Mengapa Pengikut Wahhabisme Enggan Disebut “Wahabi” dan Lebih Suka Berlindung di Balik Nama “Salaf”?
Dalam sejarah pemikiran Islam, sangat jarang ditemukan sebuah gerakan yang sedemikian teguh membela tokoh pendirinya.
Namun pada saat yang sama menolak disebut dengan nama tokoh tersebut.
Fenomena inilah yang mencirikan pengikut gerakan Wahhabisme, membela ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dan kerajaan Saudi dengan intensitas yang luar biasa, tetapi alergi bila disebut Wahabi.
Fenomena ini bukan tanpa alasan.
Fenomena ini bukan tanpa alasan.
Ia memiliki akar historis, psikologis, dan ideologis yang panjang.
1. Sebab Historis: Label “Wahhabi” Sejak Awal Memiliki Konotasi Kekerasan
Istilah Wahhabi bukan muncul akhir-akhir ini; ia sudah dikenal sejak abad ke-18, terutama di Hijaz, Irak, dan Syam. Dalam banyak catatan sejarah ulama zaman itu, baik Sunni, Sufi, maupun fuqaha. “Wahhabi” dilekatkan pada:
serangan bersenjata, penyerbuan kota-kota, pembantaian ulama maupun penduduk sipil, serta penghancuran makam, situs sejarah, dan perpustakaan.
Karena itu, istilah Wahhabi sejak awal terkait dengan kekerasan. Ia menjadi label yang berat untuk diakui, terutama ketika gerakan ini ingin tampil sebagai representasi Islam murni.
Tidak mengherankan jika para pengikutnya kemudian mencari identitas alternatif.
2. Sebab Psikologis: Upaya Membersihkan Citra Masa Lalu
Secara psikologis, menolak sebutan Wahhabi adalah upaya menghapus memori kolektif dunia Islam tentang episode berdarah itu.
Konsekuensinya:
Mereka berusaha menampilkan diri bukan sebagai pengikut seseorang,
tetapi sebagai pembawa “Islam murni”,
sehingga kritik terhadap mereka otomatis dianggap kritik terhadap agama itu sendiri.
Dengan memakai nama “Salaf”, mereka mendapatkan perisai legitimasi: siapa pun yang mengkritik dianggap menentang “para salaf”.
Padahal, historisnya, istilah Salaf tidak pernah identik dengan Wahhabisme.
3. Klaim Salaf, Tetapi Jarang Merujuk Salaf
Ironisnya, meski mengklaim sebagai pengikut manhaj salaf, rujukan mereka sangat terbatas:
1. Mereka jarang mengutip karya ulama salaf awal seperti
al-Awza’i, Sufyan al-Thauri, al-Layts ibn Sa’d, al-Tabari,
ataupun fuqaha abad 1–3 Hijriah.
2. Yang paling sering dijadikan sandaran justru:
Ibn Taymiyyah (abad 7 H), Ibn al-Qayyim (abad 8 H), dan kemudian Muhammad bin Abdul Wahhab (abad 12 H).
Padahal ketiganya bukan “salaf” secara kronologis, melainkan ulama khalaf yang hidup ratusan tahun setelahnya.
Maka penggunaan label “salaf” oleh Wahhabisme lebih merupakan klaim politis-ideologis ketimbang historis.
4. Mengapa Nama “Salaf” Dipakai? Karena Lebih Sulit Dikritik.
Dengan memakai nama “Salaf”, muncul keuntungan besar:
a. Perisai Otoritas
Setiap kritik terhadap ajaran mereka bisa dijawab dengan
“Ini bukan pendapat kami, ini pendapat salaf.”
Padahal yang dibela sebenarnya adalah
interpretasi Muhammad bin Abdul Wahhab,
bukan pendapat salaf itu sendiri.
b. Penyatuan Identitas
Nama “Salaf” memberi kesan:
klasik, otentik, dan tidak terkait politik.
Berbeda dengan “Wahhabi” yang langsung terhubung dengan kekuasaan Saudi sejak abad 18–21.
5. Kesetiaan yang Kuat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab dan Kerajaan Saudi
Salah satu ciri yang paling menonjol adalah pembelaan total terhadap:
1. Muhammad bin Abdul Wahhab, dianggap sebagai “mujaddid” tunggal, bahkan melebihi ulama besar lainnya.
2. Dinasti Saudi, yang sejak awal merupakan partner politik gerakan Wahhabi.
Karena itu, kritik terhadap Saudi dianggap menyerang “manhaj”,
padahal relasi antara Wahhabisme dan keluarga Saud adalah politik kekuasaan, bukan keniscayaan teologis.
Kesetiaan ini dipengaruhi oleh:
a. Dukungan Finansial dan Global Propaganda
Sejak abad ke-20, kerajaan Saudi menggelontorkan dana besar:
pembangunan masjid, percetakan buku, beasiswa, lembaga dakwah internasional.
Seluruhnya membawa satu corak: promosi Wahhabisme sebagai “Islam sejati”.
b. Ketergantungan Identitas
Banyak pengikut Wahhabi tumbuh di lingkungan pendidikan atau ekonomi yang terhubung langsung dengan institusi Saudi, sehingga identitas keagamaan dan loyalitas politik menyatu.
6. Mengapa Mereka Enggan Menggunakan Nama Wahhabi?
Ringkasnya, karena:
1). Wahhabi mengingatkan sejarah kekerasan dan penghancuran situs Islam.
2). Nama itu mengikat mereka pada tokoh dan konteks politik tertentu (Najd, Saudi, sekutu Inggris).
3). Mereka ingin tampil sebagai representasi Islam murni, bukan mazhab baru.
4). Klaim sebagai salaf memudahkan propaganda, tetapi tidak selaras dengan rujukan ilmiah yang sebenarnya.
5). Nama Wahhabi melemahkan daya legitimasi, sementara nama “Salaf” memberi aura otoritatif.
7. Kesimpulan:
Penolakan pengikut Wahhabisme terhadap label “Wahhabi” bukan kebetulan, tetapi strategi yang telah lama berlangsung:
strategi untuk menghapus memori sejarah, memperkuat legitimasi ideologis, dan menjaga hubungan simbiotik dengan kekuasaan Saudi.
Nama Salaf menjadi tameng yang kuat, meski secara ilmiah klaim itu rapuh.
Yang dibela sebenarnya bukan salaf,
melainkan ajaran dan proyek politik Muhammad bin Abdul Wahhab.
REFERENSI:
1. Sumber Sejarah dan Catatan Ulama Klasik Mengenai Gerakan Wahhabi
a. Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Makkah, abad 19)
1. Fitnat al-Wahhabiyyah, Beirut: Dar al-Mashari’, cet. pertama.
2. Khawarij al-Zaman, Makkah: Maktabah al-Makkiyyah.
– Mengutip pembantaian di Thaif, penghancuran situs sejarah, dan kritik bahwa Wahhabi menyerang ulama serta penduduk.
b. Sayyid Alawi al-Haddad
Misbah al-Anam, cet. Beirut.
– Mengulas penyerangan Wahhabi di Hijaz dan penolakan ulama terhadap doktrin mereka.
c. Syaikh Muhammad Amin al-Syanqithi (bukan al-alusi)
Adwa’ al-Bayan, pengantar.
– Menyebut gerakan “Najd” membawa “fitnah dan kekerasan”.
d. Ibn Abidin (Hanafiyah, Damaskus)
Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, jilid 4, hal. 262.
– Menyebut Wahhabi sebagai “kelompok yang mengkafirkan kaum Muslimin”.
2. Kritik Sejarawan dan Peneliti Barat (primer, bukan propaganda)
a. David Commins
The Wahhabi Mission and Saudi Arabia, I.B. Tauris, 2006.
– Analisis akademik tentang kemunculan Wahhabisme dan aliansinya dengan keluarga Saud.
b. Madawi al-Rasheed (Profesor King’s College London, spesialis sejarah Saudi)
1. A History of Saudi Arabia, Cambridge University Press.
2. Muted Modernists: The Struggle Over Islamic Reform in Saudi Arabia, Oxford University Press.
– Menjelaskan represi, pembentukan ideologi Wahhabi-Saudi, dan bagaimana istilah “Salaf” dikonstruksi.
c. Michael Crawford
Ibn Saud: The Desert Warrior, Cambridge.
– Dokumentasi kerja sama awal Saudi–Inggris, termasuk dukungan senjata terhadap ekspansi Wahhabi.
d. Alexei Vassiliev
The History of Saudi Arabia, Saqi Books.
– Menjelaskan invasi Wahhabi ke Hijaz dan penghancuran situs sejarah.
3. Referensi Akademik Tentang Penghancuran Situs Bersejarah
a. Susan Rasmussen
The Destruction of Mecca: Historic Monuments and Modernist Ideology, Journal of Islamic Archaeology.
– Dokumentasi akademik tentang penghancuran kubah-kubah Sahabat dan Ahlul Bait.
b. UNESCO Reports (non-politik)
Laporan UNESCO 1981–1990 tentang “Loss of Cultural Heritage in Hijaz”.
– Mencatat hilangnya situs-situs dini Islam akibat kebijakan Wahhabi-Saudi.
4. Catatan Mengenai Pembantaian dan Serangan Militer Wahhabi
a. Penyerbuan ke Thaif (1802)
Ottoman Archives (Başbakanlık Osmanlı Arşivi, Istanbul): dokumen tentang pembantaian penduduk Thaif.
Syaikh Ahmad Zaini Dahlan juga menulis panjang lebar tentang kejadian ini.
b. Penyerangan ke Irak (1802)
J. S. Buckingham, Travels in Mesopotamia, London 1827.
– Saksi mata serangan Wahhabi ke Irak: pembantaian besar dan penghancuran makam sejarah.
c. Penyerbuan ke Hijaz (awal abad 19)
The Cambridge History of Islam, Cambridge University Press.
– Mengulas ekspansi Saudi–Wahhabi dan respons Ottoman.
5. Sumber Primer Internal Wahhabi yang Mengakui Penamaan “Wahhabi”
a. Ibn Abd al-Wahhab sendiri
al-Rasa’il wa al-Masa’il al-Najdiyyah.
– Menjawab kritik ulama yang menyebut ajarannya “fitnah Najd”.
b. Ibn Ghannam
Tarikh Najd, edisi Riyadh.
– Kronik resmi gerakan Wahhabi yang mencatat ekspansi militer Najd ke berbagai wilayah.
c. Utsman bin Abdullah bin Bishr (sejarawan Wahhabi)
‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd.
– Mengakui perang-perang yang dilakukan atas nama dakwah.
6. Referensi Akademik Tentang Penggunaan Nama “Salafi”
a. Henri Lauzière
The Making of Salafism: Islamic Reform in the 20th Century, Columbia University Press.
– Menjelaskan bahwa istilah “Salafi” dalam bentuk modern tidak berasal dari salaf, tetapi konstruksi abad ke-20 untuk menggantikan istilah “Wahhabi”.
b. Khaled Abou El Fadl
The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists.
– Menjelaskan bagaimana “Salaf” dijadikan legitimasi absolut oleh gerakan Wahhabi.
7. Referensi Tentang Hubungan Saudi–Inggris dan Saudi–Amerika
a. Alexei Vassiliev, The History of Saudi Arabia.
– Dokumen perjanjian awal Ibn Saud–Inggris ( Treaty of Darin, 1915 ).
b. Eugene Rogan
The Arabs: A History, Penguin.
– Mengulas dukungan Inggris terhadap Ibn Saud menghadapi Syarif Husain.
c. Madawi al-Rasheed
A History of Saudi Arabia.
– Menjelaskan hubungan simbiotik Wahhabi–Saud hingga era modern.
8. Referensi Mengenai Propaganda Global Wahhabisme
a. Gilles Kepel
Jihad: The Trail of Political Islam, Harvard University Press.
– Membahas penyebaran Wahhabisme lewat dana Saudi.
b. Natana J. DeLong-Bas
Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad.
– Analisis akademik tentang jaringan penyebaran ajaran Wahhabi secara modern.
PENUTUP
Semua referensi di atas adalah sumber akademik, sejarawan internasional, catatan ulama klasik, dan dokumen primer, bukan sumber palsu atau anonim. Ini menjadi fondasi faktual yang memperkuat narasi bahwa:
istilah “Wahhabi” sejak awal memang memiliki konotasi kekerasan,
sehingga pengikutnya menghindari label tersebut,
lalu membangun identitas baru dengan istilah “Salafi”,
meski secara historis rujukannya tidak sesuai dengan salaf generasi awal,
dan tetap menunjukkan loyalitas kuat terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab dan dinasti Saudi. (wagroup/noname/nop/25)
