهم عن ارتكاب المحرم، وقد شاهدنا من بالغ في الانتقاد عليهم، مع نوع تصعب فابتلاه الله بالانحطاط عن مرتبته وأزال عنه عوائد لطفه وأسرار حضرته، ثم أذاقه الهوان والذلِّة وردَّه إلى أسفل سافلين وابتلاه بكل علَّة ومحنة، فنعوذ بك اللهم من هذه القواصم المُرْهِقات والبواتر المهلكات، ونسألك أن تنظمنا في سلكهم القوي المتين، وأن تَمنَّ علينا بما مَننتَ عليهم حتى نكون من العارفين والأئمة المجتهدين إنك على كل شيء قدير وبالإجابة جدير.

Berhati hatilah kamu dari menentang para ulama sufi. Dan sebaiknya bagi manusia sebisa mungkin untuk tidak menentang para ulama sufi, semoga Allah memberi manfaat kepada kita dgn ma’rifat. Ma’rifat mereka dan melimpahkan apa yg Allah limpahkan kepada orang-orang khususnya dgn perantara kecintaan kami pada mereka, menetapkan kita pada jalan pengikut mereka dan mencurahkan kita curahan curahan ilmu ma’rifat mereka.

Hendaknya manusia menyerahkan apa yang mereka lihat dari keadaan para ulama shufi dengan kemungkinan kemungkinan baik yang dapat mengeluarkan mereka dari melakukan perbuatan haram.

Kami sungguh telah menyaksikan orang yang sangat menentang ulama shufi, mereka para penentang itu mendapatkan ujian dari Allah dengan pencabutan derajatnya, dan Allah menghilangkan curahan kelembutanNya dan rahasia rahasia kehadiranNya. Kemudian Allah menimpakan para penentang itu dengan kehinaan dan kerendahan dan mengembalikan mereka pada derajat terendah. Allah telah menguji mereka dengan semua penyakit dan cobaan.

Maka kami berlindung kepadaMu ya Allah dari hantaman-hantaman yang kami tidak sanggup menahannya dan dari tuduhan-tuduhan yang membinasakan. Dan kami memohon agar Engkau menetapi kami jalan mereka yang kuat, dan Engkau anugerahkan kami apa yang telah Engkau anugerahkan pada mereka sehingga kami menjadi orang yang mengenal Allah dan imam yang mujtahid, sesungguhnya Engkau maha Mampu atas segala sesuatu dan maha Layak untuk mengabulkan permohonan.

(Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 113, karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami)

Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Ashfihani berkata :

أما بعد أحسن الله توفيقك فقد استعنت بالله عز وجل وأجبتك الى ما ابتغيت من جمع كتاب يتضمن أسامي جماعة وبعض أحاديثهم وكلامهم من أعلام المتحققين من المتصوفة وأئمتهم وترتيب طبقاتهم من النساك من قرن الصحابة والتابعين وتابعيهم ومن بعدهم ممن عرف الأدلة والحقائق وباشر الأحوال والطرائق وساكن الرياض والحدائق وفارق العوارض والعلائق وتبرأ من المتنطعين والمتعمقين ومن أهل الدعاوى من المتسوفين ومن الكسالى والمتثبطين المتشبهين بهم في اللباس والمقال والمخالفين لهم في العقيدة والفعال وذلك لما بلغك من بسط لساننا ولسان أهل الفقه والآثار في كل القطر والأمصار في المنتسبين إليهم من الفسقة الفجار والمباحية والحلولية الكفار وليس ما حل بالكذبة من الوقيعة والإنكار بقادح في منقبة البررة الأخيار وواضع من درجة الصفوة الأبرار بل في إظهار البراءة من الكذابين , والنكير على الخونة الباطلين نزاهة للصادقين ورفعة للمتحققين ولو لم نكشف عن مخازي المبطلين ومساويهم ديانة , للزمنا إبانتها وإشاعتها حمية وصيانة , إذ لأسلافنا في التصوف العلم المنشور والصيت والذكر المشهور

Selanjutnya, semoga Allah memperbagus taufiqmu. Maka sungguh aku telah memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan menjawabmu atas apa yang engkau mau dari pengumpulan kitab yang mengandung nama-nama kelompok dan sebagian hadits dan ucapan mereka dari ulama hakikat dari orang orang ahli tasawwuf.

Para imam dari mereka

Penertiban tingkatan mereka dari orang orang ahli ibadah sejak zaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan setelahnya dari orang yang memahami dalil dan hakikat. Menjalankan hal ihwal serta thariqah.

Bertempat di taman (ketenangan) dan meninggalkan ketergantungan.

Berlepas dari orang orang yang berlebihan dan orang orang yang mengaku-ngaku orang orang yang berandai andai dan dari orang orang yang malas yang menyerupai mereka di dalam pakaian dan ucapan dan bertentangan pada mereka di dalam aqidah dan perbuatan.

Demikian itu ketika sampai padamu dari pemaparan lisan kami dan lisan ulama fiqih dan hadits di setiap daerah dan masa tentang orang orang yang menisbatkan diri pada mereka adalah orang orang fasiq, fajir, suka mudah berkata mubah dan halal lagi kufur. Bukanlah menghalalkan dengan kedustaan, umpatan dan pengingkaran dengan celaan di dalam manaqib orang orang baik pilihan dan perendahan dari derajat orang orang suci lagi baik.

Akan tetapi di dalam menampakkan pelepasan diri dari orang orang pendusta dan pengingkaran atas orang orang pengkhianat, bathil sebagai penyucian bagi orang orang jujur dan keluhuran bagi orang orang ahli hakikat.

Seandainya kami tidak menyingkap kehinaan dan keburukan orang orang yang mengingkari tasawwuf itu sebagai bagian dari agama, maka kami pasti akan menjelaskan dan mengupasnya sebagai penjagaan, karena salaf kami di dalam ilmu tasawwuf memiliki ilmu yang sudah tersebar dan nama yang masyhur.

(Muqoddimah Hilyah Al-Awliya, karya imam Al-Ashfihani)

Wallohu A'lam...

Sabtu, 16 Oktober 2021

Citra Rempah Nusantara Sebagai Kekuatan Diplomasi Budaya

By : Nana Suryana

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis: “Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia”)


Membangun reputasi Indonesia di dunia Internasional masih terus digalakan. Presiden Joko Widodo, dalam Rapat Terbatas Tindak Lanjut National Branding pada Februari 2017 silam, mengatakan, bahwa reputasi Indonesia di mata dunia masih rendah. “Saya ingin mengingatkan bahwa brand power Indonesia masih lemah, baik di bidang perdagangan, investasi, maupun pariwisata dibandingkan negara-negara lain,” ucap Presiden.

Untuk mengejar ketertinggalan tersebut Presiden menginstruksikan. Pertama, mengetahui terlebih dahulu kekuatan dan kelemahan yang dimiliki Indonesia. “Kita perlu mengetahui lebih dalam lagi apa saja kekuatan dan kelemahan kita dalam brand power, apa saja persepsi yang positif dan negatif tentang kita,” tandasnya.

Kemudian, dalam upaya mempromosikan dan membangun reputasi Indonesia di dunia luar, Kepala Negara meminta agar tiap kementerian dan atau lembaga tidak berjalan sendiri-sendiri. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia ke depannya memiliki satu citra yang terintegrasi dan melekat erat di benak masyarakat dunia.

Persoalan rendahnya reputasi Indonesia di dunia, sesungguhnya tidak terlepas dari masih rendahnya diplomasi budaya. Seperti yang diungkap Presiden, bahwa upaya pemerintah di berbagai sektor belum berjalan maksimal. Artinya, masih membutuhkan berbagai upaya melalui berbagai instrumen guna mendukung ke arah tujuan itu.

Apa yang disampaikan Presiden itu, kiranya dapat dijadikan inspirasi bagi kita. Tidak terkecuali inspirasi bagi dunia rempah Nusantara. Dengan menggelar jalur-jalur rempah Nusantara dan memberikan manfaat pada lingkungan pemilik jalur dan para petani rempah, diharapkan mampu mendongkrak citra rempah Nusantara yang melegenda itu.

Perdagangan rempah di Nusantara terbukti telah meninggalkan jejak peradaban. Sebut saja, jejak berbagai peninggalan benda sejarah. Seperti situs sejarah, arsitektur, benda seni, serta berbagai benda sejarah lainnya. Sedangkan peninggalan peradaban non benda, yakni berupa peninggalan produk budaya, seperti tradisi, seni, lagu, tarian, sastra, dan lain-lain.
Kita tak boleh membiarkan puing-puing peradaban masa lalu itu terkubur masa silam. Kita perlu merekonstruksinya, sekaligus merevitalisasinya. 

Merekonstruksi sangat penting agar generasi saat ini lebih faham dan lebih well-informed terhadap seluk-beluk jalur rempah Nusantara di masa silam. Namun upaya merevitalisasinya jauh lebih penting guna melestarikan khasanah budaya demi masa depan bangsa. Serta yang tidak kurang pentingnya adalah bagaimana meningkatkan citra rempah Nusantara itu sendiri, agar kehadirannya dapat dijadikan sebagai salah satu kekuatan diplomasi budaya. Agar mampu memberikan sumbangsih nyata terhadap reputasi dan atau citra Indonesia di mata dunia.

Beberapa pertanyaan yang muncul: Bagaimana citra rempah Nusantara sebagai warisan dunia? Benarkah bahwa rempah Nusantara sebagai pemicu terjadinya kolonisasi? Bagaimana melalui rempah Nusantara, pemerintah dapat menggarap nation branding-nya, terutama melalui jalur diplomasi budaya? Bagaimana agar dalam membedah jalur rempah ini mampu pula memberikan kesejahteraan kepada lingkungan pemilik jalur dan kepada petani rempahnya sendiri?

Kemudian perlukah melakukan kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, organisasi dan petani? Seberapa penting perlunya promosi ke luar negeri? Tagline seperti apa untuk mempromosikannya? Bagaimana dengan perjuangan ke UNESCO agar Jalur Rempah mendapat pengakuan sebagai Warisan Dunia? Serta harapan seperti apa sebagaimana yang diharapkan Presiden Joko Widodo?

Sekilas Citra Rempah Nusantara Sebagai Warisan Dunia

Jalur rempah sebagai warisan dunia, barangkali mulai terlupakan seiring memudarnya citra rempah Nusantara. Untuk menghidupkan kembali nostalgianya, tidak terlepas dari bagaimana untuk membangun kembali citranya. Mengapa citranya juga perlu direvitalisasi? Tak hanya menyoal produksi rempah Indonesia mulai menurun. Juga, kualitasnya pun mulai memburuk. Sialnya, para petani rempah mulai enggan bercocok tanam. Biang keladinya adalah faktor kemalasan.

Alamaak!! Apakah tradisi budaya pada titik-titik jalur rempah seperti inikah yang ditinggalkan nenek moyang kita dahulu?

Mantan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (2017) menegaskan, permasalahan rempah di Indonesia karena petaninya malas bercocok tanam. Akibatnya rempah-rempah dari Indonesia tak lagi berjaya. Warga Maluku, misalnya, ketika musim hujan lebih suka mengurung dibalik sarung. Padahal, mestinya, bekerja untuk menghasilkan rempah.

Rempah asal Indonesia memang pernah menjadi komoditas primadona yang diperdagangkan secara global di masa lampau. Namun saat ini, tengah dibayangi berbagai masalah. Mulai dari kesejahteraan petani kurang terjamin. Perubahan iklim tidak menentu. Sampai pada tata-kelola dan perdagangan yang dinilai kacau balau. Wajar, jika citra rempah Nusantara memudar, kalau tak mau dibilang mulai terpuruk.

Menurut Ketua Sustainable Spices Initiative (SSI) Indonesia, Naloanro Simanjuntak, dalam acara peluncuran SSI Indonesia yang diadakan secara daring, Kamis (29/4/2021), memaparkan permasalahan produktivitas rempah di dalam negeri di antaranya adalah kurangnya fasilitas dan alat untuk bertani yang lebih baik, adanya hama dan penyakit, dampak akibat perubahan iklim, serta pengetahuan petani yang minim tentang praktik budidaya rempah yang baik, hingga berkurangnya jumlah petani karena profesi ini belum bisa menunjang kesejahteraan yang lebih baik.

Lagi-lagi, alamaak!! Bagaimana mungkin kita akan menghidupkan kembali nostalgia masa silam dengan melestarikan kenangan jalur-jalur rempah sebagai warisan budaya, apabila kondisi atau citra rempah Nusantara sendiri yang mulai acak-kadut seperti ini?

Bahkan, Ketua Umum Dewan Rempah Indonesia Gamal Nasir mengakui, kualitas produk rempah Indonesia yang memburuk menjadi penyebab utama penurunan ekspor dalam dua tahun terakhir. Meski peremajaan tanaman rempah telah didorong oleh pemerintah sejak 2017, namun prosesnya masih berjalan lambat hingga saat ini.

Petani masih kesulitan mendapatkan benih baru. Ironisnya, kata Gamal Nasir, banyak petani rempah, ketika panen, tidak terlalu peduli dengan kualitas produknya. Hasilnya bisa ditebak, rempah Indonesia sering mendapatkan penolakan dari negara tujuan, terutama Eropa.

Aduh-aduh, bagaimana ini!!
Kita mafhum, bahwa Indonesia dalam sejarahnya merupakan negeri kepulauan yang kaya akan rempah. Bangsa asing menjajah negeri ini pun salah satunya karena rempah yang melimpah-ruah di bumi Nusantara. Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Pengembangan komoditi rempah, kini terkendala kontinuitas pasokan dan kualitas produknya masih rendah.

Tentu kondisi ini tak boleh dibiarkan. Perlu ada gerakan yang lebih padu, fokus, inovatif dan berkelas. Sebuah gerakan yang lebih menyentuh pelbagai aspek yang melibatkan banyak pihak. Mulai dari tingkat hulu sampai hilir. Mulai dari tingkat regulator, lembaga hingga organisasi-organisasi yang bersinggungan langsung dengan kepentingan petani rempah dan yang turut bertanggung jawab terhadap citra rempah Nusantara.

Jalur Rempah pemicu terjadinya kolonisasi

Kekayaan dan keragaman seni dan budaya Indonesia, tidak terlepas dari kedatangan bangsa lain melalui jalur-jalur rempah di masa lalu. Ini karena Nusantara juga dianugerahi kekayaan hasil alam sangat beragam. Sebagai negeri penghasil rempah terbesar di dunia, nama Indonesia tidak asing lagi di mata para pemburu komoditi yang termahsyur antara abad ke-16 hingga abad ke-17 ini. Rempah menjadi komoditas penting dalam jalur perdagangan dunia dan memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia.

Dari berbagai catatan para penjelajah dunia, Maluku merupakan sentra penghasil pala, lada, cengkeh, dan kayu manis yang pada masa itu merupakan jenis rempah paling dicari di dunia. Dalam perkembangannya kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia tidak hanya untuk kegiatan perdagangan, tetapi juga melakukan kolonisasi.

Pembangunan benteng merupakan usaha awal bangsa Eropa untuk menguasai perdagangan rempah di Nusantara. Pada awalnya, benteng-benteng yang dibangun difungsikan sebagai pos perdagangan untuk menyimpan berbagai komoditi, pusat pertahanan, sekaligus pula dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman dan pemerintahan. Keberadaan benteng-benteng peninggalan penjajahan bangsa Eropa menjadikan sepenggal cerita bahwa Maluku pernah menjadi pusat kejayaan rempah di Nusantara.

Tak mengherankan beragam tradisi, budaya dan ilmu pengetahuan menguak ke permukaan Nusantara. Tak hanya bagi Indonesia, namun juga dunia. Indonesia sebagai tempat pertemuan manusia dari berbagai belahan dunia telah melahirkan berbagai ide, gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan. Pada gilirannya telah menjadi sarana bagi pertukaran antar budaya yang berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia.

Citra rempah Nusantara di masa lalu

Citra rempah Nusantara di masa lalu sangat dikenal di berbagai belahan dunia. Terutama melihat pada pemanfaatannya untuk berbagai macam kegunaan. Baik untuk kegunaan kuliner, kesehatan, kecantikan, pengobatan sampai pada bahan pengawet daging.

Menurut Fadly Rahman penulis buku "Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia," di Cina pada masa Dinasti Han pada awal Masehi, cengkeh dikulum untuk menghasilkan sensasi harum sebelum bercakap dengan para pembesar atau raja. Di Eropa, abad pertengahan, rempah dipakai untuk mengawetkan daging dari kebusukan atau menutupi bau amisnya.
Abad ke-15, menurut Fadly, adalah “abad rempah-rempah” yang mengubah citra kuliner Eropa yang selama zaman Medieval dinilai tidak berselera. Citra rempah lantas mulai bergeser dari afrodisiak (perangsang daya seksual), menjadi penguat citarasa eksotik hidangan di lingkungan kerajaan-kerajaan di Eropa.

Walhasil, lanjut Fadly, seiring dengan populernya eksotika rempah, buku-buku masak pun bermunculan. Sebuah buku masak di Inggris, misalnya, memuat resep jenis ikan Atlantik (haddock) dalam kuah saus yang diberi nama ”gyve”. Bumbu sausnya dibuat dari ramuan cengkih, bunga pala, lada, kayumanis, kismis, kunyit, kayu cendana, dan jahe. Sepanjang abad ke-13 hingga abad ke-15, sekitar 75 persen rempah-rempah muncul di resep-resep buku masak.

Di tengah menggeliatnya industri kuliner di Indonesia, diselenggarakan berbagai acara seminar, pameran, hingga bertumbuhnya beberapa komunitas kuliner. Tidak terkecuali mengusung tema rempah turut pula bergeliat beberapa tahun terakhir. Fenomena ini seakan-akan membangunkan kembali ingatan kolektif masyarakat pada kemasyhuran masa lalu Indonesia sebagai “surga” penghasil rempah yang sempat hilang ditelan jaman.

Membangun Citra rempah Nusantara bagi Reputasi Indonesia

Untuk membangun citra Indonesia yang terintegrasi dan melekat di benak masyarakat dunia, Kementerian dan Lembaga diharapkan tidak berjalan sendiri-sendiri. Bahkan hal ini mendapat penekanan dari Presiden Joko Widodo. Sejumlah upaya untuk mendorong dan meningkatkan kinerja berbagai sektor di Indonesia perlu terus dilakukan pemerintah.
Melalui rempah Nusantara, pemerintah dapat menggarap nation branding-nya. Bila perlu dapat dilakukan melalui diplomasi kebudayaan, film, kuliner, sampai pada bidang olahraga. Tagline yang perlu senantiasa dilekatkan, misalnya: "Bumi Rempah Nusantara Sebagai Simpul Warisan Budaya." Atau "Jadikan Jalur Rempah Nusantara sebagai Kekuatan Diplomasi Budaya."

Jalur Rempah Nusantara dapat menjadi pijakan kuat dalam membangun kerja sama antar bangsa. Terutama guna mewujudkan persaudaraan dan perdamaian global. Dalam upaya mengutamakan pemahaman antar budaya, penghormatan dan pengakuan atas keberagaman tradisi beserta warisannya. Tentu, harus dengan landasan semangat keadilan, kesetaraan dan saling berkontribusi, serta menjunjung tinggi harkat martabat kemanusiaan.

Perlunya promosi ke luar negeri

Membangun citra Indonesia melalui promosi rempah ke luar negeri, tentu tak bisa berjalan sendiri-sendiri. Perlu dilakukan kerjasama lintas kementerian dan lembaga terkait. Tujuannya, agar memiliki satu citra yang terintegrasi dan melekat erat di benak masyarakat dunia.

Jika Kementerian Perdagangan mengangkat tagline ‘Remarkable Indonesia’, Kementerian Pariwisata mengusung ‘Wonderful Indonesia’. Kementerian Pertanian dapat mengangkat tagline "Indonesia Primadona Rempah Dunia" atau "Indonesia sebagai Bumi Rempah Primadona Dunia," atau "Kuliner Indonesia Bercitarasa Rempah Nusantara." Maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat mengangkat tagline: "Jalur Rempah Sebagai Warisan Dunia Guna Mewujudkan Persaudaraan dan Perdamaian Global" atau "Jalur Rempah Nusantara Sebagai Simpul Warisan Budaya Perkokoh Tradisi Keindonesiaan."

Bila perlu, dibuat juga baliho-baliho ucapan selamat datang. Misalnya, dipajang di Bandara atau di pintu masuk kota-kota di Indonesia, dengan tagline: "Selamat Datang Di Bumi Rempah Nusantara". Atau "Welcome to Indonesia as The Best Spices in The World" Atau di tempat-tempat komunitas kuliner, hotel, restoran dengan tagline, "Kuliner Khas Indonesia, Bercitarasa Rempah Nusantara." Atau, "Rempah Nusantara Andalan Penyedap Kuliner Indonesia."

Tagline ini dapat dilekatkan pada tagline kementerian atau lembaga lain, baik melalui promosi-promisi atau pameran-pameran di dalam dan luar negeri. Dengan demikian diharapkan reputasi atau citra positif rempah Nusantara akan terbangun dengan sendirinya.
Dalam pameran kuliner Internasional misalnya, perlu dihadirkan pula kuliner khas Indonesia yang menggunakan rempah. Para wisatawan yang datang atau ketika mengunjungi pameran kuliner bisa disuguhi tontonan Jalur Rempah Nusantara sebagai Warisan Peradaban Dunia. Atau diberikan kesempatan untuk mencicipi makanan atau minuman hasil racikan rempah Nusantara.

Perlunya kolaborasi, pemerintah, pengusaha dan petani

Untuk membentuk kembali citra rempah Nusantara tidak terlepas dari cara bagaimana memberikan pemanfaatannya bagi lngkungan pemilik jalur rempah dan petani rempahnya sendiri. Sehingga perlu perlu dilakukan sebuah kolaborasi atau kerja sama lintas sektoral, baik dari pemerintah selaku pemangku kebijakan, maupun lembaga, para pengusaha sekaligus para petani rempah.

Untuk itu pendampingan pemerintah kepada para petani dengan memberikan sosialisasi. Misalnya, tentang cara penanaman rempah yang baik dengan memanfaatkan bibit unggul. Terutama yang diperoleh dari hasil teknologi di bidang pertanian dalam menghasilkan rempah yang jauh lebih produktif dan berkualitas.

Para peneliti di bidang pertanian dapat terus memberikan idenya demi menciptakan hasil rempah Indonesia yang lebih baik lagi. Jika semua hal tersebut dapat dilakukan dengan baik, peluang besar Indonesia di masa pandemi ini dapat dimaksimalkan, sekaligus terwujudnya harapan Indonesia untuk mengembalikan kejayaannya di masa lalu pun akan semakin dekat mewujud.

Pemerintah dapat melakukan upaya-upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan potensi daya saing rempah melalui: Teknik budidaya yang baik, pengembangan industri hilir, pemanfaatan bursa komoditas, dan perbaikan fasilitasi perdagangan.

Libatkan Peranan HKTI

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal (Purn) Dr. Moeldoko, telah menegaskan mengenai pentingnya penguatan organisasi agar berperan besar dalam membangun ketahanan pangan, kemandirian pertanian, dan meningkatkan kesejahtetaan petani. Moeldoko menyebutkan ada empat hal yang akan dilakukan HKTI, yaitu konsolidasi organisasi, pendampingan petani, koordinasi dan komunikasi dengan lembaga terkait, dan melakukan social engineering.

Peluang ini harus ditangkap oleh siapapun yang terlibat dalam meningkatkan produksi dan kualitas rempah Nusantara. Apalagi beberapa program HKTI ini begitu menyentuh langsung kepada lingkungan pemiliki jalur rempah dan kepentingan para petani atau kepada Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani).

Dalam upaya meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan serta memberikan manfaat kepada pemilik jalur rempah, sebagaimana yang diamanatkan Ketua HKTI tersebut dapat dimanfaatkan para petani Rempah. Terutama dalam menghubungkan petani dengan pemerintah, dunia usaha, lembaga keuangan, perguruan tinggi, dan komunitas. Pemerintah harus merangkul HKTI, sebagai salah satu organisasi terdepan dalam meningkatkan kesejahteraan petani, tidak terkecuali terhadap petani rempah.

Lanjutkan Perjuangan ke UNESCO

Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sejak tahun 2017 telah merintis upaya pengusulan Jalur Rempah sebagai warisan dunia ke UNESCO. Namun tampaknya, hingga saat ini masih belum berhasil.

Usulan itu perlu terus dilajutkan dan diperjuangan. Tentu, hal itu akan sangat terkait dengan Citra Rempah Nusantara sebagai salah satu warisan budaya pada dunia. Jalur pertukaran antar budaya dan pertukaran pengetahuan menjadi argumen dan instrumen penting diplomasi budaya untuk diusulkan Indonesia bersama negara-negara terkait dalam jalur perdagangan.

Pengajuan Jalur Rempah Sebagai Warisan Dunia ke UNESCO, setidaknya menunjukkan itikad baik Indonesia untuk mengambil peran dalam menjaga amanah yang diberikan dunia. Untuk menjaga warisan peradaban manusia. Jalur Rempah bukan lagi warisan milik Indonesia. Keberadaanya telah menjadi amanah sebagai warisan milik dunia. Karena itu, harus senantiasa terjaga kelestarian dan keberlangsungannya.

Sebongkah harapan

Pemerintah Indonesia telah memulai untuk lebih berfokus dalam upaya meningkatkan reputasi Indonesia di mata dunia. Ini perlu mendapat sambutan berbagai pihak. Tidak terkecuali pihak yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan citra rempah Nusantara. Kontribusi citra rempah Indonesia diharapkan dapat memberikan andilnya terhadap reputasi Indonesia yang baik. Pada akhirnya dapat digunakan sebagai instrumen kekuatan lunak sebagai kekuatan diplomasi budaya dalam membangun hubungan Indonesia dengan dunia luar.

Memori Jalur Rempah yang diusung lewat citra rempah Nusantara, kiranya dapat menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan kolektif akan jati diri bangsa. Mampu memperkuat kembali rajutan kebhinekaan Indonesia melalui interaksi budaya antar daerah yang telah dibangun sejak ribuan tahun silam.

Waktu telah menjadi saksi bisu. Terjadinya perjumpaan manusia dari pelbagai belahan dunia pada titik-titik jalur rempah telah menghasilkan peradaban khas dan unik. Tak hanya terjadinya pertukaran pengetahuan, religi atau informasi. Namun juga menghasilkan peradaban berbentuk benda atau tak benda. Semuanya telah mampu membentuk karakter dan adat istiadat bangsa di berbagai kota menjadi lebih kosmopolitan.

Sejarah Jalur Rempah dari masa ke masa merupakan contoh nyata bahwa diplomasi budaya telah dipraktikkan di segala lini oleh individu, komunitas masyarakat, hingga tingkatan negara-bangsa. Belajar dari dinamika Jalur Rempah di masa lalu, kiranya sangat relevan bila Jalur Rempah menjadi rujukan dalam mencari warna diplomasi Indonesia yang mengedepankan interaksi dan kehangatan dialog di berbagai bidang dan lapisan masyarakat
Seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo, bahwa Indonesia harus memiliki citra atau reputasi yang positif di dunia internasional sehingga akan memperkuat kebanggaan identitas nasional kita sebagai bangsa sekaligus meningkatkan daya saing negara kita.

Dengan demikian, menghidupkan jalur rempah, merevitalisasinya, sekaligus meningkatkan citra rempahnya, hendaknya dapat dijadikan sebuah gerakan moral dalam dimensi lebih luas. Tak hanya guna merawat warisan kebhinekaan, mewujudkan kesejahteraan rakyat, memperkokoh persaudaraan antar bangsa. Namun juga guna memperkuat diplomasi budaya bangsa Indonesia demi tingginya reputasi Indonensia di mata dunia. Nah, itu!!//n425.

Jumat, 15 Oktober 2021

Tasawuf Psikoterapi Mereparasi Qolbu Melalui Ritual Ibadah

Sumber foto: "Bacaan Madani"
Tujuan utama tasawuf psikoterapi adalah menciptakan kesehatan mental manusia. Kesehatan mental dalam Islam merupakan kekuatan emosionalpsikologis yang menempatkan manusia sebagai subjek pengamal agama mulai dari dimensi ritual (ibadah), credoism (iman) hingga ke norma (akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sehat secara mental tidak terlepas dari pembentukan akhlak.

Akhlak yang baik tercermin dalam tindakan toleran, pemaaf, sadar untuk tidak mengganggu ketenangan orang lain dan menjalin hubungan baik dengan Tuhannya (al-Ghazali, 1994: 29-31).

Jika esensi dari proses perkembangan jiwa manusia itu berhubungan dengan pertumbuhan, pembinaan, dan pengembangan nilai al-akhlâq al-karîmah (moral yang baik).

Maka akhlak adalah kualitas-kualitas moral yang secara khusus melekat kepada manusia dan terwujud secara nyata dalam keadaan ahsan al-taqwîm (sebaik-baik bentuk dan rupa).

Tanpa akhlak, manusia akan kehilangan esensi dan identitas dirinya lalu menjadi asfala sâfilîn (makhluk yang tidak bermoral) (Effendi, 1991:5).

Tasawuf psikoterapi itu bertujuan memelihara, menyembuhkan dan mengembangkan hati, ruh, nafsu dan akal agar selalu berada dalam keadaan salâm atau Islâm.

Kondisi ini tergambar dalam firman Allah SWT yaitu “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta itu adalah hati yang ada dalam dada” (Q.S. Al-Hajj [22]: 46).

Semua manusia mempunyai hati tetapi tidak semua manusia mampu dan menggunakannya untuk memahami, menghayati dan mengamalkan perintah Tuhan (Q.S. Al-A‟raf [7]: 176).

Manusia justru lebih banyak menuruti bisikan setan sehingga di dalam hati manusia yang demikian itu ada penyakit dan lambat laun hatinya pun menjadi kasar (Q.S. Hajj [22]: 53).

Dalam hati manusia yang penuh dengan bisikan setan selalu ada penyakit lalu ditambahkan oleh Allah penyakitnya (Q.S.Al-Baqarah [2]: 10).

Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka (Q.S Al-Mutaffifin [83]: 14). Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, bahkan penglihatan mereka ditutup dan mereka akan mendapat azab yang berat (Q.S. Al-Baqarah [2]: 7).

Hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat cenderung tertarik kepada bisikan setan dan menyenanginya sehingga mereka melakukan apa yang biasa mereka lakukan (Q.S. Al-An‟am [6]: 113).

Pada saatnya nanti, yaitu pada hari di mana harta dan anak-anak tidak lagi berguna mereka baru menyadarinya, ternyata hanya orang-orang yang hatinya bersih yang mampu menghadap Allah SWT (Q.S. Al-Syu‟ara‟ [26]: 88 dan 89).

orang tersebut adalah orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk senantiasa bertaqwa (Q.S.Al-Anfal [8]: 24). Barang siapa yang beriman kepada Allah, maka Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (Q.S.Al-Taghabun [64]: 11).

Konsep hati dengan pelbagai penerapannya di atas memberikan pengertian bahwa hati yang tulus (ikhlas) yang menentukan hakikat diri manusia itu adalah hati yang dapat memahami, mengetahui apa yang melekat padanya dan lingkungan dirinya.

Untuk mencapai hati yang bersih dan ikhlas itu memerlukan bimbingan syariat. Secara spiritual, tahapan itu bisa terwujud dengan memperbanyak zikir kepada-Nya dengan tekun dan secara terusmenerus.

Dengan berzikir akan tercipta dan terbangun kesehatan hati (mental) yang lebih baik (Hawwa, 1998: 61). Hati yang terbebas dari penyakit seperti hasad, riya, pengumpat, sombong dan menggunjing akan membuka hijab ke arah moral/akhlak yang mulia.

Meskipun Islam telah menegaskan bahwa hakikat roh bukan urusan manusia dan jika manusia bersikukuh ingin mengetahuinya maka manusia hanya dapat mengetahuinya sedikit saja (Q.S. Al-Isra‟ [17]: 85).

Namun di awal penciptaan manusia, roh telah diperkenalkan Tuhan kepada manusia, Allah menjelaskannya dalam firman-Nya yang artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak-cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman): Bukankah aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab “betul” engkau Tuhan kami” (Q.S. Al-A‟raf [7]: 172)

Namun roh dipengaruhi oleh sejumlah faktor eksternal/lingkungan diantaranya adalah faktor keluarga. Keluarga cukup dominan dalam membentuk aspek ruhaniah seseorang.

Faktor moral sosial yang bebas nilai tanpa disertai nilai keimanan dapat membentuk ruhaniah seseorang cenderung kepada kemungkaran, kesombongan dan kemaksiatan.

Kedua faktor ini jika tidak dididik dengan tepat dapat mendesak roh bertindak spekulatif dan melakukan pelanggaran sosial (social deviation). Eksistensi roh agar tetap berada dalam latîfah rûhâniyyah rabbâniyyah (roh halus ketuhanan) memerlukan pendidikan yang seimbang dan selaras dengan ubûdiyyah (amalan).

Sebetulnya, roh itu telah mengenal Tuhannya sejak awal penciptaannya, yakni ketika bersaksi bahwa Allah sebagai Tuhannya, maka ketika seseorang berperilaku jauh dari kerohaniahannya seseungguhnya ia telah menghianati perjanjian antara dirinya dengan Tuhannya.

Dalam tasawuf, empat dimensi psikologis manusia; hati, roh, nafsu, dan akal memiliki potensi pembinaan dan pengembangan mental dan moral menuju akhlâq karîmah yang sesuai dengan fitrahnya yang suci, putih, bening, dan bersih yang dibawanya semenjak lahir.

Nabi SAW bersabda: “Tidak seorang juapun anak baru lahir, melainkan dia dalam keadaan suci bersih. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi “.

Allah berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) Fitrah Allah karena Dia telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu; tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (alQusyairy, 1914: 242).
(Penulis: Mochamad Ari Irawan/Author at Pecihitam.org//Alumni Pondok Pesantren Qomaruddin | Sarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Perbandingan Madzhab).

Rabu, 06 Oktober 2021

Tasawuf Ibnu Taimiyah


Oleh: Muhammad Ikhsan
(Mahasiswa S2 UI Jakarta Program Studi Kajian Islam Dan Timur Tengah Kekhususan Kajian Islam)

Mengurai Sikap dan Pandangan Ibnu Taimiyah yang Sesungguhnya Terhadap Tasawuf

Pengantar:

Dalam sejarah panjang pemikiran Islam, ada banyak “kata” yang seringkali dianggap saling berbenturan dan membentuk sebuah efek paradoksal. “Kata” itu bisa saja mewakili sebuah kelompok pemikiran (firqah), seorang tokoh, atau juga sebuah pemikiran tertentu. Diantara deretan “kata-kata” yang saling paradoks itu mungkin tidak salah jika kita menyebut “Ibnu Taimiyah” (sosok tokoh pemikiran penting abad 7 H) dan “Tasawuf” (sebuah aliran pemikiran yang sudah lama berkembang) sebagai salah satu contohnya.

Dalam pandangan sebagian kalangan, kedua kata ini –Ibnu Taimiyah dan Tasawuf- dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Tasawuf. Pandangan ini tentu saja semakin menyempurnakan gambaran kekerasan pada tokoh yang satu ini. Sehingga –bagi mereka yang tidak memahami dengan baik- setiap kali mendengarkan kata “Ibnu Taimiyah”, maka opini dan image yang tercipta adalah kekerasan, kekejaman, permusuhan, dan yang semacamnya.

Hal-hal itulah diantaranya yang menjadi alasan pemunculan tulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui tulisan ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia.


Ibnu Taimiyah; Siapakah Dia?

Dunia Islam di era Ibnu Taimiyah –sebelum dan setelah ia dilahirkan- adalah dunia Islam yang penuh gejolak. Gejolak pemikiran dan juga gejolak politik yang berkepanjangan. Ibnu Taimiyah sendiri dilahirkan tepat lima tahun setelah Baghdad –ibukota Islam- jatuh dan porak-poranda di tangan Bangsa Tartar.[1] Tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awwal tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran. Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. 

Dan para ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan: Taqiy al-Din Abu al-‘Abbas Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn ‘Abd al-Salam ibn Abi al-Qasim ibn Muhammad ibn Taimiyah al-Harrany al-Dimasyqy.[2]

Tidak lama ia menghabiskan masa kecilnya di kota kecil bernama Harran itu. Ketika usianya memasuki tujuh tahun, ia bersama seluruh keluarganya terpaksa mengungsi ke kota Damaskus karena pasukan Tartar telah memasuki dan akhirnya menguasai Harran.

Lingkungan keluarga Ibnu Taimiyah sangat mendukung perkembangannya untuk kelak menjadi seorang ulama dan pemikir Islam besar. Ayahnya, Syihab al-Din ‘Abd al-Halim adalah seorang ahli hadits dan fakih madzhab Hanbaly yang memiliki jadwal mengajar di Mesjid Jami ‘Umawy. Ia juga kemudian menjabat sebagai kepala para ulama (masyikhah) di Dar al-Hadits al-Sukriyah. Sang ayah ini kemudian meninggal saat Ibnu Taimiyah berusia 21 tahun, tepatnya di tahun 682 H.[3]

Di samping hal itu, ada beberapa faktor lain yang juga dapat disimpulkan sebagai penyebab kecemerlangan pemikiran Ibnu Taimiyah di kemudian hari. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan hafalan dan pemahamannya yang luar biasa. Di usia yang masih sangat kecil ia berhasil menyelesaikan hafalan al-Qur’annya. Setelah itu, ia pun mulai belajar menulis dan hisab. Kemudian membaca berbagai kitab tafsir, fikih, hadits dan bahasa secara mendalam. Semua ilmu itu berhasil dikuasainya sebelum ia berusia 20 tahun.

2. Kesiapan pribadinya untuk terus meneliti. Ia dikenal tidak pernah lelah untuk belajar dan meneliti. Dan itu sepanjang hidupnya, bahkan ketika ia harus berada dalam penjara. Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ia tidak lagi sempat untuk menikah hingga akhir hayatnya.

3. Kemerdekaan pikirannya yang tidak terikat pada madzhab atau pandangan tertentu. Baginya dalil adalah pegangannya dalam berfatwa. Karena itu ia juga menyerukan terbukanya pintu ijtihad, dan bahwa setiap orang –siapapun ia- dapat diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Rasulullah saw. Itulah sebabnya ia menegaskan, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa kebenaran itu terbatas dalam madzhab Imam yang empat.”[4]

Salah satu kisah unik yang menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu serta kecepatan nalar Ibnu Taimiyah adalah apa yang dikisahkan oleh muridnya, Shalih Taj al-Din. Ia menuturkan,

“Suatu ketika, aku hadir dalam majlis Syekh –maksudnya: Ibnu Taimiyah-. Ternyata ada seorang Yahudi yang bertanya kepada beliau tentang Qadar, dan pertanyaan itu telah dirangkai dalam delapan bait puisi. 

Ketika orang Yahudi itu selesai, (Syekh) pun berpikir sebentar, lalu mulailah ia menulis jawabannya. Ia terus menulis, dan kami mengira ia menulisnya dalam bentuk prosa. Setelah selesai, orang-orang yang hadir memperhatikan jawaban yang beliau tulis. Ternyata, jawaban itu terdiri dari berbait-bait puisi dengan langgam puisi yang sama dengan pertanyaan sang Yahudi, jumlahnya 184 bait. Dalam bait-bait itu, beliau menguraikan ilmu yang jika dijelaskan memerlukan 2 jilid besar.”[5]

Perjalanan Hidup Hingga Ajal Menjemput

Perjalanan hidup Ibnu Taimiyah ternyata tidak mulus. Akibat prinsip-prinsip yang diperjuangkannya, ia harus menerima resiko beberapa kali keluar-masuk penjara, difitnah dan dimusuhi. Setidak-tidaknya delapan kali ia harus melewati hari-harinya dalam penjara. Hingga ketika dipenjarakan untuk terakhir kalinya pada tahun 727 H, tekanan terhadapnya sampai pada tingkat pelarangan masuknya kitab-kitab dan alat tulis ke dalam selnya. Itu terjadi tepatnya pada hari Senin, tanggal 9 Jumada al-Akhir di tahun itu. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 20 Syawal tahun 728 H, ia pun meninggalkan dunia ini untuk menghadap Tuhannya. [6]

Sepeninggalnya, Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500 jilid dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun sebagian yang lain hanya tinggal nama atau masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq. Ibn al-Wardy (w. 749 H) bahkan menyatakan bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah dapat menulis sampai 4 buku.[7]


Sisi-sisi Lain Kepribadian Ibnu Taimiyah

Sesungguhnya ada banyak sisi menarik dari kepribadian seorang Ibnu Taimiyah. Dan hal itu tidak hanya disimpulkan oleh orang-orang dekatnya, namun juga diakui oleh orang-orang yang berbeda bahkan memusuhinya. Diantara sisi-sisi lain kepribadiannya adalah sebagai berikut:

Keteguhan ibadah dan kezuhudannya

Ibnu Taimiyah pernah mengatakan,

“Sungguh jika pikiranku terhenti pada satu masalah atau apapun yang sulit untuk kupahami, maka aku akan beristighfar kepada Allah Ta’ala seribu kali atau lebih, hingga akhirnya dadaku dilapangkan dan kekaburan masalah itu menjadi jelas.”[8]

Dalam al-‘Uqud al-Durriyah (hal. 105) –salah satu biografi tentangnya yang ditulis oleh muridnya, Ibnu ‘Abd al-Hady- disebutkan,
“Bila malam hari tiba, ia pun menyendiri dari semua manusia, berkhalwat dengan Rabb-nya Azza wa Jalla merendahkan diri pada-Nya, menekuni bacaan al-Qur’an, mengulang-ulangi berbagai bentuk penghambaan siang dan malam. Dan bila ia telah masuk ke dalam shalatnya, sekujur tubuh dan anggota badannya bergetar hingga bergoyang ke kiri dan ke kanan.”

Ibnu al-Qayyim –murid terdekatnya- mengatakan,
“Bila ia usai menunaikan shalat subuh, ia pun tinggal duduk (berdzikir) di tempatnya hingga matahari terbit dan mulai panas. Ia mengatakan, ‘Inilah sarapan pagiku, kapan saja aku tak melakukannya maka kekuatanku akan berguguran.”[9]

Adapun mengenai kezuhudannya, maka itu adalah perkara yang diketahui dengan jelas oleh semua orang yang mengenalnya. Karena itu, beberapa kali ia diberi hadiah harta yang berlimpah, namun tidak lama kemudian semuanya telah habis diberikan kepada yang membutuhkannya. Hingga bila ia tidak memiliki apapun untuk disedekahkan, maka ia mengambil pakaiannya lalu diberikannya kepada fuqara’.[10]

Kelapangan dadanya kepada siapa pun yang menyakitinya
Ibnu Taimiyah dapat dikatakan sebagai salah satu contoh ulama yang memahami dan merealisasikan dengan baik etika dalam berbeda pendapat. Kelapangan dadanya dalam menyikapi siapa pun yang menjadi lawannya menyebabkan kekaguman tersendiri bagi para penelaah pemikirannya.

Ibn al-Qayyim pernah menuturkan,

“Ia selalu mendoakan kebaikan untuk musuh-musuhnya. Tidak pernah sekali pun aku melihat ia mendoakan kebinasaan untuk mereka. Suatu hari, aku sampaikan ‘kabar gembira’ kematian salah satu penentangnya yang paling membenci dan memusuhinya. Tapi ia justru memarahiku dan memalingkan wajahnya dariku. ‘Apakah engkau datang memberiku kabar gembira akan kematian seorang muslim?’ Ia kemudian mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.

Lalu saat itu juga, ia segera mendatangi rumahnya dan menghibur keluarga (musuh)nya itu. Ia berkata pada mereka, ‘Anggaplah aku sebagai penggantinya. Aku akan membantu kalian dalam setiap apa pun yang kalian butuhkan.’ Ia berbicara pada mereka dengan lembut dan penuh hormat; hal yang kemudian menghadirkan kebahagiaan bagi mereka. Ia kemudian berdoa sebanyak-banyaknya untuk mereka, hingga mereka sendiri takjub dibuatnya.”[11]


Al-Qadhy Ibn Makhluf al-Maliky, salah seorang penentangnya yang paling keras bahkan pernah mengatakan,
“Aku belum pernah melihat seorang pemurah yang sangat lapang dada seperti Ibnu Taimiyah. Kami telah memprovokasi negara untuk melawannya, namun ia justru memaafkan kami setelah ia punya kemampuan (untuk menjatuhkan kami di depan Sultan). Ia bahkan membela dan melindungi kami.”[12]

Kisah-kisah ini hanya sebagian kecil dari bukti kelapangan dada Ibnu Taimiyah. Lebih dari itu, dalam berbagai karyanya ia selalu mengulang-ulangi pentingnya bersikap adil, moderat dan pertengahan dalam menilai apapun dan siapa pun. Termasuk juga saat ia mengkritisi berbagai aliran pemikiran dalam Islam –bahkan di luar Islam-, ia selalu menjelaskan sisi-sisi positif yang mereka miliki. Tentu saja, tanpa mengurangi ketegasannya dalam hal-hal yang prinsipil.

IBNU TAIMIYAH DAN TASAWUF

Ibnu Taimiyah meninggalkan cukup banyak karya yang menunjukkan perhatiannya yang cukup dalam terhadap Tasawuf. Beberapa karyanya dimana ia banyak menyinggung tema-tema sentral yang biasa diangkat para sufi, diantaranya adalah:

1. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan.

2. al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi A’mal al-Qulub
3. al-‘Ubudiyyah
4. Darajat al-Yaqin
5. al-Risalah al-Tadmuriyah
6. Risalah fi al-Sama’ wa al-Raqsh
7. Term al-Tashawwuf dan al-Suluk dalam kumpulan fatwanya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.

Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-karyanya itu terpusat pada upaya meletakkan landasan pandangan Tasawuf yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa yang ia sebut dengan “Tasawwuf yang sesuai dengan Syariat” dan mengkritisi apa yang ia sebut sebut sebagai “Tasawuf yang menyimpang”. Dan berikut ini akan diuraikan pokok-pokok pandangannya terhadap Tasawuf.


Pengertian ‘Tasawuf’ Menurut Ibnu Taimiyah

Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang berbeda tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf itu. Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini; apakah “sufi” adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang ‘diarabkan’? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq?[13]

Perdebatan seputar asal pembentukan “Tasawuf” atau “sufi” ini juga diulas oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan semua pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “sufi”. Meski terkadang kritiknya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah.
Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “sufi” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Penisbatan (sufi) kepada ‘al-Shuffah’adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika (‘sufi’ adalah penisbatan kepada ‘al-Shuffah’), maka seharusnya menjadi ‘shuffy’ ÕÝí , dan bukan ‘sufi’ ’. ÕæÝí[14]
Di samping itu, ia juga menafikan –berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan Shuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. 

Karena itu –menurut Ibnu Taimiyah- penghuni Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan “sufi” kepada Ahl al-Shuffah.[15]

Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “sufi” adalah sebuah penisbatan pada pakaian shuf ( ÕæÝ )bulu domba. Di samping karena alasan kaidah kebahasaan, dari segi fakta, para sufi dan zuhhad juga banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.[16]

Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. 
Ia mengatakan,
“Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.”[17]

Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi’ dan ‘kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah “al-Fuqara’” (kaum fakir), “al-Zuhhad” (kaum pelaku kezuhudan), “al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), “Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal” (para penempuh ahwal), “Ashab al-Shufiyah” (pelaku jalan sufi), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam.[18] 

Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab –baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.[19]

Sejarah Pemunculan Tasawuf

Seperti pembahasan sebelumnya, para peneliti Tasawuf juga memiliki pandangan yang berbeda seputar awal sejarah pemunculan Tasawuf. Sebagian peneliti bahkan mengatakan istilah “sufi” telah ada di masa jahiliyyah.

Ibnu Taimiyah sendiri menyimpulkan bahwa istilah ini baru muncul pada awal-awal abad 2 H. Akan tetapi penggunaannya baru terkenal setelah abad 3 H. Ia mengatakan,

“Awal mula munculnya Sufiyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum sufi adalah beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid. Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Bashrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: ‘fikihnya fikih Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah’.”[20]

Pembagian Sufi Menurut Ibnu Taimiyah

Menurut Ibnu Taimiyah, para sufi itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:

1. sufi yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq)

2. sufi yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq)
3. sufi yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)

Sufi yang hakiki menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang sufi adalah “orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai emas dan batu.”[21]

Kelompok inilah yang diakui dan dijalani oleh Ibnu Taimiyah. Ia mengatakan tentang kelompok ini,

“Kelompok ini sebenarnya adalah salah satu bagian dari golongan ‘Shiddiqun’. Ia adalah ‘shiddiq’ yang memberikan perhatian khusus terhadap kezuhudan dan ibadah secara sungguh-sungguh. Maka seorang ‘shiddiq’ juga ada yang menjadi penempuh jalan ini, sebagaimana juga ada ‘shiddiq’ dari kalangan ulama dan umara’. Jenis (manusia) ‘shiddiq’ ini lebih khusus dari (manusia) ‘shiddiq’ secara mutlak, namun tetap berada di bawah para (manusia) ‘shiddiq’ yang sempurna ke’shiddiq’annya, dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.

Maka jika para ahli zuhud dan ibadah dari Bashrah itu disebut sebagai para ‘shiddiqun’, maka para imam dan fuqaha’ dari Kufah pun disebut sebagai para ‘shiddiqun’. Setiap mereka (menjadi ‘shiddiqun’) sesuai dengan jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang mereka tempuh dengan kemampuan mereka. Sehingga (dapat disimpulkan) bahwa mereka –para sufi- adalah manusia ‘shiddiq’ paling sempurna di zamannya, meski para ‘shiddiqun’ generasi awal lebih sempurna dari mereka.”[22]


Menurut Ibnu Taimiyah, seorang sufi yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut:
1. Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang sufi yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa.

2. Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.

3. Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.

Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka.

Sedangkan shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada sufi. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama –hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.[23]

Dengan pembagian ini, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, ia seperti menegaskan adanya semacam pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, -sebagaimana telah disinggung sebelumnya- bagi Ibnu Taimiyah, wali Allah yang hakiki itu tidak memiliki model penampilan khusus yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mengapa? 

Karena –menurutnya- para wali itu sebenarnya tersebar dan ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang berpegang teguh pada Syariat Allah yang benar dan meninggalkan bid’ah. Mereka ada di tengah para ulama, qurra’, prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak menunaikan kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada Allah Ta’ala. [24]

Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah juga mengkritik para sufi yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani saja, tanpa memperhatikan ranah lahiri dan sosial. Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan lahiri akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah baru. Sebab Islam sesungguhnya menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh, zhahir dan bathin. Seorang sufi yang sempurna menurutnya harus mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, “Dunia berkhidmat untuk dien (agama).”[25]

Ibnu Taimiyah Memusuhi Tasawuf; Benarkah?
Setidaknya ada 2 tuduhan penting terkait dengan pembahasan ini: (1) Ibnu Taimiyah sangat membenci dan memusuhi Tasawuf, dan (2) ia adalah sosok yang “berhati batu”. Benarkah demikian?

Pertama, Ibnu Taimiyah memusuhi Tasawuf

Ini semacam opini umum yang berkembang di kalangan para pengkaji Tasawuf, dulu dan sekarang.[26] Opini ini sesungguhnya tidak dibangun di atas pijakan yang benar. Ini sepenuhnya hanya didasarkan pada kesimpulan yang salah. Siapa pun yang mendalami karya-karya Ibnu Taimiyah akan mendapati bahwa ia berulang kali memuji para syekh sufi besar yang konsisten dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadikan perkataan-perkataan mereka sebagai penguat prinsip-prinsip yang diyakininya.[27]

Lebih dari itu, Ibnu Taimiyah juga telah menulis karya-karya yang secara khusus menjelaskan dan menjabarkan jalan Tasawuf yang ia yakini kebenarannya. Dan itu –seperti telah dijelaskan- dilakukan dengan mengutip pandangan dan perkataan para tokoh sufi generasi awal yang berpegang pada cahaya al-Qur’an, al-Sunnah dan pandangan kaum salaf.

Diantara karyanya itu –misalnya- adalah:

Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah. Buku ini, seperti yang dikatakannya,

“(Berisi) kalimat-kalimat ringkas tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan ‘maqamat’ dan ‘ahwal’, yang juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-kaidah agama; seperti ‘mahabbah’ pada Allah dan Rasul-Nya, Tawakkal, mengikhlaskan agama pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-Nya, ‘khauf’ dan ‘raja’ pada-Nya, serta hal-hal lain yang mengikutinya.”[28]

Dalam teks tersebut dengan sangat jelas terlihat bahwa Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilah yang umum digunakan di kalangan sufi; maqamat dan ahwal. Dan dalam buku ini secara khusus, ia menguraikan secara panjang lebar dan terperinci tentang berbagai maqam dan hal tersebut.
Hal lain yang juga patut dicatat adalah interaksinya dengan para sufi yang hidup di zamannya. Ternyata ia juga menyempatkan waktu untuk hadir dalam majlis mereka,
“Sewaktu aku masih muda, aku pernah hadir bersama sekelompok ahli zuhud dan ibadah, dan mereka adalah orang-orang terbaik di zamannya.”[29]

Untuk memastikan permusuhan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf secara mutlak menuntut kita untuk menelaah ide-idenya yang tertuang dalam berbagai karyanya. Untuk mengatakan bahwa ia mendukung semua jenis Tasawuf tentu juga tidaklah tepat. Sebagaimana menyatakan bahwa ia menolak dan memusuhi semua jenis Tasawuf juga tidaklah benar. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah mendukung dan menjalani apa yang disebutnya sebagai Tasawuf Masyru’ (Tasawuf yang disyariatkan). 

Tasawuf yang mengambil ajaran-ajarannya dari sumber terbersih yang diwariskan oleh Rasulullah saw. Kritik-kritik tajam yang ia lontarkan terhadap ‘ide-ide asing dari Islam’ tidak lebih merupakan upaya kerasnya untuk menjaga kemurnian Tasawuf, agar para sufi dapat menempuh perjalanan mereka menuju Allah dengan tetap berpegang pada Syariat-Nya dan menjaga batasan-batasan-Nya. Apakah Ibnu Taimiyah memusuhi jenis Tasawuf ini? Ia justru menghabiskan hidupnya untuk memperjuangkannya.[30]

Adapun Tasawuf yang lebih banyak melandaskan ajaran-ajarannya dengan ide-ide asing yang berasal dari luar Islam, seperti Tasawuf Bathiniyah yang banyak dipengaruhi ideologi-ideologi pra Islam, maka Ibnu Taimiyah bukanlah orang pertama yang melontarkan kritikannya. Para pemuka sufi seperti al-Junaid (w. 297 H), al-Hasan al-Bashry, al-Harits al-Muhasiby (w. 243 H), dan yang lainnya juga telah mendahului Ibnu Taimiyah dalam hal itu.


Kedua, Ibnu Taimiyah “berhati batu (keras)”

Tuduhan ini mungkin disebabkan karena hanya memandang sosok Ibnu Taimiyah dari satu sisi saja dan melupakan sisi-sisi lain kepribadiannya. Harus diakui, bahwa kondisi zamannya yang diliputi pergolakan sedikit banyak mungkin mempengaruhi pribadi Ibnu Taimiyah. Sehingga tidak mengherankan –di tengah kewajiban membela agama dan tanah airnya-, Ibnu Taimiyah kemudian menjelma menjadi sosok “prajurit” yang keras. Dan faktanya memang menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah beberapa kali terlibat dalam peperangan melawan pasukan Mongolia.

Akan tetapi hal itu sama sekali tidak mengubah kehalusan pribadinya. Ia tetaplah Ibnu Taimiyah yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya, tidak putus mengingat-Nya meski harus melewati hari-hari panjang dalam penjara, dan selalu tulus memaafkan musuh yang telah melontarkan fitnah dan tuduhan keji terhadapnya. 

Ia juga tetaplah Ibnu Taimiyah yang menyimpan ketawadhuan, yang ketika tidak memahami suatu masalah, ia pergi ke Mesjid dan membenamkan wajahnya ke lantainya sembari berdoa, “Wahai Dzat Yang mengajari Ibrahim, ajarilah aku!”. Dan siapa pun yang menelaah secara utuh tentangnya melalui karya yang ditinggalkannya, akan menemukan kalimat-kalimat yang membuktikan kedalaman ma’rifatnya kepada Allah dan kecintaannya pada makhluk-Nya.[31]

AHWAL DAN MAQAMAT MENURUT IBNU TAIMIYAH

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, “dasar utama agama ini sebenarnya adalah ilmu dan amal yang bersifat bathiniyah, dan amalan lahiriah tidak akan bermanfaat tanpa (hal-hal yang bersifat bathiniyah) itu.”[32] Oleh sebab itu, berangkat dari konsep universalitas Islam untuk semesta, Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal dan maqamat tertentu hanyalah ‘milik’ kalangan khas, dan tidak bisa menjadi ‘milik’ kalangan –yang mereka sebut- awam. 

Baginya, semua ahwal dan maqamat itu, karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-sekat awam dan khas.
Terkait dengan itu, ia –misalnya- menyatakan,
“Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas dam ridha juga pada-Nya; semuanya adalah perkara yang diperintahkan kepada kaum awam dan khas. Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu (awam dan khas –pen) bukanlah hal terpuji, setinggi apapun maqamnya.”[33]

Berikut ini akan diulas beberapa maqamat dan ahwal yang diuraikan secara panjang lebar oleh Ibnu Taimiyah dalam berbagai karyanya.

Maqamat Menurut Ibnu Taimiyah

1. Maqam taubat

Inilah maqam pertama para penempuh jalan menuju Allah menurut jumhur kaum sufi.[34] Itulah sebabnya, dalam al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah (hal. 27), Ibnu Taimiyah mengawalinya dengan ulasan tentang taubat. Ia menegaskan bahwa –sebagaimana dalam al-Qur’an[35]- Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan dirinya, dan bahwa taubat merupakan salah satu karakter penting seorang wali Allah.

Taubat –menurut Ibnu Taimiyah- adalah sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba setiap waktu,

“Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah jua, maka ia selalu membutuhkan taubat dan istighfar. Itulah sebabnya, penghulu anak cucu Adam dan imam kaum bertakwa, (Muhammad) saw selalu beristighfar di setiap waktu dan kondisi.”[36]

Di dalam al-Qur’an, setiap kali Allah menyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan selalu disertai dengan penyebutan taubat dan istighfar. Karena itu, pembukaan pintu taubat yang luas itu juga menunjukkan luasnya pintu rahmat Allah bagi alam semesta.

Ibnu Taimiyah kemudian membagi taubat berdasarkan hukum dan tingkatan pelakunya. Adapun berdasarkan hukum, taubat –menurutnya- dibagi menjadi dua:

Pertama, taubat wajib. Yaitu taubat dari meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban semua mukallaf, sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.[37]

Allah berfirman,

“Bertaubatlah kalian semuanya kepada Allah, wahai kaum beriman, agar kalian mendapatkan keberuntungan.” (QS. Al-Nur: 31)
Rasulullah saw bersabda,
“Wahai sekalian manusia! Bertaubatlah kalain kepada Allah, sebab aku bertaubat dalam sehari sebanyak 100 kali.”[38]
Kedua, taubat mustahabbah. Yaitu taubat dari meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh. [39]

Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan pelakunya, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi 3 tingkatan:

Pertama, al-abrar al- muqtashidun. Yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan melakukan jenis taubat yang pertama; taubat yang hukumnya wajib.

Kedua, al-sabiqun al-muqarrabun. Yaitu mereka yang selalu berusaha melakukan kedua jenis taubat di atas; taubat yang wajib dan mustahabbah.
Ketiga, al-zhalimun. Yaitu orang-orang yang tidak melakukan satu pun dari kedua jenis taubat tersebut.

Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengingatkan bahwa baik-tidaknya kehidupan hamba kelak di sisi Tuhannya ditentukan oleh bagaimana ia mengakhiri hidupnya (khatimah). Apa yang ia lakukan di awal-awal hidupnya tidaklah dapat menjadi ukuran ‘kesuksesan’nya di akhirat jika kemudian ia menutup hidupnya dengan lembaran hitam. Sebab sebagaimana amal sangat bergantung pada niat memulainya, ia juga bergantung pada bagaimana seorang hamba mengakhirinya.[40]


2. Maqam Tawakkal

Tawakkal adalah salah satu amal batin yang menghubungkan hamba dengan cinta Allah serta mengantarkannya sampai kepada puncak keikhlasan. Dan maqam ini merupakan maqam yang menjadi kewajiban kalangan awam dan khas secara umum. Tidak sebagaimana yang dipandang oleh sebagian sufi bahwa maqam tawakkal ini terlalu tinggi sehingga terlalu sulit untuk memahami dan mengamalkannya.[41]

Dalam menegaskan konsepnya bahwa maqamat itu merupakan kewajiban semua kalangan tanpa ada perbedaan antara awam dan khas, Ibnu Taimiyah menyatakan ,

“Dan barangsiapa yang mengatakan bahwa ‘maqamat’ ini hanya untuk kalangan awam dan bukan untuk kalangan khas, maka ia telah keliru jika yang ia maksud bahwa kalangan khas telah keluar( dari kewajiban itu). Sebab tidak ada seorang mukmin pun yang keluar (dari kewajiban menjalani ‘maqama’ itu –pen). Yang keluar (dari kewajiban ‘maqama’ itu) hanyalah orang kafir atau munafik.”[42]

Dalam menjelaskan maqam tawakkal ini, -setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang umum dipahami oleh para sufi-, Ibnu Taimiyah membagi tawakkal ini menjadi dua: 

(1) tawakkal dalam urusan dien, dan 
(2) tawakkal dalam urusan dunia. 

Menurutnya, umumnya para sufi hanya mengaitkan maqam tawakkal ini dengan urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal menurut mereka adalah menundukkan diri untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan bahkan menganggapnya lebih besar dari yang kedua. Karena itu, manusia yang mutawakkil (bertawakkal) –menurutnya- adalah:

“(Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan dan keshalehan hati dan agamanya, serta penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting baginya. Oleh sebab itu ia selalu bermunajat kepada Rabb-nya di setiap shalat: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong”(QS. Al-Fatihah:5), seperti dalam firman Allah Ta’ala: “Maka sembahlah Ia dan bertawakkallah pada-Nya.”(QS.Hud:123)…”[43]


Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu Taimiyah dalam membahas maqam ini adalah bahwa ketawakkalan seorang hamba pada Allah samasekali tidak menjadi penghalang (baca: tidak menjadi alasan) untuk tidak bekerja keras dan menempuh sebab-sebab kauniyah dalam mencapai sesuatu. Dalam hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang menganggap bahwa setelah bertawakkal, sang hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya untuk meraih apa yang ia inginkan. 

Kesalahan pandangan ini –menurut Ibnu Taimiyah- disebabkan karena mereka memandang bahwa jika semua perkara telah ditakdirkan, maka dalam proses terjadinya kemudian sangat mustahil adanya campur tangan manusia di sana. Atau dengan kata lain, mereka tidak memahami bahwa ketika Allah menakdirkan sesuatu, maka Allah pun menakdirkannya bersama dengan sebab-sebab pemunculannya. Dan sebab-sebab pemunculan sesuatu yang ditakdirkan itu telah ditetapkan Allah pula; baik melalui jalan sang hamba itu sendiri, atau jalan lainnya. Intinya, segala sesuatu itu ditakdirkan ‘satu paket’ dengan sebab-sebabnya. Dan pada ‘sebab-sebab’ itulah manusia ‘bermain’.[44]

3. Maqam Zuhud

Rasulullah saw pernah bersabda,
“Bila engkau melihat seseorang yang dikaruniai kezuhudan terhadap dunia dan sedikit berbicara, maka mendekatlah padanya, karena sesungguhnya ia telah dianugrahi hikmah.”[45]

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud yang masyru’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari ketaatan pada Allah Ta’ala, dan bahwa apapun yang dapat menguatkan seseorang di jalan ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya bukanlah kezuhudan. Sebaliknya apapun yang tidak berguna untuk negri akhirat, maka meninggalkannya adalah kezuhudan.[46]


Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan, kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya peran serta sang hamba dalam kehidupan.[47] Kezuhudan juga tidak identik dengan kemiskinan. Kezuhudan adalah ketika dunia tidak menguasai hati meski ia ada dalam genggaman. Seorang milyuner pun dapat menjadi manusia zuhud jika ia tidak tertawan oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak dapat disebut zahid jika hasrat pada dunia terus-menerus membakar jiwanya.
Itulah beberapa di antara maqamat yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah, disamping tentu saja beberapa maqam lain yang juga dibahasnya.[48]

Ahwal Menurut Ibnu Taimiyah


Salah satu ahwal yang dibahas oleh Ibnu Taimiyah adalah al-mahabbah (cinta). Di sini terlihat bahwa mungkin penempatan ini tidak sama dengan pandangan sebagian sufi yang menempatkan al-mahabbah sebagai maqam. Ini tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun para sufi dapat dikatakan sepakat atas perbedaan maqam dan hal –bahwa maqam adalah sesuatu yang diusahakan oleh seorang hamba, sedangkan hal adalah anugrah dari Allah dan bersifat sementara atau tidak tetap[49]-, namun dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu termasuk maqamat atau ahwal sangat bergantung pada hasil “ijtihad” masing-masing mereka.

Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah sebuah kecenderungan hati tanpa beban (paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di sisi-Nya. Al-Mahabbah inilah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta disepakati oleh para salaf shaleh, imam-imam hadits dan tasawwuf.[50] Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa al-mahabbah adalah landasan dasar setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta dan benci karena Allah.[51]

Jika penghambaan kepada Allah menyatukan 2 unsur: cinta yang sempurna dan ketundukan yang utuh pada-Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri seperti ini akan menganugrahkan kemerdekaan bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun selain Allah. Sehingga “semakin bertambah kecintaan pada Allah dalam hati, maka semakin bertambah pula penghambaan pada-Nya. Dan semakin bertambah penghambaan manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia dari selain-Nya.”[52]

Di titik inilah kebahagiaan manusia mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia hanya bersandar sepenuh-penuhnya hanya kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada sesama makhluq. Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Maka hati tidak akan baik, beruntung, merasakan kelezatan, bergembira, merasakan kebaikan dan keteguhan, serta meraih ketenangan kecuali dengan menghamba pada Rabbnya, mencintai dan kembali pada-Nya.”[53]

Dalam uraian tentang al-mahabbah, Ibnu Taimiyah juga menyinggung tentang kecintaan seorang murid kepada seorang syekh sufi. Di sini, ia mengingatkan bahwa mencintai seorang syekh sufi yang menyelisihi syariat hanya akan membawa kebinasaan. Berbeda dengan mencintai para wali Allah yang bertaqwa, seperti para Khulafa’ al-Rasyidun, “mencintai mereka adalah termasuk ikatan tali iman paling kuat dan salah satu kebaikan terbesar orang-orang bertaqwa.”[54]

Itulah sebabnya, Ibnu Taimiyah kemudian memperluas konsep “cinta karena Allah” hingga kemudian mencakupi seluruh kaum beriman, dan karena itu ia sangat mengkritik fanatisme kepada salah satu syekh sufi tertentu lalu membenci syekh yang lain.[55] Menurutnya, setiap orang beriman berhak mendapatkan cinta kita sesuai dengan kadar ketaatan dan kedekatannya pada Allah. Semakin dekat dan taat ia pada Allah, maka semakin tinggi pula kadar kecintaan yang wajib kita berikan.


KONSEP WALI MENURUT IBNU TAIMIYAH

Salah satu tema penting lain yang dikaji dalam Tasawuf adalah kewalian. Kata “wali” sendiri secara kebahasaan maknanya berputar pada “kedekatan”. Karena itu bila dikatakan “wali sesuatu”, maka maknanya adalah yang dekat dengan sesuatu tersebut. [56]

Maka dalam kajian Tasawuf, “wali” kemudian bermakna kedekatan hamba pada Allah dan –sebaliknya juga- kedekatan Allah pada sang hamba. Kedekatan secara fisikal (dzaty) tentulah tidak mungkin dalam hal ini, tetapi yang dimaksud adalah kedekatan sang hamba dengan keimanan dan taqwanya, serta kedekatan Allah kepadanya dengan segala rahmat, kasih sayang dan karunia kebaikan-Nya yang khas. Bila kedua hal ini telah bertemu, maka disitulah terjadi apa disebut dengan al-walayah (hubungan perwalian antara Allah dan hamba).[57]

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, konsep wali pun tidak jauh berbeda dengan apa yang umum diyakini oleh para sufi. Ia mengatakan,

“Wali Allah adalah orang yang mendekatkan dan memberikan loyalitasnya kepada-Nya dengan jalan menepati apa yang Ia cintai dan ridhai, serta mendekatkan diri dengan ketaatan-ketaatan yang diperintahkan-Nya.”[58]

Berdasarkan ini, maka ia berkesimpulan bahwa pada dasarnya kata auliya’ Allah (wali-wali Allah) itu mencakup siapa saja yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang memiliki iman dan taqwa, maka ia sesungguhnya juga adalah wali Allah, meskipun kemudian kadar kewalian itu tidak sama pada setiap orang; sangat bergantung pada kepatuhannya pada kehendak Allah.

Perluasan konsep wali oleh Ibnu Taimiyah ini, salah satunya didasarkan pada firman Allah,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS.Yunus: 62-63).

Di dalam ayat ini, Allah seperti menegaskan bahwa untuk menjadi wali Allah yang tidak pernah merasa takut dan cemas hanya memerlukan dua syarat: iman dan taqwa.

Sebagai konsekwensi konsep ini, Ibnu Taimiyah kemudian membagi wali Allah menjadi 2 golongan besar. Ia menyatakan,
“…Dan wali-wali Allah Ta’ala itu terbagi menjadi dua kelompok: ‘Sabiqun muqarrabun’ dan ‘Ashab yamin muqtashidun’. Allah menyebutkan tentang mereka di beberapa tempat dalam al-Qur’an al-Karim. Di dalam surah al-Waqi’ah, Allah mengatakan, (7-14). Lalu di akhir surat yang sama, Ia mengatakan, (88-95).

Maka orang-orang berbakti (al-Abrar) –Ashab al-Yamin- itu adalah mereka yang mendekatkan diri pada Allah dengan menunaikan hal-hal yang fardhu. Mereka melakukan apa yang diwajibkan Allah atas mereka, meninggalkan apa yang diharamkan Allah buat mereka. Mereka tidak membebani diri dengan menunaikan ibadah-ibadah sunnah dan menahan diri dari hal-hal yang mubah.

Adapun para ‘Sabiqun muqarrabun’, mereka adalah yang mendekatkan diri pada Allah dengan ibadah nafilah setelah menunaikan yang wajib. Maka mereka mengerjakan yang wajib dan juga yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan juga yang makruh. Sehingga ketika mereka mendekatkan diri (pada Allah) dengan semua yang mampu mereka lakukan dari apa saja yang dicintai Allah, maka Allah pun mencintai mereka dengan cinta yang sempurna, serta memberikan kenikmatan sempurna yang disebutkan dalam firman-Nya (al-nisa: 69). 

Mereka inilah yang memandang bahwa hal-hal yang mubah pun dapat menjadi ketaatan yang mendekatkan mereka pada Allah Azza wa Jalla. Sehingga semua amal mereka pun menjelma menjadi ibadah dan penghambaan.”[59]

Ibnu Taimiyah Menetapkan Adanya Karamah Wali

Ibnu membahas masalah ini secara panjang lebar. Pada intinya, ia mengakui dan menyepakati adanya karamah yang diberikan Allah kepada para wali-Nya. Dan karamah ini diberikan oleh Allah kepada hamba yang dipilih-Nya; baik itu dari kalangan para nabi, ataupun selain mereka. Dan karamah ini selalu berwujud perkara-perkara yang khariq li al-‘adat atau di luar kebiasaan umum makhluk (baca: luar biasa).

Karena itu, Ibnu Taimiyah kemudian membagi perkara-perkara yang khariq li al-‘adat ini menjadi 2 bagian besar: (1) yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, dan (2) yang terjadi pada selain para rasul.

Adapun yang terjadi dan diberikan kepada para rasul, maka ia dikenal dengan istilah mu’jizat. Ini adalah ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah yang disertai dengan unsur tantangan (al-tahaddi) kepada yang ingkar. Perkara-perkara luar biasa semacam ini jelas tidak memiliki tujuan apa-apa selain untuk kebaikan manusia itu sendiri, sebab ini akan menguatkan kebenaran wahyu petunjuk yang dibawa oleh para nabi dan rasul.[60]


Sedangkan perkara-perkara luar biasa yang terjadi pada selain para nabi dan rasul, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi 3 jenis berdasarkan tinjauan dan pandangan syariat padanya. Dalam hal ini, ia mengatakan,
“Perkara luar biasa itu, jika menghasilkan manfaat keagamaan, maka ia termasuk amal shaleh yang diperintahkan secara agama dan syar’i. Dan jika ia menghasilkan perkara yang mubah, maka ia termasuk salah satu kenikmatan Alla yang bersifat duniawi yang mengharuskan (ia) bersyukur. Namun jika ia mengandung perkara yang terlarang, maka ia diharamkan dan dapat menjadi sebab (datangnya) adzab atau kemurkaan (Allah)…”[61]

Dari sini dapat disimpulkan bahwa ia membagi perkara dan peristiwa luar biasa itu –sebagaimana telah disebutkan- menjadi 3 jenis berdasarkan pandangan agama padanya:
1. Yang terpuji dalam agama (mahmud fi al-din).
2. Yang tercela dalam agama (madzmum fi al-din).
3. Yang mubah, tidak terpuji dan tidak pula tercela. Jika ia mengandung manfaat, maka ia adalah nikmat. Sementara jika tidak mengandung manfaat apa pun, ia tidak lebih dari perkara yang sia-sia.[62]

Ia juga memandang bahwa perkara yang luar biasa itu, sebagaimana dapat terjadi di tangan para shiddiqun yang shaleh, ia juga dapat terjadi melalui tangan manusia lain yang tidak seperti mereka; baik itu dari kalangan manusia biasa, bahkan dari kalangan manusia durjana sekalipun.


Tetapi di luar itu semua, Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa karamah itu sendiri tidak serta merta dapat menyimbolkan keutamaan seseorang. Seseorang yang dikaruniai keteguhan dan konsistensi (istiqamah) dalam agama jauh lebih baik daripada orang yang hanya mendapatkan karamah.[63] Itulah sebabnya, ia menukil sebuah ungkapan bijak Abu ‘Ali al-Jauzjani –salah seorang syekh sufi besar di Khurasan-,
“Jadilah orang yang mencari keistiqamahan, bukan pencari karamah. Sebab jiwamu memang tertarik untuk mencari karamah, tapi Tuhanmu menuntut dan memintamu untuk selalu istiqamah.”[64]

Dalam kajiannya tentang karamah dan wali, Ibnu Taimiyah pada akhirnya menyimpulkan bahwa hubungan kewalian (al-walayah) seorang hamba dengan Allah tidaklah harus menyebabkan ia mendapatkan atau mengalami peristiwa yang luar biasa (khariq li al-‘adat). Bahkan –menurutnya- bisa saja seorang wali samasekali tidak mengalami atau memiliki hal tersebut. Sebagaimana juga sebaliknya, bisa saja Allah membuat seorang pendurhaka dan pendosa mengalami dan memiliki kemampuan melakukan hal-hal yang luar biasa (seperti berjalan di air atau di udara). 

Dan hal-hal luar biasa itu tidak kemudian membuatnya menjadi wali Allah. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah selalu menegaskan bahwa wali Allah yang sesungguhnya hanyalah mereka yang beriman dan memiliki ketakwaan sejati, sebagaimana disebutkan Allah dalam surah Yunus,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS.Yunus: 62-63).

Demikianlah, maka perkara-perkara luar biasa itu tidak dapat dijadikan sebagai parameter kebenaran, sebab mereka yang mengalaminya memiliki kemungkinan untuk salah dan benar. Mereka tidak selamanya berada di atas kebenaran. Karena itu, Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Orang-orang yang mengalami ‘mukhathabah’ dan ‘mukasyafah’[65] terkadang benar dan terkadang pula salah. Persis seperti mereka yang melakukan penelitian dan penyimpulan dalil saat melakukan ijtihad. Oleh sebab itu, menjadi kewajiban mereka semua untuk selalu berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta menimbang semua ‘wajd’, ‘musyahadah’, pendapat dan rasio merkea dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya SAW.”[66]

Dengan demikian, Ibnu Taimiyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa spiritual oleh para sufi, seperti kasyf, wajd, ilham, dan yang semacamnya. Akan tetapi, yang terpenting –menurutnya- apa pun peristiwa itu, ia tidak dapat serta merta dijadikan sebagai ukuran kebenaran. Peristiwa-persitiwa semacam itu –baginya- tidak jauh berbeda dengan proses ijtihad yang dilakukan oleh para fuqaha’ –misalnya- yang memiliki kemungkinan salah maupun benar. Dan untuk menentukan sejauh mana kebenaran dan kesalahannya, maka satu-satunya timbangan yang digunakan adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

PENUTUP

Tentu saja tulisan singkat ini belum sepenuhnya sempurna dan utuh dalam menggambarkan serta menguraikan pandangan-pandangan khas Ibnu Taimiyah tentang Tasawuf. Tetapi dari uraian di atas, setidaknya ada titik-titik penting yang dapat disimpulkan seputar hubungan antara Tasawuf dan sosok Ibnu Taimiyah sendiri. 

 Setidaknya dari sini dapat terungkap bahwa kontroversi Ibnu Taimiyah dalam menyikapi Tasawuf yang berkembang di zamannya tidak lebih dari sebuah wujud kegelisahan dan kekhawatirannya jika jalan sufi itu justru tidak mencapai tujuan tertingginya; yaitu mengantarkan seorang hamba menuju Allah Ta’ala.

Itulah sebabnya, ia selalu berusaha mengikat pandangan-pandangan Tasawufnya dengan wahyu. Maka tidaklah mengherankan jika ia sering merujuk kepada pandangan-pandangan para syekh sufi generasi awal –yang dalam pandangannya masih teguh menjaga jalan sufi ini tetap dalam bingkai wahyu dan tidak dipengaruhi oleh ide-ide asing-.
Demikianlah, dan waLlahu Ta’ala a’la wa a’lam.
(Sumber :www.abulmiqdad.multiply.com)

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Aqidah wa al-Syari’ah fi Al-Islam: Goldziher, Diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh: DR. Muhammad Yusuf Musa, dkk. Dar al-Kutub al-Haditsah, Mesir, Cetakan kedua. Tahun 1959.
2. Al-Bidayah wa al-Nihayah: Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Beirut, Cetakan pertama, Tahun 1966.
3. Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyah: Ibrahim Zaki Khurshid, Mathba‘ah al-Sya‘ab, Tahun 1969.
4. Al-Durar al-Kaminah fi A’yan al-Mi’ah al-Tsaminah: Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Dar al-Ma‘arif, Cetakan pertama, Tahun 1947.
5. Falsafat dan Mistisme dalam Islam: Harun Nasution, Pustaka Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan kesebelas, Agustus 2004.
6. Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan: Ibnu Taimiyah, Maktabah Shubaih, Cetakan tahun 1378 H/1958 M.
7. Ibnu Taimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashruhu: Muhammad Abu Zahrah, Dar al-Fikr al-‘Araby, Tahun 1946.
8. Al-Islam wa al-Tashawwuf: Syaikh Mushtafa ‘Abd al-Raziq, Editor: Zaky Khurshid dan ‘Abd al-Halim Yunus, Mathba’ah al-Sya’b, Kairo, t.t.
9. Jami’ al-Rasa’il: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Mathba’ah al-Madany, Cetakan tahun 1389 H/1969 M.
10. Kitab al-Iman: Ibnu Taimiyah, Koreksi: Muhammad Khalil Harras, Dar al-Thiba’ah al-Muhammadiyah, Kairo, t.t.
11. Al-Luma’: Abu Nashr al-Thusy, Dar al-Kutub al-Haditsah, Kairo, Tahun 1971.
12. Majmu’ al-Fatawa: Ibnu Taimiyah, Dikumpulkan oleh Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim, Mathabi’ al-Riyadh, Cetakan pertama, t.t.
13. Majmu’ah al-Rasa’il al-Kubra: Ibnu Taimiyah, Mathba’ah Ali Shubaih, Tahun 1385 H/ 1966 M.
14. Majmu’ah al-Rasa’il wa al-Masa’il: Ibnu Taimiyah, Darul Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, t.t.
15. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah al-Tajdidy al-Salafy wa Da’watuhu al-Ishlahiyah: DR. Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, Dar al-Iman, Alexandria, Cetakan tahun 2004.
16. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim, Maktabah al-Riyadh al-Haditsah. t.t.
17. Al-Mu’jam al-Falsafy: DR. ‘Abd al-Mun’im al-Hifny, al-Dar al-Syarqiyah, Kairo, Cetakan pertama, Tahun 1410 H/1990 M.
18. Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’: Ibnu Taimiyah, Maktabah al-Syarq al-Jadid, Baghdad, t.t.
19. Mukhtar al-Shihah: Abu Bakr al-Razy, Al-Mathba’ah al-Amiriyyah, Kairo, t.t.
20. Nasy’at al-Fikr al-Falsafy: DR. Ali Samy al-Nasysyar, Dar al-Ma’arif, Cetakan kelima, Tahun 1971.
21. Al-Qamus al-Muhith: Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abady, Mua’ssasah al-Risalah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 1987.
22. Al-Risalah al-Qusyairiyah: Abu al-Qasim al-Qusyairy, Tahqiq: DR. ‘Abdul Halim Mahmud, Dar al-Ta’lif, Cetakan pertama, Tahun 1385 H/ 1966 M.
23. Al-Shufiyah wa al-Fuqara’: Ibnu Taimiyah, Tahqiq: DR. Muhammad Jamil Ghazi, Mathba’ah al-Madany, Mesir, t.t.
24. Al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra‘iy wa al-Ra ‘iyah: Ibnu Taimiyah, Al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, Mesir, t.t.
25. Sunan Ibnu Majah: Tahqiq: Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi, Mathba’ah al-Halaby, Mesir, t.t.
26. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab: Ibn al-‘Imad al-Hanbaly, Al-Maktabah al-Tijariyah, Beirut, t.t.
27. Syu’ab al-Iman: Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Baihaqy, Tahqiq: Muhammad al-Sayyid Zaghlul, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Tahun 1410 H/1990 M.
28. Al-Ta’arruf li Madzahib Ahl Al-Tashawwuf: Syaikh Abu Bakr al-Kalabadzy, Dar al-Ittihad al-‘Araby, Cetakan pertama, Tahun 1389 H/1969 M.
29. Tadzkirah al-Huffazh: Al-Dzahaby, Cetakan Haidar Abad, t.t.
30. Tafsir al-Razy (al-Tafsir al-Kabir): Fakhr al-Din al-Razy, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby, Beirut, t.t.
31. Al-Tashawwuf: Ibnu Taimiyah (Lih. Majmu’ al-Fatawa).
32. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah: DR. ‘Abd al-Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, Dar al-Wafa’, Kairo, Cetakan pertama. 1420 H/ 2000 M.
33. Thabaqat al-Shufiyyah: Abu Abd al-Rahman al-Sulamy, Tahqiq: DR. Ahmad al-Syarbashy, Mathba’ah al-Sya’b, t.t.
34. Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah: Ibnu Taimiyah, Al-Mathba’ah al-Salafiyyah, Kairo, Tahun 1386 H.
35. Al-‘Ubudiyyah: Ibnu Taimiyah, Dar al-Ta’lif, Cetakan ketiga, Tahun 1366 H/1947 M.
36. Al-‘Uqud al-Durriyah fi Manaqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah: Ibnu ‘Abd al-Hady, Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqy, Kairo, Tahun 1357 H/1937 M.
37. Al-Wabil al-Shayyib min al-Kalim al-Thayyib: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Tahqiq: Muhammad Basyir ‘Uyun, Maktabah Dar al-Bayan, Beirut, Cetakan kelima, 1995.

[1] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 13-15.
[2] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 1/104, al-Durar al-Kaminah, 1/144.
[3] Lih. Al-Bidayah wa al-Nihayah, 13/308, Tadzkirah al-Huffazh, 4/288.
[4] Lih. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, 2/288, al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, 189-190.
[5] Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 20. Kisah juga menjadi jawaban terhadap pandangan sebagian pemikir Islam –terutama saat membahas puisi-puisi al-Hallaj dan yang semacamnya- yang mengatakan bahwa para ulama yang mengkritisi mereka seperti Ibnu Taimiyah samasekali tidak memahami bahasa-bahasa puisi dan sastra. Tentu sangat sulit diterima akal sehat, jika Ibnu Taimiyah yang dengan cepat dapat menggubah syair ternyata tidak dapat memahami syair-syair al-Hallaj. Perlu juga diketahui, bahwa penguasaan terhadap syair sebagai bagian dari keahlian bahasa adalah hal yang umum dikuasai oleh para ulama Islam terdahulu. Ini tidak lain, karena mereka meyakini bahwa memahami al-Qur’an dan al-Sunnah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan penguasaan bahasa yang mumpuni. Wallahu a’lam.
[6] Lih. Syadzarat al-Dzahab, 6/71, al-Bidayah wa al-Nihayah, 14/132-133.
[7] Lih. Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah, hal. 235.
[8] Ibid., hal. 21
[9] Al-Wabil al-Shayyib, hal. 57.
[10] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 22-23.
[11] Ibid., hal. 23.
[12] Lih. Manhaj Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, hal. 23. Ketika sultan meminta Ibnu Taimiyah untuk memberi fatwa untuk menghabisi kelompok Ibnu Makhluf al-Maliky, Ibnu Taimiyah malah mengatakan, “Apa jadinya kerajaan Anda jika didukung oleh para ulama itu?”
[13] Lih. al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, hal. 25, al-Luma’, hal. 26, Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 200.
[14] Majmu’ Fatawa, 11/60 tema al-Tashawwuf, al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 16.
[15] Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36-37.
[16] Lih. al-Tashawwuf, hal. 29. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 36. Lihat juga Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hal. 48.
[17] Ibid., hal. 69.
[18] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/368.
[19] Lih. al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58.
[20] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/6-7. Salah kisah yang dijadikan bukti tentang hal ini oleh Ibnu Taimiyah adalah kisah kematian Abu Jubair al-A’ma. Dikisahkan oleh Shalih al-Murry, “Suatu ketika, aku membacakan ayat al-Qur’an kepada seorang ahli ibadah (maksudnya: Abu Jubair al-A’ma –pen): “Pada hari wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, ‘Duhai andaikata dulu kami menaati Allah dan menaati RasulNya.” (QS. al-Ahzab: 66). Ia pun pingsan. Tidak lama kemudian ia sadar kembali, dan berkata, “Tambahlah bacaanmu, wahai Shalih!” Maka aku pun membaca: “Setiap kali mereka ingin keluar darinya (neraka), mereka pun dikembalikan ke dalamnya.”(QS. al-Sajadah: 20). Ia pun tersungkur dan meninggal dunia.” Lih. Ithaf al-Sadat al-Muttaqin, 9/255.
[21] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19.
[22] Al-Shufiyyah wa al-Fuqara’, hal. 26.
[23] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/19-20.
[24] Lih. Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58.
[25] Al-Siyasah al-Syar’iyyah, hal. 179.
[26] Seperti yang disebutkan oleh Goldziher dalam al-‘Aqidah wa al-Syari’ah dan Louis Massignon dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah terma Tasawuf, 5/273.
[27] Lih. Syarh al’Aqidah al-Ishfahaniyah, hal. 128. Di sini secara khusus ia memuji pemuka-pemuka sufi seperti Al-Fudhail bin ‘Iyadh (w.187 H) dan Ma’ruf al-Karkhy.
[28] al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 38.
[29] Majmu’ al-Rasa’il al-Kubra, 2/324. Lih. juga pengakuannya yang lain dalam Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/418.
[30] Lih. Pengantar Syekh Husnain Makhluf terhadap Risalah al-Mustarsyidin, hal. 10.
[31] Lih. Al-‘Uqud al-Durriyah, hal. 26, Majmu’ al-Fatawa, 11/75, dan Nasy’at al-Fikr al-Falsafy fi al-Islam, 3/15.
[32] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/15.
[33] Op.cit., 10/16. Lih. juga al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 16. Ibnu Taimiyah juga mengkritik dampak pembagian ahwal dan maqamat menjadi “untuk awam dan khas” yang menyebabkan munculnya sebagian kalangan sufi yang menjelaskan ahwal dan maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit dan membingungkan. Bahkan terkesan kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja untuk menunjukkan ketinggian maqam sang sufi.
[34] Lih. Al-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 77.
[35] QS. Al-Baqarah: 222.
[36] Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 64.
[37] Lih. Jami’ al-Rasa’il, hal.227.
[38] HR. Muslim no. 2702.
[39] Lih. Jami’ al-Rasa’il, hal. 227.
[40] Lih. Al-Suluk, hal.219.
[41] Lih. Al-Tashawwuf baina al-Ghazaly wa Ibn Taimiyah, hal. 221.
[42] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/17.
[43] Majmu’ al-Fatawa, 10/18.
[44] Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/21-22.
[45] HR. Ibnu Majah, no. 4101, dan al-Baihaqy dalam Syu’ab al-Iman, no. 10529.
[46] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Tashawwuf, 11/28-29.
[47] Lih. Majmu’ al-Fatawa, tema al-Suluk, 10/617. Dalam kesempatan yang sama, Ibnu Taimiyah juga mengkritik al-Ghazaly yang menjadikan zuhud sebagai salah satu syarat sah keislaman seseorang. Menurutnya, ini terlalu berlebihan.
[48] Diantaranya misalnya maqam ridha, ‘ubudiyyah, khauf dan raja’. Lih. Majmu’ al-Fatawa 10/616, al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah hal.58, al-‘Ubudiyyah hal. 43, dan Kitab al-Iman hal. 19.
[49] Lih. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, hal. 54. Lihat catatan kaki sebelumnya (no. 48) dimana Ibnu Taimiyah menganggap khauf sebagai salah satu maqamat, sementara dalam literatur Tasawuf lain khauf dikategorikan sebagai salah satu ahwal.
[50] Lih. Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, hal. 73.
[51] Ibid., hal.45.
[52] Majmu’ al-Fatawa, (10/193).
[53] Ibid., (10/194)
[54] Majmu’ al-Fatawa, (18/315).
[55] Ibid., (18/320).
[56] Lih. Mukhtar al-Shihah, hal. 736-737, al-Qamus al-Muhith, 4/401, Tafsir al-Razy, 7/17, al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 49-50.
[57] Lih. Al-Islam wa al-Tashawwuf, hal. 50.
[58] Majmu’ah al-Rasa’il wa al-Masa’il, (1/50).
[59] Al-Tashawwuf, hal. 76.
[60] Lih. Al-Rasa’il wa al-Masa’il, (5/154).
[61] Al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’, hal. 39.
[62] Lih. Al-Rasa’il wa al-Masa’il, 5/158, Majmu’ al-Fatawa, 11/320, al-Mu’jizah wa Karamat al-Auliya’, hal. 40.
[63] Lih. Ibn Taimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Ara’uhu wa Fiqhuhu, hal. 318.
[64] Thabaqat al-Shufiyyah, hal. 58.
[65] Mukhathabah dan mukasyafah adalah istilah yang biasa digunakan kaum sufi untuk menunjukkan jalan dan cara seorang sufi mendapatkan ilmu, baik itu melalui pendengaran yang ghaib (mukhathabah) atau mukasyafah (penyingkapan tabir yang ghaib melalui ilham). Lih. Al-Mu’jam al-Falsafy, hal. 278.
[66] Al-Rasa’il wa al-Masa’il, (1/53).

Fikih Puasa yang Wajib Diketahui

Makna puasa Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al i...