*)
Sebuah opini sebagai ungkapan keprihatinan
atas
pengalaman pahit skema KSO sebagai sepenggal sejarah TELKOM yang
mengenaskan
(Kasus Divre-VII KTI)
(Kasus Divre-VII KTI)
Isu pun
berkembang bahwa Mitra KSO tak lebih dari “kontraktor kaki-lima”,
karena kehadirannya di Indonesia ternyata hanya cukup berbekal “modal
dengkul” dan “tebal muka.” Jadi boro-boro terjadi alih
teknologi atau keahlian manajemen profesional. Untuk membangun pun
sepertinya setengah hati. Lihat saja sisa-sisa yang terjadi di lima
unit KSO, yang jika tak dilakukan recovery nyaris saja menjadi
rongsokan besi tua.
Setelah melewati
proses negosiasi yang cukup alot sekitar 16 bulan selama (1 Maret
2005 hingga 2 Agustus 2006), TELKOM dan PT BSI (Bukaka SingTel
International) akhirnya sepakat untuk mengembalikan kendali manajemen
dan operasional Divre VII kepada Telkom.
Kesepakatan
ini dituangkan dalam nota Perubahan dan Pernyataan Kembali Perjanjian
Kerja Sama Operasi (KSO) VII (Amended
and Restated KSO Agreement)
yang ditandatangani Direktur Utama Telkom Arwin Rasyid dan Presiden
Direktur BSI Ng Jin Hiok di Jakarta (19/10).
Dengan Reversal KSO
ini maka Perjanjian KSO Nomor PKS. 225/HK.910/UTA-00/1995 tanggal 20
Oktober 1995 yang semula ditetapkan berlaku hingga 31 Desember 2010,
tidak lagi menjadi rujukan dalam pengelolan Divre VII, sebab untuk
selanjutnya kegiatan operasi, pemeliharaan dan pembangunan KSO VII
akan dilaksanakan oleh Telkom.
Wajar
jika Dirut Telkom Arwin Rasyid menyatakan rasa syukurnya atas
tercapainya penyelesaian KSO VII melalui skema KSO Reversal. “Ini
merupakan episode terakhir melalui penyelesaian yang bersifat win-win
bagi Telkom dan BSI,” ujarnya. Dikatakan, setelah penyelesaian
masalah KSO VII, maka tuntas sudah seluruh permasalahan KSO di
seluruh Divre.
Sebelumnya,
Telkom telah menyelesaikan permasalahan jangka panjang dengan KSO VI
Kalimantan pada Maret 2001, KSO I Sumatera pada Pebruari 2002, KSO
III Jawa Barat pada Agustus 2003, dan KSO IV Jawa Tengah dan DI
Yogyakarta pada Januari 2004.
Hindari Resiko
Arwin
Rasyid mengakui bahwa penyelesaian KSO VII didasari oleh pertimbangan
berbagai resiko yang harus dihadapi Telkom bila langkah itu tidak
diambil, yaitu risiko
operasional dan pelayanan, resiko finansial, dan resiko reputasi.
Resiko operasional dan pelayanan muncul karena BSI sudah menyatakan
tidak akan melaksanakan pembangunan sehingga hal ini akan
mengakibatkan pelayanan Telkom turun dan berpotensi membuat posisi
daya saing Telkom di masa datang menjadi lemah. Melalui transaksi ini
maka Telkom dapat secara optimal dan leluasa melakukan investasi dan
pelayanan.
Tentu
saja Arwin Rasyid bergitu berharap agar penyelesaian KSO VII mampu
membuka jalan bagi Telkom guna mempercepat, memperbaiki, dan
mengeksplorasi layanan dan bisnis telekomunikasi di wilayah Indonesia
Timur di tengah iklim persaingan antar operator telekomunikasi yang
semakin ketat. Diakuinya skema KSO lama telah menimbulkan dilema baik
bagi Telkom maupun BSI yang bila terus dilanjutkan dikhawatirkan akan
menurunkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Menurutnya, dengan
perikatan KSO yang berjalan selama ini, Telkom tidak memiliki kontrol
atas operasi dan pembangunan telekomunikasi di wilayah Indonesia
Timur karena hak tersebut beralih ke tangan BSI. Di sisi lain, meski
penetrasi telepon di Indonesia Timur relatif masih rendah dan
karenanya masih menyimpan potensi pasar yang signifikan, periode KSO
yang berakhir 31
Desember 2010 dipandang terlalu pendek bagi BSI untuk mengoptimalkan
semua potensi pasar melalui pembangunan jaringan baru.
Akibatnya BSI lebih fokus pada pencapaian Distributable Telkom Revenue (DTR) dari hasil pembangunan yang dilakukannya. Kondisi ini berpotensi negatif terhadap upaya pemeliharaan jaringan (network maintenance) dan pada gilirannya bisa menurunkan kualitas pelayanan.
Akibatnya BSI lebih fokus pada pencapaian Distributable Telkom Revenue (DTR) dari hasil pembangunan yang dilakukannya. Kondisi ini berpotensi negatif terhadap upaya pemeliharaan jaringan (network maintenance) dan pada gilirannya bisa menurunkan kualitas pelayanan.
Skema
Transaksi
Melalui
reversal
agreement,
BSI akan melepaskan haknya untuk menerima 65% dari DTR Unit KSO Divre
VII yang berasal dari KSO System dan akan mengalihkan kepada Telkom
haknya atas penghasilan BSI dari perjanjian-perjanjian yang dinamakan
KSO Plus Proyek, yang berlaku efektif mulai Oktober 2006 sampai
tanggal-tanggal setiap perjanjian berakhir. Hal itu dilakukan sebagai
imbalan atas persetujuan Telkom untuk memberikan kepada BSI suatu
jumlah pendapatan tetap yang disetujui (Fixed
Investor Revenue (FIR)”),
yang berlaku efektif sejak Oktober 2006 sampai dengan Desember 2010.
Pembayaran
atas FIR sebesar Rp. 44,2 Milyar per bulan akan bersumber pada
pendapatan Divre VII, namun apabila pendapatan tersebut tidak
mencukupi untuk pembayaran FIR maka Telkom harus menanggulanginya.
Esensi
Perubahan dan Pernyataan Kembali Perjanjian KSO VII, menurut Arwin,
hampir sama dengan pola penyelesaian KSO IV, namun ditambah dengan
Pernyataan dan Jaminan dari Mitra Usaha (Representations
and Warranties of the Investor)
dan Perjanjian yang Berkaitan dengan Kontrak KSO Plus. Kedua klausul
tersebut, lanjutnya, ditambahkan untuk melindungi Telkom dari dampak
negatif adanya KSO Plus di masa mendatang hingga berakhirnya
perjanjian Perubahan dan Pernyataan Kembali Perjanjian KSO.
Mengenai mekanisme
pembayaran di masa transisi, Arwin Rasyid mengatakan bahwa pada
dasarnya untuk pembayaran di bulan ketika Amandemen ditandatangani,
Telkom dan BSI masih menerima DKSOR (Distributable KSO Revenue)
sesuai perjanjian KSO lama. BSI mulai berhak atas FIR mulai berlaku
bulan berikutnya, dan sejak itu mereka tidak lagi berhak atas DKSOR.
Demikian pula, di bulan selanjutnya, Telkom juga tidak lagi menerima
Minimum Telkom Revenue (MTR) atau DKSOR, melainkan dalam bentuk
“Balance of KSO Revenues”.
“Mudah-mudahan
ini juga akan menjadi kabar yang sangat menggembirakan bagi jajaran
Telkom Divre VII untuk terus menerus meningkatkan kualitas pelayanan
pelanggan ditengah-tengah lingkungan industri yang semakin
kompetitif,” tandas AR
Latar
terjadi KSO
Restrukturisasi dan privatisasi industri telekomunikasi nasional mulai bergulir sejak munculnya Undang-undang Telekomunikasi No.3 Tahun 1989, tentang Telekomunikasi. Melalui undang-undang tersebut, bisnis dalam industri telekomunikasi yang sebelumnya didominasi TELKOM mulai memudar. Sejak itu pula, baik bagi perorangan maupun institusi diberikan kebebasan untuk turut berbisnis dan berperan di bisnis jasa telekomunikasi (infokom).
Perhatian Pemerintah dan masyarakat mulai tertuju pada peluang di sektor bisnis telekomunikasi ini. Barangkali karena prospeknya yang sangat menarik dengan pangsa pasar yang masih terkuak lebar. Muncul lah pelbagai gagasan untuk merestrukturisasi dan memprivatisasi industri telekomunikasi.
Dalam
perkembangannya, memang tak terlepas dari upaya Pemerintah melalui
kebijakan-kebijakan yang memberikan porsi perhatian pada peran sektor
swasta. Tujuannya, di satu sisi agar kue bisnis ini terbagi dengan
swasta, serta di sisi lain ada keinginan menghabisi monopolisme
menuju pada sistem kompetisi. Lahir lah kebijakan pemerintah yang
sangat menonjol dan cukup fenomenal, yakni melalui kebijakan
Kerjasama Operasi (KSO). Hebatnya, TELKOM
mendapat giliran pertama sebagai ajang uji coba. Nah, itu dia!
Inisiatif
pemerintah
Sejak Pemerintah
merencanakan untuk meluncurkan kebijakan Kerjasama Operasi pada salah
satu BUMN terbesar seperti TELKOM, kaum pebisnis di dunia telematika
menanggapinya sebagai sebuah gebrakan baru Pemerintah. Untuk
merealisasikan gagasan ini, pada 1 April 1994, dibentuk Tim Interdep
dengan Sekjen DPPT (pada saat itu) sebagai Ketua. Sejak saat itu
pula, ratusan perusahaan dalam dan luar negeri, mulai membuka mata,
tertarik dan berbondong mendaftar untuk menjadi bagian mitra
kerjanya. Sedangkan posisi TELKOM hanya memberikan dukungan dan
bantuan dengan membentuk perbantuan pada Tim Negosiasi KSO Pelita VI
DPPT pada 27 April 1994.
Setelah dilakukan
tender dan evaluasi, kita maklumi lima perusahaan konsorsium yang
merupakan gabungan ivestor dalam dan luar negeri keluar sebagai
pemenang.
Implementasi
kerjasama digelar pada 1 Januari 1996. Awalnya, memang berjalan
mulus, bahkan pemerintah sebagai regulator begitu yakin kerjasama ini
akan berhasil dengan gemilang. Tak hanya itu. Kerjasama seperti ini,
katanya, merupakan gebrakan baru di negara dunia ketiga.
Kelima
KSO yang dipercaya Pemerintah untuk bermitra dengan TELKOM itu adalah
: PT. Pramindo Ikat Nusantara (PIN) untuk mengelola di Divisi
Regional I Sumatera (membangun 516.487 sst) ; PT. Aria West
International untuk DIVRE-III Jawa Barat (500.000 sst); PT. Mitra
Global Telekomunikasi Indonesia (MGTI) untuk DIVRE-IV Jateng &
DIY (400.000 sst); PT. Daya Mitra Telekomunikasi untuk DIVRE -
VI Kalimantan ( 237.000 sst ); serta PT. Bukaka
Singtel International untuk DIVRE-VII KTI (403.000 sst).
Syahdan,
Lembaga Keuangan seperi Bank Dunia, memandang dan menilai pola
kerjasama di Indonesia itu, merupakan ide “very good” dan akan
dijadikan barometer percontohan pada negara-negara dunia ketiga. Tak
hanya itu, secara politis, Indonesia akan meraih citra tersendiri di
dunia internasional, sebagai salah satu negara yang merintis suatu
kerjasama BUMN dengan investor swasta dalam dan luar negeri. Tentu
dengan iming-iming bahwa kerjasama semacam ini tetap berpolakan pada
“win-win solution.” Saling menguntungkan.
Enam ide sasaran KSO
Mengapa
pemerintah tertarik pada pola KSO? Dalam PP No. 8/1993, tentang
Penyelenggaraan
Telekomunikasi,
sebenarnya ada tiga alternatif dalam melakukan kerjasama dengan
investor swasta, yakni melalui : Kontrak manajemen, Usaha Patungan
atau Joint Venture Company (JVC), serta Kerjasama Operasi (KSO).
Berdasarkan hasil penilaian dan kajian Tim yang terdiri dari unsur
pemerintah (DPPT) dan TELKOM, maka diputuskan bahwa Pola Kerjasama
Operasi (KSO) merupakan yang terbaik dan paling cocok untuk
Indonesia. Terutama melihat kepada keterlibatan investor asing dan
dalam negeri yang membentuk suatu konsorsium. Dengan demikian
diharapkan akan memacu dan menggairahkan unsur swasta nasional.
Gagasan KSO,
memang ide tak sederhana. Di dalamnya bertumpu banyak sasaran yang
diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi pembangunan negara.
Katakanlah, dalam upaya meningkatkan pembangunan sektor
telekomunikasi melalui pendanaan sekitar dua juta satuan sambungan
telepon (sst) tanpa harus dibiayai atau menjadi beban negara.
Tak cukup itu,
sasaran kerjasama itu pun tak harus merubah status kepemilikan
TELKOM; Tidak menurunkan performansi keuangan TELKOM; Memberi peran
penting pada swasta nasional; Meningkatkan kinerja TELKOM setaraf
operator kelas dunia (World Class Operator, WCO); serta diharapkan
terjadinya alih teknologi, manajemen dan keahlian untuk peningkatan
mutu SDM Indonesia.
Untuk mewujudkan
obsesi Pemerintah itu, maka dipersyaratkan pada Mitra KSO selaku
investor, mendanai dan membangun 2 juta sst dalam waktu 3 tahun 3
bulan atas resiko sendiri (khusus di Kalimantan waktunya 3 tahun
karena pelaksanaan KSO mulai 1 April 1996).
Kewajiban
lain investor KSO, yakni membayar kepada TELKOM dalam bentuk biaya
kompensasi, MTR (Minimum
Telkom Revenue)
serta DTR (distributable
Telkom Revenue)
sebesar 30% untuk TELKOM.
Secara operasional
investor KSO melakukan alih kelola di 5 Divisi Regional KSO untuk
selama 15 tahun. Setelah itu, seluruh aset dan operasinya diserahkan
kembali kepada TELKOM. Namun begitu, TELKOM dapat “membeli”
kembali (buy-out) hak operasinya sesudah KSO berjalan 10 tahun dengan
tarif ditentukan Pemerintah. (Cat.: Namun kenyataannya, boro-boro
ditentukan Pemerintah, “kaum kapitalis” itu justru menjualnya
atas kemauan dan perhitungannya sendiri dengan nilai transaksi yang
sangat mencekik leher).
Keputusan untuk
dilakukan “buyout” tentu saja bukan sesuatu yang diharamkan.
Upaya ini menjadi sah untuk dilakukan, terutama apabila dalam
perjalanan kerjasama operasional dihadapkan pada permasalahan yang
sulit dicarikan jalan keluarnya atau apabila telah terjadi kebuntuan
dalam mencari solusi atas masalah yang dihadapi kedua belah pihak.
Dalam kondisi demikian, maka upaya membeli kembali (buy-out) oleh
TELKOM atas investasi yang telah dikeluarkan atau dibangun mitra
KSO, menjadi salah satu alternatif terbaik.
Keputusan buy-out
tentu saja bisa diambil, terutama apabila terjadi keterpurukan
pelayanan kepada masyarakat atau tidak mendapatkan pelayanan yang
semestinya dari Mitra KSO, serta apabila tidak ada kemampuan lagi
untuk membangun.
Namun setelah
satu tahun berjalan, kinerja akhir tahun (1996), dari kelima mitra
KSO ternyata belum memenuhi target pembangunan. Bahkan sejak
terjadinya malapetaka resesi ekonomi nasional pada pertengahan tahun
1997, permasalahan yang dihadapi Mitra KSO semakin menjadi-jadi.
Sebab, mulai tahun 1998, kucuran dana dari para lender-nya Mitra KSO
pada macet. Kegiatan pembangunan mitra KSO praktis terhenti. Awal
kemelut pun menyeruak ke permukaan.
Menghadapi kondisi
seperti itu, tampaknya Manajemen TELKOM cukup responsif dan sangat
memahami kesulitan yang tengah dihadapi mitra kerjasama operasi.
Terutama, setelah munculnya usulan mitra yang berisi 17 butir, dengan
dalih agar KSO dapat terjaga survivalnya.
Pada 5 Juni 1998,
atas permintaan pemerintah untuk menyelamatkan KSO TELKOM, maka
ditandatangani MOU jangka pendek, yang berisi keringanan-keringanan
yang diberikan TELKOM kepada Mitra KSO. Antara lain, kewajiban mitra
membangun dikurangi dari 2 juta sst menjadi 1,2 juta sst. Bahkan
beberapa pasal/ayat pada perjanjian KSO dan Perjanjian Konstruksi
dihapus dan diubah.
Misalnya,
biaya pendidikan dan pelatihan yang semula 1,5% dari total
pendapatan KSO menjadi hanya 0,75%; biaya Litbang dari 1% menjadi
0,2%; pengurangan biaya network dan sewa properti, seperti biaya
kapasitas lebih dan fasilitas gedung; penghapusan jaminan bank untuk
MTR diganti dengan mekanisme baru; juga bagian pendapatan
(distributable
Telkom Revenue,
DTR) yang semula pembagian TELKOM : KSO = 30 : 70 menjadi 10 : 90;
bahkan dalam hal kewajiban Mitra membangun pada daerah
rintisan/terpencil yang semula minimum 20% dari total investasi
menjadi hanya 5%.
Uluran tangan TELKOM
dalam bentuk MOU 5 Juni, ternyata masih kurang cukup membantu
memecahkan kesulitan yang menimpa Mitra KSO. Sampailah pada 31 Maret
1999, yang merupakan berakhirnya masa konstruksi KSO. Setelah
dilakukan penilaian kinerja, yang terdiri dari unsur Direktorat
Jenderal Postel dan Telkom, terhadap kelima Mitra KSO itu masih
juga menyisakan permasalahan cukup serius.
Barulah
diketahui, bahwa mitra KSO yang semula diharapkan membawa dana segar
untuk membangun fasilitas telekomunikasi, ternyata mendanainya dengan
hasil pinjaman dari beberapa lembaga keuangan dalam dan luar negeri.
Celakanya, hasil pinjaman dalam bentuk US$ (untuk Mitra KSO tertentu)
itu tidak dilakukan “hedging” yang sangat beresiko tinggi dan
memberatkan mitra.
Resiko berat itu
semakin bertambah dengan terjadinya krisis ekonomi pertengahan 1997
silam. Bisa dirasakan, “jeritan” Mitra KSO itu kian nyaring dan
kegagalan memenuhi target pembangunan semakin nyata, karena sudah
tak kuasa dan tak sanggup lagi membangun. Cukup tragis !
Antrian panjang
calon pelanggan yang membutuhkan fasilitas sambungan telepon baru
dari waktu ke waktu semakin bertambah panjang karena sudah tidak
ada lagi penawaran (supply).
Beberapa upaya
telah dilakukan guna menyehatkan mahligai perkawinan Mitra KSO dan
TELKOM. Upaya itu, bahkan harus melibatkan pula Pemerintah sebagai
mediator, tetapi sampai tujuh tahun berjalan tidak menunjukkan hasil
yang menggembirakan, malah semakin jauh dari harapan.
Dalam negosiasi yang
berkepanjangan timbul pemikiran, apakah KSO dapat dilanjutkan atau
dibuy-out saja? Proses negosiasi, tentu saja tak sederhana. Karena
masing-masing pihak punya keinginan, harapan, bahkan perhitungan yang
menguntungkan dirinya.
Guna
mencapai suatu titik temu dalam mempertemukan pelbagai harapan dan
kepentingan kedua belah pihak itu, TELKOM mencoba menawarkan melalui
beberapa opsi , yakni : Opsi pertama, KSO dipertahankan sampai tahun
2010, dengan beberapa perbaikan; Opsi kedua, dibentuk suatu JVC
(Joint
Venture Company);
serta Opsi ketiga, melalui buy out atau dikembalikan kepada TELKOM
dengan membeli kembali seluruh aset yang telah dibangun dan
dioperasikan Mitra KSO.
Dalam
perjalananannya hingga saat ini ternyata kerjasama KSO, hanya indah
dalam konsep saja. Dalam pelaksanaannya justru mengundang segudang
masalah. Memang tidak semua KSO bermasalah. Namun, salah satu contoh
paling serius dari permasalahan kerjasama operasi adalah PT. Aria
West Internasional.
Contoh
kasus Divre-III
Seperti diketahui,
upaya Aria West untuk menuntaskan kemelutnya dengan TELKOM,
bersikeras untuk membawa TELKOM ke Mahkamah Arbitrasi Internasional
di Genewa. Tuntutannya cukup mencengangkan sebesar US$. 1,3 milyar.
Padahal menurut perhitungan TELKOM nilai aset Aria West, tak lebih
dari US$. 260 juta.
Akibatnya sengketa
yang berlarut dan berjalan alot itu, mengakibatkan 100.000 calon
pelanggan di Jawa Barat saat itu terlantar alias terkatung-katung,
tak sanggup dilayani Aria West hingga empat tahun (1999-2002).
Jeritan masyarakat Jawa Barat agar bisa dilayani, setidaknya menjadi
calon pelanggan, ditanggapi Aria West dengan santai dan
dingin-dingin saja.
Manajemen
TELKOM, akhirnya memutuskan untuk menerapkan Interim
Management Measures (IMM)
atau Tindakan
Manajemen Sementara Terbatas (TMST)
sebagai upaya untuk menyelamatkan aset dan kegiatan operasional di
Unit KSO DIVRE III. Tindakan ini diambil guna memastikan kelancaran
kegiatan operasional dan layanan telekomunikasi sehari-hari bagi para
pelanggan di Unit KSO Divre III dengan menggunakan dana milik Unit
KSO sendiri. Namun upaya itu pun tidak mampu menyolusi masalah yang
dihadapi TELKOM dan Ariawest. Upaya “closing” atau “buy out”
sebenarnya hampir tuntas pada Agustus 2002. Namun ternyata masih
menyisakan masalah intern Ariawest dengan para lender-nya.
Walau begitu kita
bersyukur pada akhirnya Divre III dapat diselesaikan melalui proses
buy-out hingga bisa kembali ke pangkuan TELKOM, kemudian disusul pula
dengan kembalinya Divre IV ke bunda TELKOM walaupun tidak sepenuhnya
melalui buy-out. Yang perlu kita catat bahwa untuk mengembalikan
kedua divre itu sungguh tidak mudah. Karena harus dilakukan melalui
cara-cara yang heroik. Rasanya kita harus berterima kasih kepada
SEKAR TELKOM atas perjuanganya yang sangat gigih-patriotik yang tak
mengenal lelah serta komitmennya untuk haram berputus asa.
Kini
satu
yang tersisa Divre VII Kawasan Timur Indonesia juga sudah kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi. Memamng membutuhkan waktu cuku lama, memang
untuk transaksi seperti itu harus dilakukan dengan ekstra hati-hati.
Artinya, jangan sampai menimbulkan kecurigaan pihak
“internal-eksternal” karena adanya transaksi yang di luar
kewajaran. Apalagi “orang luar” tengah santernya menyorot
perusahaan kita, sementara jiwa korsa orang kita saat ini sepertinya
telah memudar. Soliditas dan solidaritas kini telah menjadi semacam
jargon pemanis organisasi. Kita saat ini memang tengah menghadapi dua
momok yang menakutkan, yakni adanya “multi-klik” dan “kurang
kompak.”
Pelajaran
berharga
Perjalanan kerjasama
operasi melalui sistem alih kelola oleh swasta seperti yang
dijalani TELKOM merupakan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia,
juga bagi TELKOM sendiri. Setidaknya, Pemerintah dapat memetik
hikmah, bahwa tidak semua yang kita harapkan akan terwujud menjadi
kenyataan. Tidak semua rencana berbuah ranum sukses-gemilang.
Pola kerjasama
KSO yang semula diharapkan dapat meringankan beban yang dihadapi
bangsa Indonesia pada sektor telekomunikasi, malah semakin
menimbulkan beban dan masalah yang lebih kompleks dan berbau
dilematis.
Pada awalnya,
seluruh mitra KSO, nyaris tak ada keberatan atas pelbagai klausul
kontrak. Namun akibat obsesi yang kurang terkendali dan mungkin
akibat tekor perhitungan menjadikan sistem kemitraan berjalan
tergopoh-gopoh. Sehingga dalam gerak operasionalnya, mulai
menunjukkan jati dirinya, bahwa kehadirannya, tak lebih sekedar
ambisi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa peduli
terhadap kepentingan yang jauh lebih besar bagi peningkatan
pembangunan dan pelayanan infokom di Indonesia.
Isu
pun berkembang bahwa Mitra KSO tak lebih dari “kontraktor
kaki-lima”, karena kehadirannya di Indonesia ternyata hanya cukup
berbekal “modal dengkul” dan “tebal muka.” Jadi boro-boro
terjadi alih teknologi atau keahlian manajemen profesional. Untuk
membangun pun sepertinya setengah hati. Lihat saja yang terjadi saat
ini di Divre VII KTI. Infrastruktur telekomunikasi di wilayah timur,
sebut saja Papua, kini tengah
menuju pada proses amburadul.
Kita pun dapat
belajar pula, bahwa pemahaman terhadap pasal-pasal kontrak oleh
para lawyer kita perlu dikuasai dengan sebaik-baiknya. Sebab jika
tidak demikian, posisi kita akan dapat dijadikan sasaran
bulan-bulanan mereka. Mitra KSO selalu berupaya untuk memanfaatkan
kelemahan-kelemahan dalam pasal-pasal atau klausul kontrak. Tentu
saja demi kepentingan bisnis dan meraup keuntungan luar biasa.
Kelemahan
kita saat itu justru karena kita tidak memanfaatkan atau membentuk
semacam “law
firm independent.”
Padahal ini sangat penting, terutama dalam upaya menilai
kontrak-kontrak agar tetap berjalan pada rel yang benar. Saat
dilakukan klaim melalui negosiasi bisnis oleh pihak Mitra, kita
selalu berada pada posisi yang lemah dan tak berdaya.
Terlalu
mengandalkan negosiator orang dalam dengan pebisnis sekaliber lokal
serta dengan kemampuan bahasa Inggris yang ”pas-pasan”, memang
berakibat sangat repot, kalau tak mau dibilang fatal. Duch..!!!
========================
Catatan: Maaf
jika tulisan
kurang berkenan, ini sekadar sebuah opini
sebagai ungkapan
keprihatinan pengalaman pahit perjalanan skema KSO
sebagai sepenggal
sejarah TELKOM yang mengenaskan.
Wassalam...(masnana60@gmail.com)